Halal Bihalal Momen Refreshing Spiritual, Sosial, dan Intelektual

BRNews - Halal Bihalal merupakan salah satu bentuk nyata bahwa ketika ajaran Islam dimaknai dan diamalkan dengan nilai nilai yang bersifat kultural, maka yang terwujud adalah kerukunan, perdamaian, dan persatuan.


Hal ini disampaikan Sekretaris Umum PP Muhamadiyah, Dr. H. Abdul Mu’ti saat berceramah pada Halal Bihalal Idulfitri 1439H keluarga Kementerian Agama di Jakarta, Jumat (29/06).
Mengutip istilah Kuntowijoyo tentang Islam Nusantara yang berkemajuan, Mu'ti mengatakan bahwa Halal Bihalal adalah bentuk dari universalisasi dan kongkritisasi serta objektisasi ajaran Islam. Jadi betul bahwa halal bihalal tidak hanya milik umat Islam tapi sudah menjadi milik bangsa Indonesia.
Menurut Mu'ti, halal bihalal ini adalah bentuk dari inkulturisasi Islam. Ajaran Islam diamalkan dengan cara yang kreatif sesuai dengan kultur dan budaya masyarakat. Substansinya tetap Islam tapi ekspresinya universal dan bisa diterima siapapun.
"Karena itu, selama halal bihalal, tidak hanya umat Islam yang bergembira tapi umat agama lain juga berbahagia," tuturnya.
Mu'ti menilai, halal bihalal menjadi moment refreshing sehingga semuanya berbahagia. Secara substansi, ada tiga refreshing selama halal bihalal dan idul fitri.
Pertama, spiritual refreshing. Artinya, berusaha merefresh iman dan takwa. Ramadhan bulan tarbiyah dan tazkiyah. Selama Ramadhan,  umat Islam membersihkan diri dari segala sifat basariah yang negatif lalu kembali kepada fitrah insan yang bersih.
"Dengan spiritual refreshing ini, selama ramadhan kita berusaha memohon ampun kepada Allah atas segala dosa yang sudah kita lakukan," tuturnya.
Kedua, momentum halal bihalal disebut sosial refreshing untuk memperbaiki dan meningkatkan harmoni serta relasi sosial. Dengan demikian,  pasca Idulfitri, manusia menjadi lebih baik, akrab dan rukun.

Karena itu, lanjut Mu'ti, selama Idulfitri ada tradisi open house, semua rumah dibuka. Rumah dibuka karena orang berbahagia, siapapun boleh berkunjung. Sosial refreshing itu masa dimana kita saling memaafkan kesalahan orang lain.
"Pak Menteri dengan tulus memaafkan seluruh karyawannya. Ciri orang yang bertakwa itu adalah orang yang senantiasa memaafkan orang-orang lainnya sebelum orang itu meminta maaf," urainya.
"Tidak mudah orang yang mempunyai jabatan tinggi meminta maaf. Tapi Menag sudah memberikan teladan dengan meminta maaf kepada karyawannya. Bermaafan itu ciri hamba Allah yang muttaqin, ciri hamba Allah yang berakhlakul karimah," sambungnya.
Ketiga, intelektual refreshing. Libur punya pengaruh besar terhadap munculnya gagasan gagasan baru yang cerdas dan otentik. Libur bisa menimbulkan inspirasi. Kalau ingin mendapatkan intelektual refreshing itu, harus mengamalkan openes atau keterbukaan.
"Kita menjadi orang yang terbuka, open. Kuncinya jangan berprasangka buruk pada orang lain. Jauhilah berprasangka, karena berprasangka itu kebohongan yang luar biasa besar," tuturnya.
"Kunci untuk bahagiah adalah senantiasa berfikir positif kepada orang lain dan melihat sesuatu secara positif," katanya lagi. (mnm).

Subscribe to receive free email updates: