Perkataan yang sering dikemukakan oleh orang yang membid’ahkan suatu amalan, “Itu tidak pernah dilakukan
oleh Nabi, dan para sahabat tidak pernah melakukannya. Seandainya itu
perkara baik, niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya.”
Tark Tak Selalu Bermakna Tahrim
Ketika Nabi tidak melakukan suatu hal–dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut “at-tark”—
mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim (pengharaman). Mungkin
saja Nabi tidak melakukan suatu hal hanya karena tidak terbiasa, atau
karena lupa atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau
(sebab sebagai manusia, Nabi yang suci dari dosa [ma’shum] diliputi
pula oleh keterbatasan fisik dan lingkungan kultural—red), atau karena
takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau
karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits
atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi
bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau
dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi, hanya
karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini
adalah istinbath yang keliru.
Demikian juga
ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung
beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena
kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya
boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih
afdlal, dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-tark (tidak melakukan) saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaidah mengatakan:
مَا دَخَلَهُ الاحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ الاسْتِدْلاَلُ
"Dalil
yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil
(untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain)".
Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan:
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ
"Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf."
Jadi, perlu diketahui bahwa ada sebuah kaidah ushul fiqh:
تَرْكُ الشَّىْءِ لاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ
"Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang".
At-tark
yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf
tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang
(untuk melakukan) sesuatu (yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan
keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al-matruk
dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu
menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa
sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-tark saja.
Perlu
diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu
di antara tiga hal: ada (1) nahy (larangan), atau (2) lafazh tahrim atau
(3) dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa.
Karena at-tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman:
وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
Maknanya:
"..Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…" (Q.S. al Hasyr: 7)
Allah tidak menyatakan:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا تَرَكَهُ فَانْتَهُوْا عَنْهُ
"Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah."
Al Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan:
"فَالتَّرْكُ
لَيْسَ بِمُوْجِبٍ لِحُكْمٍ فِي ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ إِلاَّ جَوَازَ
التَّرْكِ وَانْتِفَاءَ الْحَرَجِ فِيْهِ، وَأَمَّا تَحْرِيْمٌ أَوْ
لُصُوْقُ كَرَاهِيَةٍ بِالْمَتْرُوْكِ فَلاَ، وَلاَ سِيَّمَا فِيْمَا لَهُ
أَصْلٌ جُمْلِيٌّ مُتَقَرِّرٌ مِنَ الشَّرْعِ كَالدُّعَاءِ".
"Jadi at-tark tidak
memiliki akibat hukum apa pun terhadap al Matruk kecuali hanya
kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan
hal tersebut. Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap
al Matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya
terdapat dalil umum dan global dari syara' seperti doa misalnya".
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari:
قَالَ
ابْنُ بَطَّالٍ: فِعْلُ الرَّسُوْلِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنِ القَرَائِنِ
–وَكَذَا تَرْكُهُ- لاَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبٍ وَتَحْرِيْمٍ
"Ibnu Baththal mengatakan, ‘Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah (konteks, red) lain –demikian pula tark-nya—tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman’." (Kitab Fathul Bari, 9/14)
Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar "وَكَذَا تَرْكُهُ" menunjukkan bahwa at-tark saja (mujarrad at-tark) tidak menunjukkan pengharaman.
Perihal Tuntutan “Mana Dalilnya?”
Sebagian
kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan,
“Ini tidak ada dalilnya!”, dengan maksud tidak ada ayat atau hadits
khusus yang berbicara tentang masalah tersebut.
Pertama,
dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan
keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara
tersebut masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Maknanya: “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” (Q.S. al Hajj: 77)
Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaidah mengatakan:
العَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ
"Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya)."
Ini
sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang
tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa
hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil. Mereka selalu menuntut
dalil khusus tentang masalah tersebut.
Sikap
seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada
kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah
disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah
bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman
Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman
tersebut.
Ini artinya merobohkan sebagian besar
dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum dan itu artinya bahwa
syari'at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum
peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman.
Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan
dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap
syari'at merupakan kekufuran yang sangat nyata.
Kedua,
dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak
dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang
sudah ada satu hadits saja, misalnya, dan para mujtahid menetapkan hukum
berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup.
Ketiga,
dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan
status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri.
Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor
penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid.
Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda
pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah.
Oleh
karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di
kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang
ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya
seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi,
an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya.
Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, hadits itu ada yang muttafaq ‘ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi shihhatihi (Lihat as-Suyuthi, al-Hawi lil Fataawi (2/210), Risalah Bulugh al Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul).
Dari
penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira
bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka
yang memiliki hadits yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang
sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka
orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia
katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan
para ahli hadits yang sebenarnya.
Hati-hati Terperosok!
Ada
sebuah kaidah yang sangat penting dalam beristidlal—orang yang tidak
mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang
dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al
Baghdadi menyebutkan kaidah tersebut dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih (h. 132):
وَإِذَا
رَوَى الثِّقَةُ الْمَأْمُوْنُ خَبَرًا مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ رُدَّ
بِأُمُوْرٍ" ثُمَّ قَالَ: "وَالثَّانِيْ أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ الْكِتَابِ
أَوْ السُّـنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لاَ أَصْلَ لَهُ
أَوْ مَنْسُوْخٌ، وَالثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفَ الإِجْمَاعَ فَيُسْتَدَلُّ
عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوْخٌ أَوْ لاَ أَصْلَ لَهُ، لأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ
أَنْ يَكُوْنَ صَحِيْحًا غَيْرَ مَنْسُوْخٍ وَتُجْمِعُ الأُمَّةُ عَلَى
خِلاَفِهِ ا.هـ.
"Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun (terpercaya)
meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya, hadits itu bisa tertolak
karena beberapa hal. Kemudian beliau mengatakan: ‘Kedua: hadits tersebut
menyalahi nash Al-Qur’an, hadits mutawatir, sehingga dari sini
diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh (telah
dihapus dan tidak berlaku lagi). Ketiga: hadits tersebut menyalahi
ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu umat sepakat untuk menyalahinya".
Orang
yang tidak mengetahui kaidah ini bisa mengharamkan perkara yang
dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di
masa kini yang mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas
yang berbentuk lingkaran (adz-Dzahab al Muhallaq)
seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu
dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang
mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut
sebenarnya menyalahi nash Al-Qur'an seperti firman Allah:
أَوَ مَن يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ
Maknanya:
"Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam
keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang
dalam pertengkaran". (Q.S. az-Zukhruf: 18)
Hadits-hadits
tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa
hadits tersebut telah dinasakh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi).
Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan:
فَهذِهِ
الأَخْبَارُ أَيْ فِيْ الإِبَاحَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ مَعْنَاهَا تَدُلُّ
عَلَى إِبَاحَةِ التَّحَلِّيْ بِالذَّهَبِ لِلنِّسَاءِ، وَاسْتَدْلَلْنَا
بِحُصُوْلِ الإِجْمَاعِ عَلَى إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ عَلَى نَسْخِ
الأَخْبَارِ الدَّالَّةِ عَلَى تَحْرِيْمِهِ فِيْهِنَّ خَاصَّةً ا.هـ.
"Jadi
hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias
dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas
kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa
hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah
dinasakh" (Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan,
2/20-22).
Anehnya, di sisi lain, orang-orang
semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan
pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut
mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan
nasakh atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama
ditegaskan ada nasikh mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi.
Teladan Toleransi Ulama Salaf
Dalam bidang furu’
tidak pernah salah seorang dari para ulama mujtahid mengklaim bahwa
dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah
mengatakan kepada mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka
bahwa anda sesat dan haram orang mengikuti anda.
Umar
bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi
Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali
tidak pernah mengatakan hal seperti itu kepada Umar. Demikian pula para
ulama ahli ijtihad yang lain seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i,
Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari dan lainnya.
Mereka
juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti madzhab orang lain
selama yang diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak
pernah berambisi mengajak semua umat Islam untuk mengikuti pendapatnya.
Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam masalah-masalah furu’ telah
terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi dan mereka tidak pernah
saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di
antara mereka. Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah
kaidah yang disepakati:
لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
“Tidak
diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam
masalah yang memang diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fih) di kalangan
mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama
mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya (mujma’ ‘alayhi).”
(Lihat as-Suyuthi, al-Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al-Fawa-id al-Janiyyah, h. 579-584)
Maksud
dari kaidah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang
suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh,
haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk
mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu
permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama
dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang
menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau
memunculkan pendapat pribadi yang berbeda. Wallahu a'lam. (nu.or.id).
Nur Rohmad, Dewan Pakar Aswaja NU Center PCNU Kabupaten Mojokerto.
Post a Comment for "Cara Menjawab Orang yang Gemar Menvonis Bid’ah"