Oleh Agus Wahid
Banyak
persoalan hukum yang memaksa para pihak mencari keadilan sejati.
Diartikulasikan secara politik ekstraparlementer, secara institusional
(DPR) dan secara prosedural hukum (MK). Itulah dampak serius dari
perhelatan pemilihan presiden - wakil presiden 2024 yang penuh drama
abuse of power secara melampaui batas. Memaksakan kehendak secara a
priori dan egois untuk memenangkan salah satu paslon secara tidak fair,
intimidatif dan penuh rekayasa manipulatif. Demikian “telanjang” dan
ugal-ugalan.
Praktik
abuse of power yang ugal-ugalan itu mendorong masyarakat dari berbagai
elemen terus berbondong-bondong menuntut keadilan. Gedung KPU, BAWASLU,
DPR bahkan istana menjadi sasaran massa mengepung. Arahnya jelas: agar
para penyelenggara pilpres berjalan on the track secara hukum. Namun,
kita saksikan, gerakan massa yang demikian ekstensif tidak membuat
penyelenggara pilpres tergugah kesadaran dan nuraninya untuk
menghadirkan pilpres yang berkejujuran, transparan, dan akuntabel.
Bahkan, di tengah gelombang kritik itu, KPU kian pongah. Tak menggubris.
Seolah menantang kepada seluruh elemen rakyat kontrarian itu. BAWASLU
juga enggan memfollow up seluruh pelanggaran serius yang dilakukan
kontestan pilpres, terutama paslon 02.
Spirit
mencari keadilan itu pula yang mendorong publik mendesak DPR untuk
menggunakan hak angket: guna “mengadili” praktik penyelenggaraan pilpres
yang penuh pelanggaran serius. Gerakan penggunaan fungsi kontrol
melalui hak angket disadari serius dampaknya bagi kontestan pro rezim.
Tidak tertutup kemungkinan, rekomendasi hak angket bisa mengarah pada
pelengseran posisi Jokowi. Itulah sebabnya, istana dan seluruh “kaki
tangannya” gencar membangun narasi yang mengecilkan makna dan fungsi
penggunaan hak angket.
Dalam
masa bersamaan, juga dilakukan penggembosan kepada sebagian anggota
fraksi DPR bahkan berusaha mengintimidasi secara halus. Itulah yang
dilakukan oleh Luhut Binsar Panjaitan dalam rangka melumpuhkan ikhtiar
politik prosedural di tengah parlemen. Semua upayanya gagal. DPR tetap
melangkah lebih jauh penggunaan hak angket itu.
Namun,
untuk memperkuat langkah politik pro demokrasi yang menjunjung tinggi
martabat dan keadilan, para pihak yang dirugikan hak-hak politiknya
semasa pilpres mengajukan gugatan sengketanya ke MK. Sebuah langkah
hukum yang pernah disarankan kubu Prabowo-Gibran melalui ketua Tim
hukumnya: Yusril Ihza Mahendra. Anehnya, di antara Tim Hukum 02 ini –
yaitu Hotman Paris – menyatakan, langkah hukum ke MK itu sebagai tidakan
cengeng. Menggelikan dan menimbulkan pertanyaan tersendiri, kegelisahan
apa yang menyelimuti Hotman itu. Tapi, apapun reasonnya, kini MK –
secara resmi – telah menerima gugatan kubu 01 dan 03.
Bola
pencarian keadilan itu kini ada di tengah MK. Sebuah renungan, apakah
MK kini akan terpanggil nuraninya untuk memperhatikan para pencari
keadilan substantif demi masa depan negara demokrasi yang mencerahkan?
Pertanyaan ini sangat releven diketengahkan sejalan “noda hitam” MK yang
membalutnya demikian hitam yang pernah mencoreng nama agung MK,
minimal, dalam kurun waktu setengah tahun terakhir ini.
Kita
tahu, dampak putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang memberi “karpet merah”
kepada Gibran yang belum berusia 40 tahun sebagai prasyarat minimal
capres-cawapres itu benar-benar serius menodai perjalanan pilpres 2024
ini. Putusan MK tersebut membuat istana cawe-cawe secara all out. Di
antaranya, menggalang kekuatan yang penuh intimidatif. Dilakukan oleh
aparatur negara (TNI-POLRI dan ASN) yang harusnya netral dalam
perhelatan pilpres 2024. Putusan MK yang kontroversial itu pun mendorong
penguasa demikian berani “mengotak-atik” dana bantuan sosial (bansos)
yang jelas-jelas melanggar UU APBN 2023 dan UU Keuangan Negara demi
kepentingan politik 02. Dan, akibat putusan MK yang melahirkan “anak
haram konstitusi” itu pula membuat KPU begitu berani melakukan politik
zig-zaq yang penuh manipulatif secara sistemik, terstruktur, bahkan rela
mengkhiati negara dengan cara berkomplot dengan platform asing (China):
Alibaba.
Itulah catatan
hitam proses penyelenggaraan pilpres 2024 yang dapat dijadikan pijakan
sikap dan tindakan hukum MK. Karenanya, sengketa yang diajukan ke MK
bukan sekedar menguji perbedaan perolehan suara pilpres yang memang
sangat njomplang. Tapi, lebih jauh dari persoalan angka yang bersifat
kuantitatif dan memang sangat serius persoalannya. Berarti, banyak
variabel kualitatif politik yang memang demikian mewarnai secara dominan
dan determinan dalam perhelatan pilpres 2024 kemarin.
Tampaknya,
penekanan uji validitas seputar gelombang data kualitatif – di satu
sisi – menjadi kecemasan tersendiri sebagai bagi gerombolan Tim Hukum
02. Data penyalahgunaan kekuasaan secara terstruktur, sistemik dan
massif (TSM) sulit disanggah karena memang telah terpublikasi secara
luas dan bisa diaudit validitasnya secara forensik . Di samping alat
bukti yang terekam secara elektronik, juga kemungkinan besar kesaksian
masyarakat yang melihat dan merasakan jabaran TSM itu. Yang
menggalaukan, Menteri Sosial (Risma) dan Menteri Keuangan yang siap
memenuhi udangan sebagai saksi atas bukti penggelontoran keuangan negara
yang melanggar UU, terutama terkait dengan bansos itu. Bahkan, sejumlah
kepala desa – akibat Mendagri tak keluarkan THR – siap juga menjadi
saksi atas data mobilisasi massa dan serangan “gentong babi” ke
masyarakat, serta intimidasi yang diterimanya.
Pembuktian
praktik TSM yang jelas-jelas melawan hukum dan UU itu akan diperkuat
lagi pengungkapan manipulasi angka secara algoritmatik. Meski MK
bukanlah para ahli IT dan bukan juru “hitung”, tapi kesaksian para ahli
di bidang penggelembungan angka (perolehan suara) untuk pasangan
tertentu (02) akan menjadi masalah hukum yang memberatkan posisi 02. Di
sisi lain – secara paralel – penggambaran strategi taktis mematok
perolehan angka secara sistemik bagi 01 dan 03 yang jauh dari 50%, juga
menambah berat posisi hukum 02. Ada penguncian hasil yang tentu
bertentangan dengan prinsip fairness dan netralitas.
Gambaran
itu semua akan menjadi ajang pembuktian yang menegangkan. Masing-masing
kubu yang dirugikan dan diuntungkan akan saling adu argumen. Sebagai
ahli hukum kenamaan nasional, Tim Hukum 02 misalnya akan mengerahkan
alibi yang dilontarkan Tim Hukum 01 dan 03. Namun, ada hal yang perlu
diingat sedini mungkin: sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat pasti
akan terjatuh. Dalam hal ini layak kita tegaskan, sehebat apapun
kemampuan Tim Hukum 03, berangkatnya dari “barang busuk” yang sudah
menyengat ke berbagai ranah negeri, bahkan dunia internasional.
Jika
orang seperti Yusril Ihza Mahendra, Hotman Paris dan Otto Hasibuan
tetap mengkontruksi landasan hukum yang membenarkan “barang busuk”
menjadi berbau wangi, maka keberadaan dirinya akan semakin nista di mata
umat manusia. Akan segera hilang wibawa dan martabatnya. Di mata Allah,
manusia penegak hukum yang kontra keadilan substantif telah digambarkan
tempatnya kelak: dalam neraka dengan api berkobar. Bisa kita refleksi
pada hadits “qaadliyaani fi an-naar. Wa qaadlin fi al-jannah”.
Perbandingan 2 : 1 ini menggambarkan sebagaian besar atau kebanyakan
hakim (para penegak hukum) cenderung bertindak di luar keinginan hukum
yang berkeadilan. Perilaku penegak hukum yang sesungguhnya “penjahat”
ini tak ada tempat lain yang lebih tepat, kecuali neraka. Meski
demikian, beda dengan kaum penegak hukum yang tetap berjibaku untuk
supremasi hukum demi tegaknya keadilan. Surga ada di hadapannya.
Landasan
teologis itu layak diketengahkan: sebagai sikap hukum yang harus
diambil dan ditegakkan. Mendasarkan premis teologis itu, Yusril dkk yang
berjuang membangun alibi untuk mematahkan argumentasi Tim Hukum 01 dan
03, perlu mengingat ancaman Allah itu. Sebagai insan beragama yang taat,
peringatan Allah itu sudah seharunya diindahkan. Untuk keselamatan
dirinya. Juga untuk negeri dan bangsa ini yang – insya Allah – akan
terjauh dari malapataka akibat konsturksi kejahatan yang
diperjuangkannya. Sementara, peringatan Allah itu menjadi sangat penting
bagi para hakim MK. Sebagai insan bertakwa, tak ada jalan lain kecuali
harus tunduk pada konstruksi keadilan yang diperintahkan-Nya.
Lalu,
bagaimana potret hakim MK saat ini yang siap menentukan sikap hukum
yang harus berkeadilan, bermartabat dan siap mengantarkan ke surga,
bukan neraka nanti? Mencermati komposisi hakim MK saat ini, dari ketua
majelis dan para hakim anggota, terlihat jelas sikap dan pendirian hukum
yang akan ditegakkan. Satu sisi, komposisi hakim – setidaknya tujuh
hakim yang ikut mengadili sengketa pilpres – punya latar belakang sikap
“menolak” putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.
Latar
belakang ini pun akan menjadi sikap majelis MK: berpotensi akan
mengabulkan gugatan 01 dan 03 yang – secara awal – mempersoalkan putusan
yang menjadi pangkal masalah pilpres 2024. Dari mempersoalkan putusan
yang menghasilkan “anak haram konstitusi itu, berpotensi besar akan
dikabulkannya gugatan derifatifnya: persoalan TSM. Outputnya bisa
mendiskualifikasi kesertaan paslon 02 dalam pilpres kemarin, lalu
perintah pemilu ulang dan hanya diikuti paslon 01 dan 03.
Akankah
muncul keberanian dalam diri para hakim MK saat ini? Tantangan
tersendiri dan cukup serius. Karena tak akan dibiarkan proses hukum yang
akan mengamputasi kepentingan strategisnya. Dalam hal ini istana dan
kaum oligarki, bahkan negeri jiran (China) akan mengambil perhitungan.
Sangat mungkin sadis. Sekali lagi, inilah tantangan menegakkan hukum
yang berkadilan.
Namun
demikian, jika hakim MK takluk terhadap tekanan penguasa dan para
sekutunya dari kaum oligarki, mereka mungkin saja selamat dari
cengkeraman dunia ini. Namun, dirinya tetap terancam dari kekuatan sipil
yang tak akan pernah henti mengejarnya dengan beragam daya, apalagi
Allah yang Maha Tahu. Allah – apalagi di bulan suci Ramadlan ini – akan
mendengarkan dan mngabulkan doa kaum yang teraniaya. Maqbul.
Akhirnya,
para hakim MK saat ini diperhadapkan dua kondisi yang dilematis. Yaitu,
luntur spiritnya dari komitmen pro justitia karena mendapat
perlindungan istana. Atau, siap melawan tekanan istana dan mendapat
pembelaan rakyat dan Allah yang memang benci ketidakadilan. Jika opsi
kedua yang akan diambilnya, maka MK kali ini akan terukir dalam sejarah
emas. Insya Allah, keintegritasan MK kali ini akan menjadi pendobrak
mafia peradilan politik dan menjadi garda penting dalam memperbaiki
konstruksi demokrasi yang bertatanan hukum, bukan tatanan penguasa.
Kedaulatan
hukum akan memancar. Rakyat pun akan mendapatkan kembali kedaulatan
yang diimpikan itu. Terhampar luas pilpres 2024 mendatangkan bencana.
Tapi, di sana juga terhampar hikmah besar di balik bencana itu. Tinggal
kita harus mampu menghadapi bencana itu. Agar rahmat-Nya turun. Itulah
karakteristik perjuangan lahir-batin yang harus dilakukan, bukan terima
takdir semata tanpa ikhtiar. Wahai MK… Inilah momentummu. Untuk
kembalikan marwah yang pernah tersungkur. Bismillah…Allah bersama para
mujahidin, termasuk kalian: pejuang keadilan.
Bekasi, 9 April 2024
Penulis: analis politik
Post a Comment for "MK: MOMENTUM KEMBALIKAN MARWAH"