Menanti Sang Boneka?


Oleh Agus Wahid


Sudah bermunculan nama kandidat Presiden RI kedelapan. Itulah sederet nama yang belakangan ini dirilis oleh sejumlah lembaga survey dan ramai disuguhkan media massa. Nama-nama itu siap memasuki gelanggang kontestasi pemilihan presiden (pilpres) 2024. Yang perlu kita catat lebih jauh, apakah di antara sederet nama potensial atau mumpuni itu yang akan berhasil manggung sebagai RI-1 kedelapan?


Jika landasannya rasional dan nasionalisme demi NKRI yang lebih berdaulat dan mandiri, maka sederet nama seperti Prabowo Subiyanto, Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, Ridwan Kamil, Agus Harimurti Yudhoyono, Airlangga, Ganjar Pranowo, Hidayat Nuwahid, Surya Paloh, Yusril Ihza Mahendra bahkan La Nyalla dan Andika Prakasa terkategori layak untuk memimpin negeri ini. Nama-nama itu memang sering menghiasi hasil survey pilihan publik. Meski debatable apa yang disajikan sejumlah lembaga survey, tapi – setidaknya secara metodologis – hasil lembaga-lembaga survey itu bisa dipertanggungjawabkan.


Persoalannya, pilihan publik tidak selalu simetris dengan hasil kontestasi faktual. Cara kerja survey tentu tidak sampai pada proses, dinamika politik dan tools atau instrumen penghitungan suara hasil pemilihan. Bahkan, tidak sampai pada kerja politik dan hukum seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga keamanan dan Pertahanan (Polri dan TNI). Beda wilayah kerja. Sementara itu, hasil akhir kontestasi pilpres tidak hanya sarat dinamika itu, tapi juga terdapat kepentingan sejumlah pihak yang berfikir dan bertindak ekstra. Keterlibatan proaktif para pihak yang berkepentingan sempit inilah yang membuat tanda tanya besar apakah sederet nama kandidat potensial bisa berhasil manggung (menjadi Presiden RI kedelapan) mendatang.


Keraguannya berangkat dari arah politik para pihak yang berkepentingan itu. Mereka tidak bicara rasionalitas atau nasionalisme-idealistik (demi NKRI), tapi lebih mengdepankan sikap pragmatisnya yang sangat sempit. Yaitu, bagaimana mengamankan dan mempertahankan investasi trilyunannya di negeri ini, dari dan atas nama warga negara yang notabene ber-KTP Indonesia, atau kompradornya yang jelas berbendera asing: negeri Tirai Bambu. Bahkan lebih dari itu: menguasai kedaulatan negeri ini,  dari sisi sumber daya alamnya, sampai mampu menyetir arah kebijakan negeri ini. Yang berlawanan, terpaksa harus disingkirkan seperti yang belakangan dipertontonkan ke hadapan anak bangsa ini.


Kerangka berpikir itulah yang membuat para oligarkis mendesain langkah politik untuk mengganjal sederet nama tokoh potensial itu, tak pandang dari anasir muslim taat atau sekuler. Dan tak pandang dari bendera partai apapun. Dalam bahasa konstruksi (pembangunan fisik), sederet tokoh itu “dicor” sedemikian kuat. Pengecoran atau – dalam diksi kata lainnya “penguburan” dengan kedalaman entah berapa meter – dinilai krusial untuk dilakukan, karena kemunculan sederet nama itu berbahaya bagi kepentingan para oligarkis yang ingin terus menyetir arah politik kontestasi keprsidenan.


Memang berlebihan upaya pengecoran itu. Para oligarkis itu sejatinya tahu tentang di antara tokoh itu yang bisa diajak berkongkol. Dan hanya sebagian kecil di antara para tokoh itu yang tak bisa diajak kompromi. Namun demikian, sederet nama itu – setidaknya – terkategori punya kemampuan berpikir kritis. Cerdas dan relatif punya kapasitas untuk memimpin negeri ini lebih baik. Kemampuan managerial inilah yang dihindari para oligarkis. Bahkan, mereka semakin khawatir jika Indonesia ke depan jatuh ke tangan pemimpin idealis yang terpanggil menjaga dan mempertahankan kedaulatan negara dalam segenap aset tak bergeraknya.  Mereka sudah merasakan getirnya tersingkirnya Ahok dari pesta pilkada DKI 2017 lalu. Berapa puluh bahkan ratus trilyun dana tergelontor. Bahkan, berapa ribu trilyun kerugikan akibat kekalahan Ahok mengakibatkan megaproyek reklamasi tak bisa berlanjut.


Belajar dari kekalahan Ahok itu, maka para taipan singsingkan lengan untuk menyingkirkan para kandidat ideolog. Mereka mencari dan memperjuangkan ekstra keras: harus menggolkan sosok pemimpin yang under capacity, stupid dan mengedepankan sikap pragmatis sehingga tak berfikir jauh ke depan ketika diajak bersekongkol. Inilah desain politik yang sejatinya hanya mengarah pada satu platform politik: pemimpin boneka. Sang boneka menjadi alat kekuasaan untuk melestarikan gerakan sistimatis neokolonialisasinya, sekaligus menjadi alat pembungkam warga negara yang kritis.  Ia hanya patuh pada satu titah: apa kata sang oligarkis harus dipenuhi. Sang boneka hanya patuh kepada junjungannya yang telah mengantarkan posisi politiknya ke tangga kekuasaan. Konstitusi? Hanyalah asesoris sistem katatnegaraan yang mudah dibonsai, dipreteli bahkan diobrak-abrik.


Itukah yang kita saksikan sekarang di negeri ini? Jika cerdas berfikir dan masih punya hati nurani, maka publik dapat menilai jernih tentang peran sang boneka dalam jagat Indonesia Raya saat ini. Mau dilihat dari sudut mana? Boleh pilih. Sektor hukum, hak asasi manusia, dunia keberagamaan, apalagi politik dan ekonomi. Semuanya telah diperdayakan oleh kekuatan oligarkis dan sang boneka hanyalah legalisator, sekaligus pengaman purna yang melindungi kepentingan para oligarkis itu.


Karena itu, potret kontestasi pilpres mendatang akan diwarnai oleh kandidat yang – secara ideologis, bahkan kapasitas – jauh di bawah standar nasionalisme, di samping kapasitas. Dalam konteks ini – seperti yang tersiar di berbagai media massa – muncul nama seperti Puan Maharani, Ahok, bahkan Tito Karnivan atau Budi Gunawan. Beberapa nama ini – di mata para pemodal – merupakan figur yang bisa diharapkan sebagai mitra strategis untuk mewujudkan misi besar pelestarian neokolonialisasinya.


Sebagian besar publik mencatat, Puan Maharani tak akan jauh perilaku politiknya dari ibunya. Sendiko dawuh kepada para pemodal (Sembilan Naga) atau Xi Jin Ping (Presiden RRC saat ini) itulah yang akan dilakukan. Dan sederetan nama seperti Ahok, Tito dan Budi Gunawan adalah tokoh nasional yang ada dalam radius pengaruh Ketua Umum PDIP. Meski mereka potensial dan punya kapasitas, tapi ada problem besar dari sisi integritas-idealistik kenegaraan dan kebangsaan Indonesia sebagai NKRI yang berdaulat penuh.


Mengarsir nama Tito Karnivan menjadi penting ketika mengkaitkan penolakan revisi UU Pemilu No. 7 Tahun 2017, sehingga output politiknya penyelenggaraan pilkada langsung pada 2024. Dengan penundaan ini, praktis Tito punya otoritas untuk menempatkan para pejabat pelaksana tugas (Plt) di seluruh daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang berakhir periode kekuasaannya pada 2022 dan 2023. Data Kementerian Dalam Negeri mencatat, ada 101 kepala daerah yang berakhir periode kekuasaannya pada 2022 dan 170 kepala daerah yang berakhir pada 2023. Keberakhiran mereka itulah akan dimainkan oleh Tito untuk menempatkan Plt yang tentu loyal kepada sang Mendagri, junjungan yang mengangkatnya sebagai Plt. Dengan otoritas inilah Mendagri saat ini sangat mungkin jadi opsi yang layak ditimang-timang sebagai kandidat presiden. 


Memang, jumlah Plt. tersebut tak seberapa banyak. Tapi, kekuasaan yang ada di pundaknya menjadi kekuatan strategis untuk memobilisasi berbagai kewenangan terkait jumlah keluarga besar aparatur sipil pemerintahan daerah, anggaran bahkan kewenangannya untuk mencampuri kerja KPU dan institusi Polri dan TNI. Inilah mobilisasi kekuatan berpotensi besar untuk menggolkan cita-cita pragmatisnya.


Memang, Tito bukanlah orang bodoh. Tapi, keberadaan dirinya ada dalam sketsa politik yang didesain para oligarkis itu. Di sanalah problem  mendasarnya. Maka, secerdas apapun kualitas intelegensianya, tapi emotional questionnya (EQ) dan kualitas keberagamaannya – terutama dikaitkan dengan kepentingan kenegaraan, kebangsaan bahkan keumatan – akan menjadi problem besar bagi mantan Kapolri yang tercatat cerdas itu.


Akhir kata, perhelatan piplres 2024 hanyalah menanti kehadiran sang boneka pelanjut. Akankah terealisasi? Hanya campur tangan Allah yang pasti bisa menggagalkan. Namun demikian, sebagai anak bangsa yang nasionalis sejati, kita tak boleh pasrah sebelum berjuang ekstra untuk menyelamatkan bangsa dan negeri ini. Seluruh elemen bangsa ini haruslah terpaneggil jiwa patrioriknya. Mereka semua harus hadapi kejihadan purna dalam menghadapi kekuatan para antek asing itu, yang saat ini – sebagai buzzer dari entitas manapun – sudah terjebak pada alam pikir dan gerak pragmatis yang sudah sampai pada urat nadi. Aliran darahnya – dari ujung rambut sampai ujung kaki – sudah mengaliri kepentingan oligarkis. 


Persekongkolan maha besar itu – jika kita membaca pemikiran Soekarno – sudah memusnahkan sikap patriotik bangsa sebagai bangsa yang berdikari dan merdeka secara berdaulat. Benar-benar hakekat kemerdekaan negeri ini telah sirna dan akan semakin menguap. Sang saka Merah Putih pun entah, apakah masih bisa berkibar atau sebaliknya. Pesimistik memang dan tak bisa diterima sikap dan pandangan politik loyo ini. Kalau begitu, tunjukkan patriotisme kita. Tunjukkan daya juang. Presiden boneka? No way forever. It`s enough, not more than…


Jakarta, 9 Mei 2011

Penulis: Direktur Analisis Center for Public Policy Studies INDONESIA.

Post a Comment for "Menanti Sang Boneka?"