Dosen PTKI Belajar Paradigma Baru Kemitraan Universitas-Masyarakat di Australia


Foto Kemenag
Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama mengirim empat dosen Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) ke Universitas Newcastle, NSW, Australia.  Mereka akan mempelajari paradigma baru pengabdian kepada masyarakat atau Kemitraan Universitas-Masyarakat di sana agar bisa diadopsi dan diadaptasi dalam konteks PTKI.
Keempat dosen yang dikirim adalah Dr. Sumadi dari Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis Jawa Barat, Asep Kurniawan (IAIN Syekh Nurjati Cirebon), Suryani (IAIN Lhokseumawe), dan Arif Mansyuri (UIN Sunan Ampel Surabaya). Mereka akan belajar Strenghts-Based Approaches (Pendekatan-pendakatan berbasis kekuatan) untuk Kemitraan Universitas-Masyarakat di Australia.
Keberangkatan empat dosen ini dilepas Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Arskal Salim GP, pada 23 November 2019. Mereka akan berada di Universitas Newcastle, NSW, Australia selama kurang lebih satu bulan. Sebelumnya, mereka juga mengikuti pre-departure workshop di Yogyakarta di bawah bimbingan Dr. Suwendi dan Dr. Abd Basir.
Arskal mengingatkan para peserta untuk fokus dalam mendalami paradigma baru Kemitraan Universitas-Masyarakat yang dikembangkan oleh Universitas Newcastle melalui Family Action Centre (FAC) University of Newcastle (UON) yang dipimpin Distinguished Professor Alan Hayes AM. Peserta harus memahami betul bagaimana Kemitraan Universitas-Masyarakat dipraktikkan oleh UON bersama Masyarakat Newcastle.
“Program-program apa saja yang ada, lembaga-lemabaga mana yang ikut terlibat dan tidak kalah pentingnya menjalin kerjasama dengan mereka,” pesan Arskal di Jakarta, Sabtu (23/11) pekan lalu.
“Kerjasama ini penting agar kita punya jaringan global dalam melaksanakan Kemitraan Universitas-Masyarakat di lingkungan PTKI,” lanjutnya.
Kasubdit Penelitian, Pengabdian, dan Publikasi Diktis Suwendi meminta peserta menuliskan hasil belajarnya dalam sebuah paper akademik untuk dipublikasikan. Hal sama disampaikan Abd Basir, bahwa  peserta harus dapat menulis buku tentang Paradigma Baru Kemitraan Universitas-Masyarakat untuk memperkaya model-model pengabdian kepada masyarakat yang selama ini sudah berjalan di PTKI.
Basir menambahkan, ada sejumlah narasumber yang akan mendampingi peserta selama di Universitas Newcastle. Mereka antara lain Distinguished Professor Alan Hayes AM, Direktur Family Action Centre (FAC) UON, Associate Professor Richard Fletcher, Director Fathers & Families Research Program, Dr Jennifer St George PhD, Senior Lecturer in Family Studies, Dr Jamin Day, Lead Investigator on Family & Community Compassion-based Approaches (CBA), dan Ms Carly Hughes, Local Coordinator, Muswellbrook Healthy & Well.
Narasumber lainnya adalah Ms Nicole Roser, Coordinator, Uni4You Upper Hunter, Ms Michele Knight, Family & Community Outreach Worker, Mr Craig Hammond, Coordinator Deadly Streaming Indigenous Youth Support Program, dan Ms Emma Freestone, Editorial consultant.
Dikatakan Basir, selama ini UON menggabungkan pendekatan akademik dan praktik atau action di lapangan dalam program kemitraan. Karenanya, peserta juga akan diajak melihat langsung pelaksanaan program Kemitraan Universitas-Masyarakat di sana, seperti Uni for You dan lainnya.
“Peserta juga akan diajak bertemu dan berdialog langsung dengan masyarakat Aborigin yang selama ini telah bermitra dengan Universitas Newcastle dalam pengembangan masyarakat. Masyarakat Aborigin yang tadinya sulit diajak belajar, sekolah dan kuliah, sekarang sudah banyak yang kuliah dan bekerja seperti warga Australia lainnya,” tuturnya.
Basir menilai pendekatan strengths-based penting dipelajari karena belum populer di PTKI. Kemitraan PTKI masih cnederung menggunakan pendekatan Problem-Based yang dalam teori ABCD (Asset Based Community Driven Develpment) sering diilustrasikan dengan gelas, separo isi dan separo kosong (half-full glass). Pendekatan problem based selalu melihat defisiensi atau kekurangan, masalah atau problem, kebutuhan atau need, bukan kelebihan.
“Paradigma ini harus kita balik. Karena itu, kita perlu menggunakan pendekatan berbasis kekuatan, potensi, aset, dan kelebihan yang kita miliki agar kita dapat melakukan pengembangan masyarakat secara berkelanjutan dan tidak bergantung kepada pihak luar,” ujarnya.
“Kita akan membangun masyarakat kita secara mandiri dengan kekuatan yang kita miliki sendiri. Jika ada bantuan dari luar, itu tidak boleh menciptakan ketergantungan,” tandasnya.
Semoga program yang bernama Overseas Community Development (OCD) MORA ini berhasil dan bermanfaat untuk bangsa Indonesia. (kemenag/alfa).

Subscribe to receive free email updates: