Madzhab Fiqih Yang Kaku, Masih Relevankah Saat Ini?
Oleh:
Firdaus, S.Pd.I, M.Pd.I Guru MTs N Tebing Tinggi Kab. Tebo Prov.
Jambi
Banyak orang yang mengaku bertaqlid
kepada satu mazhab fiqih tertentu, baik itu mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi'i, atau Hambali. Meraka sangat keras mempertahankan mazhab
tersebut. Tapi ternyata, dalam praktek keseharian mereka, meraka telah
mencampur adukkan antara satu mazhab dengan mazhab yang lain, hingga
sampai beberapa mazhab. Ini tanpa mereka sadari, bahkan terkadang
praktek ibadah yang mereka lakukan adalah campuran beberapa mazhab,
yang mereka anggap itu sumbernya dari satu mazhab yang mereka ikuti.
Sebagai
contoh, mayoritas umat Islam di Indonesia adalah Taqlid kepada Mazhab
Imam Syafi'i dalam hal fiqih. Tetapi belum tentu amalan mereka seratus
persen sesuai dengan mazhab syafi'iyah yang mereka ikuti. Sebagai
contoh, dalam hal sholat jum'at mereka praktekkan mazhab syafi'iyah
dalam syarat, rukun, tata cara, hal-hal yang sunnah dan lain-lain.
Syarat minimal empat puluh orang meraka ikuti, akan tetapi ada yang
sering tidak mereka ikuti, yaitu jarak minimal yang boleh diadakannya
sholat jum'at lain, sehingga tidak terjadi ta'addud al-Jum'ah
(terjadinya beberapa sholat jum'at di suatu negeri yang seharusnya
hanya boleh satu jum'at). Padahal kebanyakan hal ini terjadi tanpa
adanya Masyaqqoh (kesulitan) yang bisa menyebabkan bolehnya dua jumat
atau lebih di suatu Balad al-Jum'ah. Dan ini banyak terjadi
dilingkungan masyarakat kita, secara umumnya di Indonesia. Kemudian
sebagai contoh kecil, yakni dalam sholat jum'at menurut beberapa kitab
fiqih syafi'yah, khotib seharusnya memegang tongkat dengan tangan kiri
bukan dengan tangan kanan (lihat kitab Minhaj al- Qowim dan Tanwir al-
Qulub), tetapi kenyataannya mayoritas pakai tangan kanan.
Dalam
hal zakat, praktek yang selama ini terjadi, kebanyakan mereka ketika
membayar zakat fitrah, juga memakai uang tunai, bukan dengan makanan
pokok seperti beras. Dan yang lebih mengherankan lagi adalah bahwa
sebelum pelaksanaan pembayaran zakat fitrah ada amil zakat yang membeli
sekitar 10-20 kg beras, kemudian para pembayar zakat membeli beras
tersebut, dan pada akhirnya ratusan orang yang bayar zakat, beras yang
di perjual belikan secara bolak- balik hanya menggunakan beras yang
10-20 kg tadi. Belum lagi masalah hukum jual beli beras di dalam masjid
yang di larang. Dan masih banyak contoh- contoh yang lain. Ketika di
tanya, mereka bermazhab syafi'i.
Maka berdasarkan kenyataan- kenyataan
seperti diatas dan kenyataan- kenyataan lainnya, ternyata tanpa di
sadari oleh sebagian pengikut mazhab, bahwa mereka telah mencampur
adukkan antara satu pendapat imam mazhab dengan imam mazhab yang lain
(baca: Talfiq). Ada beberapa kondisi yang menyebabkan hal ini,
diantaranya : (1) dilingkungan mereka tidak ada ulama penganut mazhab
tersebut yang sangat memahami mazhab yang mereka ikuti, sehingga mereka
mengikuti apa saja yang mereka pandang sebagai mazhab meraka, tanpa
ada yang menegur atau mengarahkan mereka untuk memilih pemahaman yang
sesuai dengan mazhab mereka, (2) Khusus di daerah perkotaan atau daerah
yang hampir mendekati situasi seperti perkotaan, biasanya mereka
cenderung berfikiran rasional dan melek informasi dan di dukung pula
oleh kurangnya ikatan mazhab, maka mereka memperoleh pengetahuan
tentang pelaksanaan ajaran agama mereka melalui buku-buku, melalui
internet dan lain- lainnya yang di sajikan tanpa dengan beragam mazhab.
Hasilnya terjadilah Talfiq di mana-mana, para ulama mereka yang satu
mazhab terkadang lalai memperingatkan terhadap hal ini.
Dengan kondisi seperti ini, kini timbullah dua pertanyaan:
(1) apakah sistem mazhab yang "kaku" seperti yang mereka fahami harus tetap di pertahankan?
(2)
Ataukah harus merekonstruksi ulang pemahaman bermazhab? Kalau
pertanyaan pertama yang ingin kita jawab, maka perlu diadakannya
beberapa upaya gerakan yang terencana, sistematis, dan terorganisir.
Misalnya para ulama dari masing- masing mazhab tersebut, meneliti
daerah mana yang masih kuat pemahamannya tentang suatu mazhab, mereka
perkuat dengan memberikan pemahaman yang utuh mengenai mazhab tersebut.
Tapi hal ini amat sulit terkadang dilakukan, karena minimal ada dua
faktor:
(1) dalam masalah-masalah
kekinian, terkadang para ulamanya belum punya kapasitas untuk berfatwa,
sehingga sulit untuk mengaktualisasikan suatu mazhab tersebut.
(2)
dalam dunia informasi yang sangat terbuka ini, yang menyebabkan
masyarakatnya dapat memperoleh informasi pemahaman keagamaan yang lebih
luas dan beragam, rasanya memang sangat sulit untuk tetap "kaku" dalam
urusan bemazhab ini. Sebagai landasan model pertama yang berupaya
mempertahankan mazhab ini, ada baiknya kita memahami hasil studi George
Maqdisi yang di kutip oleh Prof. Dr. Syafiq A. Mughni didalam bukunya
Nilai- Nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, tentang
mazhab fiqih, yang mana ia melihat ada dua faktor utama yang
mempengaruhi perkembangan pemikiran fiqih tersebut, yaitu: pertama,
hendaknya ada, setidak- tidaknya pendukung intelektual yang mampu
mempropagandakan ideologinya ke masyarakat luas dan mampu membela
mazhab itu dari serangan lawannya. Kasus punahnya mazhab Maliki di
Baghdad pada abad ke-12 menjadi contoh tentang sebab yang pertama ini.
Kedua, ialah tersedianya patronase ( patronage ) dari kekuatan ekonomi
maupun politik.
Syi'ah muncul
sebagai arus intelektual yang berarti di dunia Islam baru terjadi
ketika Dinasti Buwayhi menguasai Irak pada abad ke- 10 dan mendorong di
rumuskannya hadis, fiqih, dan teologi yang spesifik Syi'ah. Di Iran,
Syia'ah baru saja menjadi mazhab mayoritas ketika penguasa dinasti
Shafawiyah melancarkan gerakan Syi'ahisasi total. Demikian juga sebab
mengapa mazhab Hanbali mampu menghadapi tekanan Syi'ah di Baghdad pada
abad ke-10 ialah kemampuannya memperoleh patronase dari kelompok
pengusaha dan tuan tanah, yang mana mereka benar- benar mendukung
mereka. ( Mughni, 2001: 208 ) Kalau pertanyaan kedua yang kita jawab,
maka inilah sebenarnya yang sesuai dengan kondisi ummat dan derasnya
arus informasi saat ini.
Jika menempuh langkah ini, maka dapat kita lihat dari dua sudut yaitu:
(1)
Bagi yang mampu untuk melakukan perbandingan mazhab untuk mendapatkan
dalil yang terkuat, maka hendaklah ia menempuh jalan ini, dan
mengamalkan hasilnya adalah wajib bagi mereka, meskipun para ulama
mutaakhirin berpendapat bahwa mengamalkan hasil muqranah, akan
mengakibatkan perpindahan mazhab atau talfiq, dan tidak di benarkan.
Tapi pendapat ini lemah, karena al- Qur'an dan Sunnah tidak melarang
untuk pindah mazhab atau talfiq. (Prof.Dr.Hj.Huzaemah Tahido Yanggo,
MA, 2011: 99). Atau
(2) secara umum
siapapun bisa mengambil pendapat dari ulama yang lebih rajih ( kuat )
yang menurut pandangannya lebih kuat menurut hatinya ( Dr. Yusuf Al-
Qaradhawi, 1995 : 192 ). Hal ini sebagaimana juga yang di jelaskan oleh
Prof. Dr. Wahbah Az- Zuhaili di dalam kitabnya Al- Fiqh al- Islam Wa
Adillatuhu : " dapat di simpulkan bahwa pendapat yang shahih dan rajih
di kalangan ulama ushul fiqih adalah tidak wajibnya konsisten dalam
mengikuti mazhab tertentu, dan boleh berbeda dengan pendapat imam
mazhab, juga boleh mengambil pendapat selain imam mazhab.
Hal
ini di sebabkan konsisten mengamalkan mazhab tertentu bukanlah suatu
kewajiban sebagaimana yang sudah kami terangkan. Atas dasar ini semua,
maka pada masa sekarang ini pada prinsipnya sama sekali tidak ada
larangan untuk memilih sebagian hukum syara' yang di tetapkan oleh para
ulama mazhab, tanpa membatasi jumlah mazhab tertentu ataupun membatasi
dengan detail-detail mazhab tersebut." (Zuhaili, 1995: 82). Semuanya
ini, tentu saja bukan hanya untuk mencari yang enteng-enteng dan yang
sesuai hawa nafsunya belaka, bahkan ini termasuk orang durhaka.
Hal
ini senada dengan fatwa Dr. Yusuf Al- Qaradhawi bahwa jika talfiq ini
di maksudkan untuk mencari yang sesuai selera saja, seperti mengikuti
yang enteng-enteng saja dari berbagai mazhab, mencari yang paling mudah
dan sesuai dengan hawa nafsunya serta di rasa paling enak, dengan
tidak memperhatikan dan mempertimbangkan dalilnya, maka yang demikian
ini tidak di perbolehkan. Karena itu, ulama salaf mengatakan:
barangsiapa yang memilih pendapat yang ringan-ringan saja dari berbagai
mazhab, maka ia telah berbuat durhaka karena dasarnya adalah hawa
nafsu. ( Al- Qaradhawi, 1995: 191 ).
Bahkan ada sebagian besar ulama
yang berpendapat bahwa Taqlid kepada Imam tertentu dalam semua
permasalahan dan semua kejadian yang di alami bukanlah suatu kewajiban.
Orang tersebut boleh bertaqlid kepada mujtahid manapun yang dia
kehendaki. Dalil yang mereka ajukan adalah Firman Allah SWT : "...maka
tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui."
(Q.S. Al- Anbiya': 7).
Kemudian alasan lain yang mereka ajukan adalah
bahwa orang- orang yang meminta fatwa pada zaman zahabat dan tabi'in
tidak ada yang mewajibkan dirinya untuk mengikuti mazhab tertentu saja,
melainkan mereka akan menanyakan permasalahan kepada siapapun yang
ahli, tanpa membatasi diri kepada salah satu dari mereka. Ini dapat di
simpulkan bahwa mereka adalah bersepakat ( berijma' ) bahwa bertaqlid
hanya kepada satu imam saja atau mengikuti mazhab tertentu dalam
berbagai permasalahan, bukanlah suatu kewajiban bagi orang yang
mengambil fatwanya secara khusus atau muslim pada umumnya. (Az-
Zuhaili, 2011: 81 ).
Akhirnya, dari penjelasan di atas dapat di
simpulkan bahwa: Untuk kondisi saat ini pendapat yang memperbolehkan
Talfiq dalam urusan fiqih adalah lebih sesuai dengan kondisi saat ini,
dengan syarat harus berdasarkan upaya untuk mencari yang mana dalil
yang lebih kuat dan lebih meyakinkan hatinya, bukan demi mengikuti hawa
nafsunya dalam mencari yang ringan-ringan saja.
Sumber: jambi.kemenag.go.id
Penulis alumni Pasca Sarjana IAIN STS Jambi, Dosen STIT Tebo, dan Guru MTs Negeri Tebing Tinggi Tebo.