Kualitas Demokrasi dan Politik Kooptasi

Oleh Agus Wahid

 Cukup menarik membaca opini dan sikap politik Profesor Kishore Mahbubani dari University of Singapure itu. Bagaimana tidak? Profesor yang notabene tercatat 100 besar dari dalam jajaran intelektual dunia ini menyampaikan catatan yang menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas keilmuan dan kejernihan akal sehatnya. Menurutnya, “Jokowi is the genius of democracy”. Hal ini sejalan dengan kemampuannya dalam menggandeng rivalis politiknya: Prabowo Subiyanto dan Sandiago Uno ke dalam jajaran kabinetnya. Inilah karya politik konstruktif Jokowi yang luar biasa dalam merenda sistem demokrasi di Tanah Air ini. Sesedarhana itukah variabel yang diambil dan dianalisa oleh Profesor Kishore?

Memang, secara politik, keberhasilan Jokowi menggandeng kedua tokoh yang jelas-jelas rivalisnya dalam kontestasi pemilihan kepresidenan (pilpres) sangat besar pengaruhnya. Dinamika politik pasca pilpres yang memasukkan Prabowo dalam jajaran awal kabinetnya bukan hanya merupakan sinyal ishlah, tapi ada satu sisi penting dan sangat mendasar untuk kepentingan pembangunan nasional ke depan. Yaitu, peredaman konflik vertikal-horisontal pasca pilpres. Lebih dari itu, koalisi itu pun berpengaruh nyata pada sketsa politik di parlemen. Kebersamaan kedua tokoh rivalis sebagai personal sekaligus partai politik dalam kabinet, tentu berdampak kondusif bagi dinamika politik di parlemen bahkan di luar panggung parlemen.

Perlu kita kritisi, Profesor Kishore gagal mencermati faktor determinan dari kesediaan kedua rival politiknya, terutama Prabowo. Yang dilihat adalah peran Jokowi dalam menciptakan peredaman suhu politik. Dalam perspektif politik, peredaman itu memang sangat diperlukan. Untuk membangun kekuasaan yang efektif. Karenanya, sangat bisa dipahami ketika Jokowi memerlukan kondusivitas itu. Namun demikian, faktor determinannya sesungguhnya ada di tangan kesediaan Prabowo.

Kita semua tahu, bahwa perhelatan pilpres 2019 itu penuh tricky dan manipulasi. Meski garda terkahir, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak tuduhan atas nama tak bisa dibuktikan, tapi orang awam pun bisa menilai dengan jernih bahwa seluruh lini politik dan hukum – dari lembaga penyelenggara pemilu, badan pengawas pemilu, lembaga pertahanan dan keamanan, sampai ke lembaga penegak hukum terakhir (MK) – semuanya sudah tidak berpihak pada kebenaran obyektif. Sampai-sampai, gugatan uji materi Rachmawati Soekarnoputeri Cs. ke Mahkamah Agung (MA) pada 7 Juli 1991, yang – secara politik – sesungguhnya juga tak digubris.

Data menunjukkan, gugatan Rachmawati Soekarno puteri sebenarnya diproses oleh MA dan pada 20 Juli 1991 telah keluar putusannya, No. Nomor 44 Tahun 2019. Putusan MA ini jelas isinya: Pasal 416 Ayat 1 mengatur paslon terpilih adalah paslon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pilpres dengan sedikitnya 20% suara di lebih dari 50% provinsi di Indonesia. Sementara, pasangan JOMA tidak memenuhi persebaran itu. Karenanya, kemenangan JOMA harusnya batal demi hukum. Tapi, aneh bin ajaibnya – dan publik membaca skenario konspiratif itu – putusan MA baru diunggah dan bisa diakses oleh publik pada Juli 2020, atau sekitar 10 bulan setelah pasangan Jokowi-Ma`ruf Amin dilantik. Sementara, putusan MA bersifat prospektif, tidak surut. Karenanya, secara hukum, putusan MA tidak membatalkan pelantikan KPU terhadap pasangan JOMA. Tapi, menjadi persoalan besar dari sisi moral kekuasaan. Kalangan penjunjung tinggi moral tak habis pikir sebuah kekuasaan besar dan strategis dibangun atas dasar konstruksi hukum yang sejatinya telah dibatalkan.

Membaca sejumlah data tersebut, publik membaca pula bahwa catatan Profesor Kishore tidak sampai pada riak-riak demokrasi itu. Bahkan, juga gagal membaca suasana batiniah Prabowo dan para pengikutnya. Sebab, jika Kishore menelaah suasana kebatinan Prabowo dan pengikutnya yang berjuang secara all out bahkan berdarah-darah, dia akan melihat jiwa besar seorang Prabowo yang dikadali secara mentah-mentah. Jika Prabowo menyikapi secara konsisten dan terus menggugat praktik politik yang penuh tricky atas nama penegakan hukum dan kebenaran, maka bukan hanya kondusivitas iklim politik yang sulit tercipta, tapi bahkan berpotensi besar terjadi “perang saudara”. Konflik yang berdarah-darah inilah – dalam pengakuan Prabowo – yang dihindari. Dia rela “dikalahkan” dan dipermalukan secara nasional bahkan internasional yang penuh konspiratif itu demi terhindarinya korban bagi anak-bangsa ini. Jiwa besar inilah yang membuat dirinya berkenan masuk dalam jajaran kabinet Jokowi. Sekali lagi, faktor determinan seorang Prabowo lepas dari pengamatan Profesor Kishore.

Kishore juga gagal menangkap substansi demokrasi itu sendiri. Jika memahaminya dengan penuh integritas atas keilmuannya, harusnya dia mencatat bagainana riak-riak demokrasi yang dibangun sebelum, saat berlangsung dan pasca pilres. Secara teoritik, demokrasi mengajarkan penghormatan perbedaan, terkait pilihan politik, hukum, keyakinan. Apa yang kita saksikan, pernghormatan itu berubah menjadi diskriminasi, kriminalisasi dan persekusi, terutama terhadap para pihak yang berbeda itu. Semakin sadis saat pilpres berlangsung dan beberapa hari jelang KPU mengumumkan hasil suaranya. Publik negeri ini bahkan internasional menyaksikan bagaimana sejumlah manusia menjadi korban keganasan aparat keamanan, di sekitar kantor KPU, sampai ke Petamburan. Sungguh paradoks dengan nilai-nilai humanisme yang dijunjung tinggi demokrasi.

Dan jauh setelah pilpres, kita saksikan paktik ketidaktransparanan dalam tata-kelola pemerintahahan, terkait kebijakan ekonomi, ideologi, penegakan hukum, sosial dan sektor lainnya, apalagi politik. Dalam panggung politik, kita juga saksikan panorama atau skenario pembenturan antargolongan dengan cara melindungi pihak tertentu, meski golongan ini nyata-nyata melakukan agitasi, provokasi dan mempersekusi. Lebih dari itu, terjadi pembiaran ketidakberpihakan terhadap anak-bangsanya sendiri dibanding bangsa lain, dalam kaitan tata-kelola sumber daya alam. Semua itu kian jauh dari cita-cita pembumian Pancasila yang menjadi dasar ideologi negeri ini, dalam kontek persatuan, keharmonisan, kemakmuran (kesejahteraan) yang adil dan merata.

Secara simplistis, kita bisa menggaris-bawahi bahwa tujuan demokrasi ideal sama sekali tak terukir oleh rezim ini. Lalu, bagaimana Kishore mencatat Jokowi sebagai the genius of democracy? Kalau diartikan sebagai perusak atau the destroyer of democracy – boleh jadi – banyak pihak sepakat dengan penilaian itu. Namun, bukan itu yang dimaksudkan Profesor Kishore. Dia hanya mencatat “secuil” data, yang kemudian diblusting setinggi langit tanpa melirik segunung noda yang ditorehkan melalui perilaku politik dan kebijakannya yang cukup destruktif bagi kepentingan bangsa dan negara. Sungguh tidak fair secara akademik, bahkan tak berkualitas. Sorry to say, profesor berlevel dunia tidak pas mengeluarkan opini “picisan”. Hal ini mengundang pertanyaan mendasar, apakah dia menjadi bagian dari buzzer? Bukan tak mungkin. Kalau memang ya, sungguh mendegradasikan martabat keprofesorannya. Jika bukan buzzer, sang profesor dari Uiversitas Singapura itu perlu melakukan riset mendalam lagi, kalau perlu melakukan observasi secara intensif. Agar tidak seperti memandang gunung: tampak indah dari nun jauh, sebaliknya dari jarak dekat.

Politik Kooptasi

Kembali pada tesis Kishore yang menilai jenius terhadap Jokowi dalam membangun sistem demokrasi. Perlu kita garis-bawahi, upaya merangkul Probowo dan – sekitar setahun kemudian merangkul Sandiago Uni – dalam “kamus” politik kita kenal dengan istilah kooptasi.

Sikap presiden – dalam menentukan para pembantunya – bukan semata-mata mempertimbangkan profesionalitas dan loyalitas, tapi terdapat upaya sistimatis untuk menjinakkan para kontrarian. Pertimbangan ini mendorong penerapan strategi merangkul. Penjinakan dengan strategi merangkul dengan berbagi kekuasaan – tak dapat disangkal – sangat efektif, ketimbang harus dihadapi dengan membasminya. Memang tak semua bisa dirangkul dengan fasilitas. Namun kecenderungan bicara: menaklukkan dengan fasilitas (kekuasaan) membuat para kontrarian bukan hanya diam, tapi manut atas titah sang pemberi kekuasaan.

Perlu kita catat, ketika format politik kooptasi menjadi model untuk menaklukkan para kontrarian, hal ini sebenarnya menjadi bumerang, bahkan tragedi tersendiri, dari sisi politik praktis dan budaya politik. Bukan tak mungkin, jika penjinakkan itu dibiarkan terus-menerus dan membudaya, hal ini bisa berpotensi menjadi negara totalitar. Karena itu suara berbeda – dalam konteks demokrasi – justru menjadi alat kontrol untuk mengerem manakala kekuasaan berjalan out of the track, atau kondisi tidak maksimal dalam membangun kinerjanya. 

Karena itu oposisi idealnya diperlukan untuk kepentingan membangun perimbangan kekuatan. Bukan untuk ngotot-ngototan atau asal beda, tapi keberbedaan itu justru untuk sebuah misi besar: perjalanan pemerintahan yang sejalan dengan kepentingan negara dan bangsa berdasarkan haluan konstitusi. Jika Presiden trauma dengan rezim masa lalu yang dulu pernah mengembangkan budaya politik kooptasi yang akhirnya berdampak tragis bagi negeri dan bangsa ini, maka sudah sewajarnya budaya politik kooptasi harus dihindari, bukan dipupuk atau dilanjutkan dan dilestarikan.

Sekali lagi, dalam diri Presiden pun tergoda untuk meniadakan perbedaan. Memang manusiawi. Namun, perlu disadari dan diyakini, apalagi sudah terjadi dalam panggung sejarah bahwa format politik kooptasi sejatinya malapetaka. Dalam kaitan ini, yang harus ditekankan adalah perbedaan itu fitrah dan mengandung hikmah besar. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola perbedaan menjadi potensi yang justru menjadi kekuatan bagi kepentingan keselamatan bangsa dan negara. Itulah makna kontrol, yang sejatinya berdimensi sangat konstruktif.

Di sisi lain – dan hal ini yang latah – para pihak, dari elemen partai politik atau lainnya – pun idealnya menjauhkan diri dari sikap mengkooptasi diri. Memang – sekali lagi kalau mengutip pemikiran politik Lord Acton – berpolitik memang untuk menggapai kekuasaan. Terminologi sikap low politics ini  justru mendegradasi citra politik itu sendiri, yang menurut Aristoteles dalam bukunya “democratie” sesungguhnya mulia. Persoalan seriusnya, masyarakat – secara apriori – tidak mau tahu tentang kekuasaan itu untuk apa. Yang dilihat adalah menggapai atau mengejar kekuasaan dalam upaya mengkooptasi diri. Inilah panorama dimana masing-masing parpol atau lainnya berusaha merapat ke kekuasaan.

Jika paradigma dan sikap politiknya harus merapat ke kekuasaan, maka tak ada harapan cerah bagi rakyat untuk mendambakan perubahan seperti yang digariskan sebagai Indonesia Maju. Akhirnya, rakyat hanya mencatat itu hanyalah slogan politik, bukan visi besar. Inilah catatan kecil yang perlu kita zoom saat kita semua menanti dinamika politik ke depan.

Akhir kalam, publik tidak perlu silau dengan opini yang dibangun Profesor Ksihore. Ada skenario pembusukan intelektualitas. Juga, skenario cara pandang bangsa ini terhadap rezim yang – sekali lagi dari kacamata demokrasi – kian jauh dari prinsip dan cita-cita para pendiri negara. Ojo dumeh (jangan mentang-mentang) yang berpendapat itu sang profesor tingkat dunia, lalu kita menjadi tumpul daya respon cerdasnya.

Bandung, 10 Oktober 2021

Penulis: Direktur Analisis Center for Public Policy and Studies Indonesia

Post a Comment for "Kualitas Demokrasi dan Politik Kooptasi"