Islam Liberal: Seberapa Bahaya ?

Catatan dan Ulasan Webiner Asdak UI


 

Agus Wahid

Sekitar jam 14.00 – 16.00 lebih, Asrama Mahasiswa UI, Dhasinapati (Asdak) menyelenggarakan webinar serial, mengangkat isu Islam Liberal. Narasumber utama Dr. Adian Husaini, yang kini – sejak 22 September lalu – diberi amanah sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Alumni Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan doktoral dari Univeritas Internasional Antarbangsa - Malaysia ini tergolong pemikir muda yang cukup gigih dan sangat produktif mengcounter isu-isu massif tentang Islam liberal di Tanah Air ini. 


Tidak hanya mengulas di berbagai media massa cetak, radio dan media online, juga demikian produktif menulis buku seputar isu-isu strategis liberalisme agama dalam tataran pemikiran, sikap dan tindakan. Bahkan, seorang Adian tak segan-segan silaturahim dan atau memenuhi undangan para pihak yang getol suarakan Islam liberal itu. Keterpanggilannya cukup kuat sehingga mengikhlaskan diri dengan “mewakafkan” waktu dan pemikirannya untuk hadapi gerakan liberalisasi Islam itu. 


Di mata Adian, gerakan liberalisme agama digarap secara “retail” dalam bentuk ulasan-ulasan kritis based on research pesanan atau kerjasama sponsorship untuk menghadirkan sejumlah buku atau website seperti yang dilakukan sejumlah LSM dan mahasiswa pragmatis. Juga, dalam bentuk “hole sale”, yang dilakukan oleh sejumlah perguruan tinggi. Terencana dan sangat sistimatis. Menyasar, mulai pencetakan tenaga pengajarnya yang terkonversi akidahnya, sampai ke silabus atau mata pelajaran/kuliah. 


Semuanya sarat dengan agenda besar perubahan paradigma sekuliristik keagamaan. Menurut Adian, gerakan “hole sale” sangat berbahaya, karena sasaran tembaknya adalah bukan hanya perubahan paradigma keagamaan saja, tapi sikap dan aksi sosial, bahkan sampai ke arena politik dan ekonomi secara praksis yang sarat dengan infiltrasi liberalisme. Itulah sebabnya, Adian menilai urgent untuk memasuki wilayah pendidikan, dari level terendah sampai perguruan tinggi. Bersifat antar perguruan tinggi Islam. Lembaga pendidikan menjadi bagian strategis untuk membentengi gerakan sistimatis liberalisme agama, khususnya, Islam liberal.


Webinar yang menarik itu “didampingi” Prof. Zulkifli Amin, Prof. Zulhasril Nasir, Zulkarimen Nasution dan Prof. Zulfikar Gazali selaku pembahas. Seperti biasa, acara dibuka oleh Ketua Paguyuban, yang kali ini dilakukan oleh Irwandi Batubara. Sebagai stand in, karena Abang Antony Z. Abidin telat gabung. Seperti biasa pula, diskusi via Webiner dipandu Des Alwi.


Dr. Adian Husaini tampak mempersiapkan materi untuk acara silaturahim dengan keluarga besar Asdak UI. Hal itu terlihat jelas pada power point yang disiapkan. Cukup detail. Meski bukan hal biasa bagi mantan wartawan Republika ini, tapi penyiapan power point merupakan artikukasi sikap penghormatan tersendiri, karena audiencenya memang diyakini sebagai kalangan “khusus”. Dengan ucapan terima kasih atas undangannya, Adian memaparkan persoalan Islam liberal yang memang merupakan masalah serius bagi pemikiran, sikap dan tindakan keberagamaan ber-Islam. 


Terkategori cukup komprehensi paparanya. Padat referensi. Bukan hanya menyampaikan sejumlah buku atau jurnal liberalis itu, tapi juga sampaikan sejumlah karya pribadinya. Sebagai counter atas sejumlah “kesesatan”, setidaknya penilaian yang menunjukkan kualitas kebahayaan kaum liberalis muslim itu. 


Adian – dalam waktu sekitar 30 menit awal – memaparkan konsepsi Islam liberal dan liberalisasinya, siapa aktor determinannya dan penyerbar “virus” lanjutan sebagai estafeta penerus, dari kalangan IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah dan sejumlah UIN lainnya, serta konspirasinya untuk agenda besar di balik liberaslisasi agama (Islam). Tak kurang menarik, Adian juga sampaikan  reaksi para tokoh muslim yang tak sejalan, seperti Muhammad Rasyidi (alm), Deliar Noor (alm) dan ormas Muhamadiyah  dengan menukil catatan lintasan historis sampai ke akar sejarah jauh ke belakang yang menguandangkan pemikiran liberal: Freemasonry, pendorong terjadinya gerakan sistimatis okupasi Amerika, Revolusi Prancis dan akhirnya imperailisme bangsa ke bangsa-bangsa lemah di muka bumi. 


Cukup disayangkan, ada sejumlah sinyal yang off, membuat disconnected komunikasi, meski hanya sebagian kecil dari total waktu yang disampaikan. Karena itu, ada beberapa yang lost dari cakupan informasi yang terlontar. Meski demikian, ada banyak hal yang bisa disampaikan dari webiner kemarin siang, meski tidak keseluruhan. Dan semoga penyampaian catatan ini bisa menjadi bahan bacaan bagi teman-teman Asdak yang tidak sempat mengikuti webiner 26 September, kemarin siang.


Diawali, penyampaian catatan Islam liberal yang pernah dikumandangkan Nurcholis Madjid atau yang lebih dikenal Cak Nur, “Islam Yes, Partai Islam No”, pemikiran ini cukup membelalakkan berbagai tokoh umat seperti mantan Menteri Agama RI pertama, Prof. Muhammad Rasyidi dan Prof. Dr. Deliar Noor. Juga, membuat para cendikiawan muslim lainnya seperti Prof. Dr. Endang Saefudin Anshori (UNPAD), Prof. AM Saefuddin (IPB), Prof. Dr. Sahirul Alim (UGM), Imaduddin Abdurahman (ITB), Mahyuddin (Universitas JAYABAYA), dan tentu masih banyak yang lain. Adian tidak sempat menyampaikan informasi tentang upaya “penyidangan” sejumlah cendekiawan muslim terhadap Cak Nur pada tahun 1980-an, tapi – menurut penuturan AM. Saefuddin – Cak Nur tak pernah mau memenuhi undangan kelompok cendikiawan Muslim, meski misi utamanya klarifikasi. Di mata mereka, Cak Nur membawa paham sekuler. Sekulerisme bukan hanya sangat berbahaya bagi umat, tapi folosofi historisnya beda dan jelas menjatuhkan keberadaan Islam, sebagai ajaran ataupun umatnya.


Statemen Cak Nur tentang Islam yes, Partai Islam no – secara faktual – merupakan embrio gerakan Islam liberal. Dari pernyataan itu, Cak Nur kian agresif menyampaikan gagasan-gagasan liberalnya, yang – boleh dinilai – sebagai koreksi terhadap “kegagalan” Islam dalam bertransformasi terhadap nilai-nilai modernitas. Pemikiran ini – di mata kaum cendekiawan Islam – dinilai kebablasan, atau berlebihan. “Mengapa tidak mereview umat selaku penganutnya yang memang diperhadapkan sejumlah keterbatasan pemahaman?”


Gerakan Islam liberal Cak Nur relatif tak terbendung. Melalui lembaga IAIN Syarief Hidayatullah, alm terus mengumandangkan ide-ide liberal itu dan – secara tak langsung – mencetak generasi liberalis. Tak bisa dipungkiri, sosok seperti Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat – keduanya pernah menjadi Rektor IAIN tersebut – menjalankan misi besar liberalisasi agama Islam.


Sebagai komponen anak muda, ide liberalisme Islam memang dinilai cukup baru, apalagi jauh sebelumnya terkungkung dalam lembaga pendidikan pesantren yang notabene jauh dari ide-ide “pemberontakan” pemikiran yang dinilai pembaharuan. Sebagai karakter kaum muda yang haus mencari sesuatu yang baru, ide yang lebih mengendepkan rasionalitas (akal) dilai cukup merangsang. Itulah sebabnya, di kalangan internal IAIN, gagasan Cak Nur cukup diminati, terutama dari Fakultas Ushuluddin, Jurusan Adab dan Filsafat, bahkan Fakuktas Syariah.


Menurut Adian, sebenarnya gagasan Cak Nur pada tahun 1970-an dan terus menguat pada era 1980 hingga 1990-an, bukanlah gagasan baru. Jauh sebelumnya, gagasan liberalisme agama di Tanah Air ini sudah dikembangkan oleh Belanda. Hanya isu yang dikemasnya beda. Juga beda tujuannya. Jika Belanda, mengarah pada upaya westernisasi untuk misi besar kolialisasi. Sementara, Cak Nur tak jelas. Boleh jadi, untuk misi modernisasi agar muslim bangkit dari tradisionalismenya. Di mata Cak Nur, ormas besar Islam seperti Muhamadiyah dan Nur dinilai gagal membangun gerakan pembaharuan untuk umat. Di sianalah, dia memandang urgent untuk menghadirkan pemikiran modernisme Islam guna melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional. Dan karenanya diperlukan liberalisasi agama. Guna mengatasi ketertinggalan umat. Sikap high politicsnya konstruktif. Tapi, di antara pemikirannya yang – di antaranya mengetengahkan ide pluralisme agama – menjadi persoalan serius. Sebab, falsafah pluralisme – pada akhirnya – menegaskan semua agama. Semuanya akan masuk surga. Yang penting baik amalnya. Tak  perlu taat beragama (menjalankan syariah islamiyah). 


Pemikiran Cak Nur itu – di mata alm. Buya Nasir – jelas-jelas merusak akidah Islam. Kental dengan pemikiran sekulerisme. M. Rasyidi juga sama pandangannya. Kemudian, beliau terpaksa harus menjawab pemikiran Cak Nur yang berbahaya itu dalam sebuah buku. Dalam pandangan M. Rasyidi (alm), teori-teori orientalisme memang tendensius. Dirancang sebagai upaya mendestruksikan Islam secara ilmiah agar diterima secara akademik. Di antara orientalis yang cukup ternama seperti HR. Gibb – sebagai catatan tambahan pribadi Agus Wahid – melalui buku “Muhammadinism”, digambarkan, Muhammad, nabi dan rasulnya orang Islam itu punya penyakit ayan, kelojotan saat terima wahyu. Kesimpulannya, Muhammad gila. Arah tersiratnya, “mengapa Rasul gila diikuti”? Yang harus kita catat lebih jauh, arah tersirat itu dijadikan konsepsi untuk menggiring opini, “Umat Islam juga gila. Karena itu tidak bisa membedakan ajaran al-Islam sesat”. Inilah teori-teori orientalisme yang menyesatkan. Anehnya, teori jahat ini dijadikan referensi dari pencari ilmu Islam di dunia Barat. 


Di sisi lain, Gibb – dengan judul bukunya yang cukup terkenal itu – tampak seperti menegaskan, Islam sebagai isme atau faham yang dikembangkan Muhammad secara personal, tanpa tuntunan Allah.  Dia mengabaikan posisi Muhammad sebagai manusia biasa, meski diberi wahyu dalam menjalankan risalahnya. Gibb menggaris-bawahi Muhammad buta huruf, tapi mengembangkan logika tentang kecerdasan Muhammad. Arahnya menggiring bahwa ajaran yang disampaikan Muhammad adalah “hayalannya”, bahkan – secara nyinyir – ditegaskan sebagai “igoannya”.

 

Sementara, Adian menilai, liberalisasi agama (Islam) atau Islam liberal merupakan proyek pendestruksian terhadap Islam. Di sinilah – papar Adian lebih lanjut – bahayanya teori hermenitika untuk mereview ajaran Islam, padahal teori tersebut sejatinya untuk Bibel dan umat Yahudi. Karena itu menjadi keliru sasaran dan akhirnya menyimpang jauh, kalau tidak disebut menyesatkan. Kesimpulan ini pula yang membuat MUI Pusat menyatakan fatwa haram terhadap Islam liberal.


Generasi Penerus yang keluar dari episentrum gagsan liberal Cak Nur.

Adian melihat, Islam Liberal saat ini (setelah Cak Nur tiada) sudah cukup jauh bedanya. Generasi penerusnya sudah jauh lebih ekstrim dalam mengkritisi “DZAT Allah”. Adian mencontohkan tulisan yang berjudul “Tuhan dalam Secangkir Kopi”, “Langit Makin Mendung”. Bahkan, diperlihatkan juga tulisan yang “menggugat” validitas ayat-ayat al-Qur’an. Seingatku – bukan informasi dari Mas Adian – yang mempertanyakan validitas ayat-ayat al-Qur’an Lutfie Syaukani, jebolan Pesantren At-Taqwa Bekasi. Saat ini pengajar di Universitas Paramadina.


Gugatan liberalis itu – di mata Cak Maskan Atmaja – sangat menghinakan. Meski tidak begitu mendalami Islam, tapi demikian tak rela ketika melihat atau mendengar salah satu dosen yang membuat tulisan “Allah” dan ayat-ayat tertentu, lalu diinjak-injak, meski secara fisik. Muslim awam terbiasa dengan hal-hal formal atau lahiriah. Secara substantif, penginjak-injakan itu sesungguhnya sangat menista ajaran.


Perlu dicatat, gerakan ekstra Islam liberal yang sejatinya tak lagi sehaluan dengan Cak Nur kian agresif. Sebut saja Ahmad Sahal, Musdah, Ihsan Ali Fauzi, Saeful Mujani (ketiganya jebolan IAIN Syarif Hidayatullah – Ciputat (Jakarta) dan Ade Armando, Denny JA (keduanya jebolan UI), mereka adalah nama-nama yang masih getol untuk terus mengumandangkan Islam liberal, dalam kontek pemikiran, bahkan memasuki ranah politik praktis. Konsep liberalisasi politik ini didesain untuk memperloyo kekuatan umat dalam gelanggang politik dan kekuasaan. Pembagian “kavling” ini tampak dirancang sebagai gerakan konspiratif asing-domestik untuk sama-sama menghancurkan al-Islam dan umatnya. Dan untuk misi besar ini, mereka terus menjalin kerjasama strategis dengan sejumlah donatur asing, di samping anasir anti umat, termasuk dari Naga Sembilan.


Harus Ditangkal

Gerakan globalis-domestik yang terus mengancam itu harus ditangkal. Menurut Adian, umat – sedini mungkin – harus ditanamkan akidah yang kuat. Keberlanjutan studinya juga harus dikawal. Para tokoh muslim juga perlu menghadirkan program “mencetak ulama” yang berkaidah baja. Karena itu, DDII concern – melalui Sekolah Tinggi Dakwah Moh. Nasir –membangun misi besar: mencetak ulama secara edukatif-terencana. Para alumninya disebar ke berbagai pelosok Tanah Air. Misinya jelas: bukan hanya mencegah agenda kristenisasi, tapi juga pendangkalan pemahaman Islam atau deislamisasi.


Di mata Prof. Zulhasril Nasir, gerakan pencerahan sekaligus perimbangan kekuatan dakwah menjadi bagian strategis untuk menangkal liberalisasi Islam. Langkah ini dimaksudkan agar umat memahami gerakan sistiamtis Islam liberal, sehingga tak bisa diputar-balikkan pehamahannya; sehingga umat tahu ketika menghadapi rekayasa sistimatis dalam tataran pemikiran, aksi dan lainnya.


Menjadi strategis pula – catat Zulhasril lebih lanjut – untuk memperkiuat basis media komunikasi. Meski tidak harus menghadirkan media mainstream, tapi kekuatan media sosial harus dimainkan secerdas mungkin. Masing-masing juga bisa membikin “Blog” mandiri, sebagai bagian dari dakwah perimbangan itu. Kita harus maju “berperang”. Untuk mengcounter kaum Islam liberal itu.


Di sisi lain, Prof. Zulkarimen Nasution melihat ada persoalan akidah yang perlu diperkuat. Bagaimana berislam dan berukun iman yang maksimal. Hal ini tak lepas dari degradasi keyakinan umat Islam menjadi sasaran empuk gerakan Islam liberal. Dalam kaitan penguatan rasa dan keyakinan berislam dan beriman itu pula, Brother Benri memandang penting penghimpunan buku-buku pencerehan anti Islam liberal. Jika perlu, harus menambah sesuai dengan perkembangan isu yang terus diproduksi kaum liberalis itu. Dalam kaitan ini, Abang Irwadi Batubara menyampaikan sebaiknya ada rencana strategis untuk mengelola lebih jauh perbukuan, mulai dari riset dan penerbitan. Sekali lagi, untuk mengconter gerakan sistimatis-konspiratif asing-liberalis domestik.


Semantara, Abang Soekotjo menilai diskursus bertema Islam liberal menilai perlu dilakukan lagi. Senada dengan beliau, Abang Bahrulalam juga menilai penting dan urgensinya diskursus seperti ini. Karenanya, perlu ada seri lanjutan. Menjawab keinginan peserta Webinar ini, Adian tidak saja menyambut positif, tapi – jika corona selesai – akan mengundang keluarga besar Asdaker untuk ajang diskusi mendalam di kantor pusat DDII di Kramat 45  Jakarta Pusat.


Jelang diakhiri, Mas Imron Khozin – sebagai asdaker yang rajin mengkritis isu Islam liberal – menyampaikan happy, karena sejumlah pemikirannya terkonformasi oleh narasumber yang mumpuni. Keterkonfirmasian ini tentu bermakna. Setidaknya, catatan beliau bisa dijadikan mitra diskusi lebih jauh di kalangan asdaker.


Dan saat acara diakhiri, Abang Antony Z. Abidin menilai, diskursus yang bertema Islam liberal perlu dilanjutkan lagi untuk keluarga besar Asdaker. Beliau menyampaikan catatan transformatif. Cegah liberalisasi agama dalam konteks pemikiran penting. Tapi, tak kalah pentingnya masuk ke pemikiran liberalisasi politik dan ekonomi. Saat ini, problem politik dan ekonomi yang tidak berpihak pada kepentingan umat dan asas keadilan bagi seluruh anak-bangsa sedang tergerus sedemikian rupa. Karena itu, ada urgensi juga bagaimana mengetengahkan isu-isu strategis terkait politik dan ekonomi itu dalam bingkai spiritualitas keislaman, kebangsaan dan kenegaraan.


The last but not least, abang Antony merasa terkesan dengan karya Adian tentang milestone pendidikan yang ditulisnya berdimensi jangka panjang: sampai 2045. Beliau mengharapkan membelinya sekitar 100 eksemplar untuk dibagikan ke pesantren-pesantren binaannya. Suhanallah. Bertekad ikut menyelamatkan generasi anak didik yang memang harus dibangun fondasinya secara kuat.


Jakarta, 26 September 2020

Penulis: asdaker,  Lt. Magma, Kmr. 104

Post a Comment for " Islam Liberal: Seberapa Bahaya ?"