KH Said Aqiel Siradj (foto asbihu-nu) |
Oleh KH Said Aqil Siradj
Sebagai warga Nahdliyin yang menjaga
tradisi-tradisi ibadah yang talah dilakukan turun
temurun sejak para wali menyebarkan
agama Islam ke Nusantara, kita tentu memiliki banyak tantangan. Terutama dari
gerakan wahabisasi yang akhir-akhir ini semakin marak. Gerakan ini ingin menghapuskan
praktek-praktek ibadah yang telah diajarkan sejak saman Rasulullah SAW, para
sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga sampai pada kita di masa sekarang ini.
Gerakan-gerakan yang ingin
menghancurkan praktik-praktik ibadah yang telah menjadi tradisi ini muncul karena
khazanah keagamaan mereka sangat minim. Biasanya, dalam satu, dua, hingga tiga
kali ceramah membahas keagamaan mereka mungkin penyampaiannya masih bagus.
Namun di ceramah selanjutnya, karena minimnya pengetahuan mereka dan kehabisan
bahan ceramah mereka akan kembali berputar di masalah-masalah bid’ah saja.
Untuk menutupi minimnya pengetahuan,
biasanya mereka menutupinya dengan pakaian ala Arab. Kita jangan sampai mengira
bahwa yang memakai gamis dan berjenggot itu hanya Nabi Muhammad, Abu Jahal pun
juga bergamis dan berjenggot. Jangan sampai kita mudah tertipu dengan penampilan
orang-orang yang belum tentu jelas pengetahuannya tentang Islam. Misalnya jika
perbedaan antara dzikir, wirid dan doa saja tidak tahu, lalu mereka kemudian
mengangapnya sebagai bid’ah, yang seperti ini tidak boleh diikuti.
Padahal sebenarnya, jika memiliki
ilmu yang cukup, mereka dapat menerangkan bahwa dzikir adalah apa pun yang
membuat kita ingat kepada Allah. Dzikir itu taqarrub (mendekat, red) kepada Allah.
Lalu doa adalah kegiatan ibadah atau penghambaan kepada Sang Khaliq. Dalam doa
kita mengajukan permohonan kepada Allah. Sedangkan wirid adalah membaca atau
menjalankan bacaan tertentu untuk mendapatkan emanasi dan iluminasi. Jadi
ketiganya dapat dijelaskan berbeda-beda jika mereka punya ilmu.
Sedangkan ilmu hikmah dan tashawwuf juga
berbeda, meski dalam beberapa hal sepertinya sama. Ilmu hikmah adalah
menjalankan sesuatu untuk memperoleh sesuatu. Bahkan kitabnya ada sendiri,
seperti Syamsul Ma’arif dan Mujarrobat. Tokohnya seperti Imam al-Buni.
Sedangkan tashawwuf adalah proses mencari kedudukan hati.
Tashawwuf adalah jalan menuju
taubat, wara’, dan zuhud.
Dengan demikian, dalam memahami Islam
tidak bisa ditempuh dalam waktu yang singkat. Karena ilmu di dalam Islam
sangatlah luas. Jika Islam dipelajari dengan cara cepat saji seperti mie instan
maka hasilnya adalah pemahaman Islam yang
sangat dangkal. Sehingga
ujung-ujungnya semua akan dibid’ah-kan dan malah dikafirkan atau dimusyrikkan.
(naudzubillah min dzalik).
Karenanya, saya sangat menyambut
baik terbitnya buku ini. Semoga dapat menjadi rujukan bagi para kiai di
masjid-masjid Nahdliyin. Sehingga ummat tidak lagi mudah terpengaruh oleh profokasi-profokasi
kelompok wahabi yang ingin menghilangkan tradisi-tradisi NU.
(dinukil dari kata pengantar buku Amaliyah NU dan Dalilnya)
Post a Comment for "Mengapa Amalan Amalan NU Dibilang Bid’ah"