Tentang Batas Usia Perkawinan, Ini Sikap Fatayat NU

Anggia Ermarini (nu online)
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) RI mengemukakan data pada 2018 tentang persentase perkawinan anak di Indonesia yang cenderung meningkat. Yaitu pada tahun 2015 sebanyak 23%, dan bertambah menjadi 25,71% pada tahun 2017.
Sementara berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) pada 2017, persentase perempuan berumur 20-24 tahun yang pernah kawin, yang umur perkawinan pertamanya di bawah 18 tahun. Sebaran angka perkawinan anak di atas 25% berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. “Dari data ini, munculnya desakan judicial review pada UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya pasal 7 tentang batas usia perkawinan perempuan sangat penting,” kata Anggia Ermarini dalam siaran persnya, Jumat (13/9/2019). Untuk itu, kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Fatayat NU tersebut, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2018 yang memerintahkan DPR untuk merevisi UU Perkawinan telah memberikan peluang revisi perihal batas usia perkawinan. Gayung bersambut, Panitia Kerja DPR pun merevisi dan menyepakati menaikkan usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
Menurut Anggia, Fatayat NU sebagai badan otonom Nahdlatul Ulama yang bergerak di ranah perempuan muda produktif menangkap peluang peningkatan batas usia perkawinan bagi perempuan tersebut. Oleh sebab itu, Fatayat NU menyikapinya sebagai berikut: Pertama, Fatayat NU mendukung DPR dan pemerintah untuk meningkatkan batas usia perempuan menikah dari 16 tahun menjadi 19 tahun untuk perempuan sebagai upaya pendewasaan usia perkawinan. Kedua, Fatayat NU mengimbau kepada penyelenggara perkawinan dan pengadilan agama untuk memperketat upaya dispensasi perkawinan berlandaskan kepentingan terbaik bagi calon pengantin (catin) apabila ada pengajuan menikah pada usia di bawah batas perkawinan tersebut. Ketiga, sebagai ormas perempuan Islam, Fatayat NU mengajak seluruh gerakan perempuan Islam dan antar agama untuk mengawasi hasil revisi UU Perkawinan agar implementasinya berjalan dengan benar serta memberikan dampak pada penurunan angka perkawinan anak di Indonesia. Keempat, pemerintah harus meningkatkan program pencegahan perkawinan anak dengan menyelenggarakan Pendidikan kesehatan reproduksi dan pengasuhan positif pada keluarga dan masyarakat sebagai konsekuensi hasil revisi UU Perkawinan. (nuol/ulul).

Subscribe to receive free email updates: