Kitab Fiqih KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari Sama
BRNews - Berikut kami kutip kembali ringkasan “Kitab Fiqih
Muhammadiyyah”, penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta,
jilid III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M, dimana hal ini membuktikan
bahwa amaliah kedua ulama besar KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Ahmad Dahlan tidak berbeda.
1. Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha…” (halaman 25).
2. Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira…” (halaman 25).
3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim” (halaman 26).
4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27).
5. Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29).
6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42).
7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50).
8. Tentang shalat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).
2. Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira…” (halaman 25).
3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim” (halaman 26).
4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27).
5. Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29).
6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42).
7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50).
8. Tentang shalat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).
KH. Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah
suci bernama Muhammad Darwis. Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau
diganti dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, *as-Sayyid
Abubakar Syatha ad-Dimyathi*, ulama besar yang bermadzhab Syafi’i.
Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami
ilmu agama, KH. Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada *asy-Syaikh KH.
Shaleh Darat Semarang*. KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah
bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah.
Di pesantren milik KH. Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh
Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama, seperti kitab al-Hikam,
al-Munjiyyat karya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam
ilmu agama lainnya. Di pesantren ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan
Hasyim Asy’ari. Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar
Syaikh Shaleh Darat.
Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara
Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di
pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut.
Sekitar 2 tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang
sama, pesantren yang sama dan guru yang sama.
Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy’ari
dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari memanggil
Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”. Selepas nyantri
di pesantren Syaikh Shaleh Darat, keduanya mendalami ilmu agama di
Makkah, dimana sang guru pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya di
Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah membekali akidah dan ilmu
fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana
yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.
Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara.
Praktek ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan
dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara.
Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani, Syaikh
Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khaathib as-Sambasi menuliskan
tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya. Tentu saja,
itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya, seperti KH. Ahmad Dahlan,
KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing
dan selainnya.
Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu
yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah. Muhammad Darwis yang
telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan
Muhammadiyyah. Sedangkan Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul Ulama).
Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh
Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga
membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah
dan madzhabnya.
Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan
berakidahkan Asy’ari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH. Ahmad
Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah
dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH. Ahmad Dahan tetap
menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh
Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami
ilmu hadits dan juga memahami ilmu fikih.
Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktek shalat
Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak berabad-abad lamanya, sejak
masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat
dengan 3 witir, sehingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh
sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk Makkah, Tarawih 20 rakaat
merupakan ijma’ (konsensus kesepakatan) para sahabat Nabi
Shalallahu’alaihi wasallam.
Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih dengan 36
rakaat. Penduduk Makkah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman, semua
beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf
sunnah. Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang
Shubuh. Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena
bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi penduduk Madinah
untuk mengimbangi pahala dengan yang di Makkah, mereka melaksanakan
Tarawih dengan jumlah lebih banyak.
Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari tidak
pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP.
Muhammdiyah, Yunahar Ilyas pernah menuturkan: “KH. Ahmad Dahlan pada
masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan
Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 23 rakaat. Namun, setelah
berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur,
terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang
menuntunkan tidak dipraktekkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan
jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebelas rakaat.”
Sedangkan jawaban enteng yang dikemukan oleh dewan tarjih
saat ditanyakan: “Kenapa ubudiyyah (praktek ibadah) Muhammadiyyah yang
dulu dengan sekarang berbeda?” Alasan mereka adalah karena
“Muhammadiyyah bukan Dahlaniyyah”. (dari group wa).