Polemik Tafsir Al Maidah Ayat 51
Oleh: Zuhairi Misrawi
Hari-hari ini publik di Tanah Air dihadirkan dengan
polemik tentang makna yang tersimpan di dalam al-Quran surat al-Maidah
ayat 51. Biasanya sebagian kelompok menggunakan ayat ini secara
“politis” untuk mengharamkan kepemimpinan non-muslim.
Apalagi di saat musim pemilihan kepala daerah, ayat ini
makin populer digemakan di masjid-masjid dan forum-forum keagamaan
lainnya. Apa sebenarnya makna yang terkandung di dalam ayat tersebut?
Pendapat Mufassir Otoritatif
Saya melakukan penelusuran terhadap beberapa kitab tafsir yang otoritarif untuk memahami konteks dan menyerap makna yang terkandung di dalam ayat tersebut. Di antaranya Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran karya al-Thabari (w. 310 H.), Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran karya al-Qurthubi (w. 671 H.), Tafsir Mafatih al-Ghayb karya al-Razi (w. 606 H.), Tafsir al-Quran al-Karim karya Ibnu Katsir (w. 774 H.), Tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari (w. 538 H.), Tafsir al-Quran karya Ibn ‘Abd al-Salam (w. 660 H.), Tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Quran karya al-Thabathabai (w. 1401 H), dan Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Ashur (w. 1393 H).
Saya melakukan penelusuran terhadap beberapa kitab tafsir yang otoritarif untuk memahami konteks dan menyerap makna yang terkandung di dalam ayat tersebut. Di antaranya Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran karya al-Thabari (w. 310 H.), Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran karya al-Qurthubi (w. 671 H.), Tafsir Mafatih al-Ghayb karya al-Razi (w. 606 H.), Tafsir al-Quran al-Karim karya Ibnu Katsir (w. 774 H.), Tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari (w. 538 H.), Tafsir al-Quran karya Ibn ‘Abd al-Salam (w. 660 H.), Tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Quran karya al-Thabathabai (w. 1401 H), dan Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Ashur (w. 1393 H).
Seluruh kitab tafsir menjelaskan secara gamblang
peristiwa-peristiwa yang dapat dikonfirmasi sebagai sebab-sebab turunnya
ayat tersebut (asbab al-nuzul).
Ayat ini ditengarai turun sesudah Perang Badar, yaitu perang akbar yang dimenangkan oleh Rasulullah SAW
dan pasukannya. ‘Ubadah bin al-Shamit mengisahkan pertemanannya dengan
orang-orang Yahudi, namun ia memilih untuk setia kepada Rasulullah SAW.
Sementara Abdullah Ubay bin Salul juga menceritakan
pertemanannya dengan orang-orang Yahudi dan setia kepada mereka, karena
khawatir akan datang musibah jika bersekutu dengan mereka. Kemudian
Allah SWT menurunkan ayat 51 surat al-Maidah, yang secara eksplisit melarang pertemanan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Ibnu ‘Abd al-Salam secara sederhana menjelaskan bahwa
‘Ubadah menolak berteman dan bersekutu dengan orang-orang Yahudi, karena
mereka memusuhi umat Islam. Sedangkan Abdullah bin Ubay masih setia
dengan orang-orang Yahudi, karena ia menghindari datangnya musibah yang
lebih besar jika berpisah dengan mereka.
Di dalam kisah lain, disebutkan ayat tersebut turun saat Bani Qaynuqa’ memerangi Rasulullah SAW.
Ada yang menyatakan ayat tersebut turun setelah peristiwa Perang Uhud,
di mana umat Islam kalah dalam peperangan. Sebagian dari mereka meminta
perlindungan kepada orang Yahudi dan sebagian lagi meminta perlindungan
kepada orang-orang Nasrani. Ada pula yang menyatakan bahwa ayat ini
diturunkan kepada Abu Lubabah yang diutus ke Bani Quraydzah.
Hampir tak ada perbedaan para ulama perihal penjelasan
tentang peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Intinya,
ayat ini turun dalam situasi perang.
Al-Thabari, al-Zamakhsyari, dan al-Qurthubi sebagai ulama
tafsir paling awal cenderung bersikap keras dalam menafsirkan ayat ini
dengan menyatakan larangan untuk berteman dan bersekutu dengan
orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Namun Imam al-Razi menafsirkan lain, bahwa yang dimaksud
ayat tersebut yaitu larangan bagi umat Islam untuk meminta tolong kepada
orang-orang Yahudi dan Kristen untuk meraih kemenangan dalam perang.
Ibnu Katsir mempunyai pandangan yang lain pula, bahwa
orang-orang Yahudi dan Nasrani yang dilarang untuk dijadikan teman
adalah mereka yang jelas-jelas sudah teridentifkasi sebagai musuh Islam.
Yang menarik dari sekian pandangan tersebut adalah tafsir
al-Thabathabai yang secara panjang lebar menyelami makna yang tersurat
dan tersirat di dalam surat al-Maidah ayat 51. Maklum, kitab tafsir ini
tergolong kontemporer dan mengurai makna secara mendalam ayat tersebut.
Menurut al-Thabathabai, ayat ini diturunkan di Madinah sebelum Haji Perpisahan Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan “al-wilayah” dalam ayat ini yaitu persekutuan yang disertai dengan cinta (al-mahabbah).
Ia berbeda dengan pandangan para ulama tafsir lain yang cenderung
memahami “wilayah” dalam konteks persekutuan yang bersifat temporal (al-nushrah). Ayat ini sebenarnya lebih khusus turun dalam hal persekutuan dengan orang-orang Yahudi, bukan orang-orang Kristen.
Sementara Ibnu ‘Ashur menguraikan bahwa larangan berteman
dan bersekutu dengan orang-orang Yahudi, karena mereka ingin
memperdayakan orang-orang Islam. Adapun larangan berteman dengan
orang-orang Kristen dalam ayat tersebut agar tidak ada pandangan yang
memperbolehkan pertemanan dengan orang-orang Kristen jika mereka
melakukan tipu daya terhadap orang-orang Islam.
Meskipun demikian, Ibnu ‘Ashur juga menggarisbawahi, di
dalam ayat lain justru ditegaskan bahwa orang-orang Kristen mempunyai
kedekatan dengan orang-orang Islam. Allah SWT
berfirman, “Dan sungguh kamu mendapatkan orang-orang yang lebih dekat
dengan orang-orang mukmin, yaitu mereka yang menyatakan sesungguhnya
kami Kristen” (QS. Al-Maidah: 82).
Konteks Peperangan
Beberapa penjelasan para mufassir di atas semakin nyata bahwa ayat 51 surat al-Maidah mesti dipahami dalam konteks perang pada zamannya. Dalam situasi perang berlaku hukum kehati-hatian agar bisa mengidentifikasi lawan. Karena itu, ayat tersebut berisi perintah larangan keras agar memutus persekutuan dengan orang-orang Yahudi dan Kristen.
Beberapa penjelasan para mufassir di atas semakin nyata bahwa ayat 51 surat al-Maidah mesti dipahami dalam konteks perang pada zamannya. Dalam situasi perang berlaku hukum kehati-hatian agar bisa mengidentifikasi lawan. Karena itu, ayat tersebut berisi perintah larangan keras agar memutus persekutuan dengan orang-orang Yahudi dan Kristen.
Sementara dalam situasi damai berlaku hukum toleransi dan
harmoni, seperti yang kita lihat di tengah kebhinekaan agama, suku, dan
bahasa di negeri ini.
Ayat tersebut juga tidak ada kaitannya dengan
kepemimpinan. Yang dimaksud “al-wilayah” dalam ayat tersebut adalah
pertemanan atau persekutuan, bukan kepemimpinan. Bahkan, kepemimpinan
dalam konteks demokrasi modern sudah jauh lebih maju. Pemimpin dipilih
oleh rakyat berdasarkan rekam jejak, ketegasan, kemampuan, dan
kejujujuran. Rakyat adalah pemimpin yang sesungguhnya.
Dalam bidang kepemimpinan, saya mengikuti pandangan yang
lazim dari para ulama al-Azhar. Di antaranya DR Gamal Farouq, Dekan
Fakultas Dakwah Universitas al-Azhar, bahwa dalam urusan publik,
pemimpin yang lebih mampu memberikan pelayanan publik yang baik dan
menyejahterakan rakyat harus diutamakan, meski dia non-muslim. (*)
Zuhairi Misrawi, Alumni Fakultas Ushuluddin Universitas Al Azhar, Kairo, Mesirdisadur dari http://www.santrinews.com