GIGIH BELA KECURANGAN

Oleh Agus Wahid

Menarik untuk kita cermati. Itulah kondisi sebagian manusia negeri Wakanda yang begitu gigih membela kecurangan. Bagaimana pandangan moral, hukum dan agama? Lalu, apa yang mendorongnya begitu gigih membela kecurangan?

Di manapun di jagad raya ini, kecurangan merupakan tindakan tercela.  Merugikan pihak lain, secara langsung atau tidak. Sifatnya bisa individual, atau massal dalam jumlah tak tebatas. Tergantung kasusnya. Dalam kasus pemilihan presiden (pilpres), kecurangan jelas merugikan jutaan orang, sesuai jumlah penduduk dan pemilih di suatu negara. Mereka telah mencurahkan tenaga, pikiran, waktu bahkan keluarkan finansial yang tidak kecil. 

Dalam konteks kenegaraan, kecurangan sejatinya menghancurkan sendi-sendi bernegara. Politik, hukum, bahkan budaya terkena imbas destruktif. Salah satunya, persatuan nasional terancam. Aturan kebergaraan benar-benar dirusak secara sistemik atau dipandang sepi. Yang berlaku, yang kuat itulah pengendali. Maka, yang kita saksikan adalah tiranisme dan absolutisme atau autoriterianisme, bahkan lebih jauh dari itu: diktatorisme atau mobocratie. 

Dalam konteks sosial-politik, kecurangan mendorong ketidakpercayaan publik secara massif-ekstensif. Hal ini menjadi pendulum atau jalan bagi gerakan sosial yang massif. Karakter gerakannya alami, tanpa komando. Fitrah. Dan hal ini berpotensi besar terjadinya anarkisme yang meluas. Itulah sebabnya, tindakan kecurangan sungguh mencederai moralitas mulia, bagi diri individu, atau entitas masyarakat dan negara.

Sekali lagi, praktik kecurangan apalagi terstruktur, sistemik dan massif (TSM) benar-benar menempatkan moralitas atau etika dipandang sebagai sampah. Tak ada guna lagi dalam panggung politik kontestasi pilpres. Para aktornya – meski seorang ilmuan dan agamawan, bahkan senior prajurit – sudah tak menghiraukan lagi nilai-nilai moral dan etika itu. Mereka tak malu lagi dicap sebagai seorang amoral, perusak demokrasi, bahkan pengkhianat reformasi. Seolah telah pindah lingkungan lain yang tidak lagi berhadapan dengan entitas manusia. Orang-orang lain dipandang sebagai pepohonan dan atau binatang, atau makhluk halus (jin, syetan-iblis).

Sungguh tak habis pikir. Dibilang sehat akalnya, tapi hilang nuraninya. Tak punya rasa untuk menilai kebenaran yang menampak jelas, setidaknya menurut kacamata norma yang hidup di masyarakat. Dengan kemampuan ilmu dan atau pengetahuan yang dimiliki, ia atau mereka berkilah untuk mempertahankan alibinya. Intinya, tetap membenarkan tindakan curangnya, padahal ribuan data faktual berseliweran di media sosial dan tersimpan di pasangan calon (paslon) masing-masing.  Pembenarannya dapat kita tatap pada keberatannya atau berusaha menolak penggunaan hak angket DPR RI, padahal proporsinya konstitusional. 

Maka, secara mental, publik layak mempertanyakan, WARASKAH para pembela kecurangan itu, apalagi begitu gigihnya? Masihkah berani mendengakkan wajahnya ketika tetap mempertahankan sikap dan pandangannya, padahal dirinya ahli hukum papan atas? Benar-benar telah hilang imannya, karena salah satu anasir manusia beriman adalah malu berbuat jahat, apalagi berpengaruh negatif bagi jutaan orang, bahkan nasib negeri ini. 

Kini, kita perlu menatap, bagaimana pandangan agama terhadap tindakan kecurangan. Dalam sejumlah ayat al-Qur`an, kecurangan banyak dikisahkan terkait perniagaan (mengurangi takaran). Namun, dalam kontek politik, kita bisa cari dalil-dalil naqli terkait prinsip kebalikan dari prinsip kejujuran dan keadilan. Kecurangan dalam kontek agama dan politik dapat dilihat pada ketidakjujuran dalam menghitung suara riil. Maka, penggelembungan dan atau pengurangan angka untuk paslon tertentu jelaslah merupakan perbuatan curang.

Sebagai contoh historis faktual, Allah memberi peringatan keras kepada kaum Madyan dan Aikah (keduanya hidup pada zaman Nabi Syu`aib antara tahun 1600 SM – 1500 SM) yang suka mencurangi takaran. Hukumannya jelas: dilempar ke neraka wail (neraka level ketujuh dari delapan neraka yang disediakan Allah). Tak bisa dilukiskan tingkat kepediahannya. Secara khusus, Allah menurunkan satu surat khusus tentang perbuatan curang: Surat al-Muthaffifin (Q.S. 16). 

Merujuk hukuman ini, kita bisa menafsir, pencurangan angka dalam kontek politik juga pedih siksaannya (neraka). Firman Allah tentang perbuatan curang menggambarkan sikap Allah yang membenci tindakan curang. Dan hal ini karena berimplikasi serius dalam kehidupan umat manusia yang berdampak destruktif bagi makhluk lainnya: alam semesta dan umat manusia itu sendiri terkait hubungan sosial, ekonomi, politik, hukum bahkan kehidupan lainnya dalam bernegara. 

Lalu, mengapa manusia yang notabene beragama masih berbuat curang? Bahkan, terdapat kelompok manusia yang faham agama begitu gigih bela perbuatan curang? Dalam perspektif agama, kita tak bisa mengelakkan, di sana ada peran iblis atau syaitan. Makhluk terkutuk ini memang tak pernah rela menyaksikan umat manusia taat pada perintah Allah dan Rasul dan menjauhi larangan-Nya. Makhluk terkutuk itu senantiasa menyesatkan. Karena itu, kegigihan umat manusia di negeri Wakanda dalam bertindak curang sejatinya karena kalah atas bisikan dan godaan iblis atau syaithan itu. Mereka sudah menjadi hizbus-syayaathin (golongan syaitan) sebagai sahabat abadi bersama mereka kelak di alam akhir nanti. Tentu, bukan di surga-Nya. 

Sebagaimana sumpahnya, mereka tak akan membiarkan anak-cucu Adam tunduk dan taat pada perintah-Nya. Karena itu, kaum iblis-syaithan tak akan pernah henti menggodanya. Refleksinya, dalam abad modern ini, melalui pilpres, mereka gigih membela kecurangan karena memang tak lepas dari janji manisnya. Bisa jabatan empuk, atau fasilitas lainnya. Atau, agar tetap terhindar dari jeratan hukum yang telah menyanderanya. Inna lillaahi. Hidup hanya beberapa menit di muka bumi ini – menurut ukuran akhirat – tapi rela melacurkan diri untuk kesenangan sesaat di muka bumi ini. Juga, rela mengorbankan diri untuk terjuan ke jurang neraka yang maha pedih. Na`udzu min dzalik.

Sebuah hikmah besar. Kita saksikan orang-orang “tersesat” itu begitu gigih bela kecurangan. Mengapa, kita yang ada dalam barisan kebenaran menurut norma, hukum dan agama tidak segigih kaum sesat itu? Tentu, harus jauh lebih heroik, meski harus hadapi benteng raksasa, bahkan dentuman mortir yang  siap dimuntahkan. 

Harap dicatat, para patriot kebenaran bersama Allah. Jika memang harus hadapi hal yang tak diharapkan, insya Allah, Dia Yang Maha Banar akan menggantikan tempatnya di tempat yang jauh lebih mulia. Sang syuhada hanya satu tempatnya: surga-Nya. So, don`t worry. Zaman Rasul, medan perjuangan seperti inilah yang dinanti. Untuk meninggalkan legacy yang bercahaya bagi penerus anak bangsa dan negara. 

Cirebon, 04 Maret 2024

Penulis: analis politik

Post a Comment for "GIGIH BELA KECURANGAN"