Pelajar Berdemo: Antara Konstitusi dan Ancaman Masa Depan


Oleh Agus Wahid


Beredar informasi “Polisi tak akan mengeluarkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK)” bagi pelajar yang terbukti ikut demo anti UU Omnibus Law. Pendek kata, pelajar dilarang ikut unjuk rasa. Dan larangan ini tidak tertutup kemungkinan, akan diperluas. Bukan hanya anti UU Omnibus Law itu, tapi kebijakan apapun dari pemerintah, pelajar tak boleh ikut serta unjuk rasa. Tetap ikut, sanksi (tak akan dapat SKCK) akan diberlakukan.


Sebuah renungan, tiadakah hak bagi sang pelajar menyuarakan aspirasi? Mencermati konstitusi (UUD 1945, Pasal 28, tak ada larangan bagi warga negara untuk menyampaikan hak (pendapat). Konstitusi tak membatasi ketentuan masalah usia, arena atau ruang dan cara menyampaikan. Bahkan tak membatasi pula sarana penyampaian secara eletronik atau lainnya, termasuk media sosial. Sebagai konsistensi ketaatan terhadap konstitusi, UU Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun tak ditemukan satu pasal pun yang melarang pelajar untuk menyarakan hak (pendapat).


Maka, secara konstitusional, sikap dan atau tindakan yang akan diambil polisi terkait pelajar berdemo jelas melanggar konstitusi, juga UU KPAI. Lalu, kejelasan dan kepastian hukum tersebut, mengapa harus ditabrak oleh satuan penegak hukum itu sendiri (polisi)? Dari sisi ini, institusi polisi tidak memperlihatkan keteladanan untuk sadar hukum. Penilaian ini mendorong sikap prioritas: gerakan sadar hukum selayaknya diikuti dan dipraktikkan terlebih dulu oleh satuan kepolisian, sebagai personal atau institusi. Perlu gerakan keteladanan positif-konstruktif, yang justru sangat efektif transformasinya. Bisa diharapkan.


Yang perlu kita catat lebih jauh, mengapa pelajar ikut unjuk rasa? Tahukah landasan rasionalitas partisipasi unjuk rasa itu? Secara general, dapat diasumsikan, pelajar tak ada yang membaca konstruksi utuh RUU Omnibus Law itu. Pertanyaan yang sama, apakah seluruh satuan penegak hukum (polisi) bahkan aparat pemerintah itu sendiri dan segenap anggota DPR RI membaca RUU itu secara komprehensif dan memahami dengan sempurna? Jawabannya pun relatif sama. 


Dengan jumlah 1.000 lebih pasal yang tertuang dalam RUU Omnibus Law, apalagi ada tiga versi, yakni 950 halaman, 1028 halaman dan 1035 halaman dapat dibayangkan tentang kecil kemungkinannya untuk menelaah secara seksama rumusan UU itu. Menjadi sangat kecil kemungkinannya ketika kita mencermati konsekuensi RUU Omnibus Law harus “memeras” dari 79 UU. Berarti, harus membaca dan memahami 79 UU terlebih dahulu. Yang jauh mengherankan, pekerjaan sangat besar itu hanya ditempuh dalam tempo sekitar 100 hari. Luar biasa. Amerika Serikat, negara super saja yang integritasnya sudah teruji, perlu waktu sekitar depapan tahun untuk menyerap aspirasi dan merumuskannya dalam rangka menghadirkan UU semacam Omnibus Law. 


Dengan tempo sekitar 100 hari dan harus mencermati 79 UU, percayakah kita bahwa kalangan anggota legislatif itu mempersiapkan secara matang dan penuh telisik tajam? Perlu ilmu “laduni” kali. Tertidur, tapi begitu bangun, sudah langsung memahami konstruksi UU yang akan dihadirkan. Pertanyaannya, berapa banyak di lembaga legislatif, juga lembaga eksekutif dan lainnya dari institusi manapun yang mendapat bekal ilmu laduni itu? Memang, Allah memberikan ilmu laduni itu kepada siapa saja, tapi hanya terhitung dengan jari. Super sedikit. Itupun karena dirinya dinilai punya derajat ketakwaan. Ia bukan orang biasa.


Karena itu, sungguh tidak tepat larangan pelajar berunjuk rasa hanya karena pelajar tidak tahu persis contain RUU Omnibus Law, sementara para pihak yang melarang itu sesunguhnya juga sama: hanya tahu sebagian. Tidak seutuhnya. 


Yang perlu kita catat lebih jauh, bocoran informasi – sekali lagi, meski hanya sebagian – tetap punya makna signifikan. Meski sebagian, informasi ini – bagi pelajar – terkait dengan masa depannya. Inilah yang mendorong di antara pelajar terpanggil untuk ikut serta berunjuk rasa.


Seperti yang telah beredar luas, sebagian pasal dari UU Omnibus Law, terutama klaster ketenagakerjaan – secara eksplisit – menentukan sikap bahwa sistem outsourcing akan menjadi sistem baku bagi sistem ketenagakerjaan. Hal ini bermakna, bahwa ke depan, tak akan ada status karyawan tetap. Sepanjang hidup atau selama ia bekerja, ia hanya pekerja kontrak. Dan hal ini rentan dengan teguran dan bahkan pemecatan, setiap saat, meski alasan  tak jelas. Implikasinya, selaku pekerja, ia akan selalu diperhadapkan ketidakamanan dan ketidaknyamanan bekerja.


Ketentuan tersebut menjadi problem besar bagi pelajar, bahkan mahasiswa atau pencari kerja lainnya. Meski mereka belum berstatus sebagai pekerja, namun masa depannya sudah dibayang-bayangi suasana tidak kondisif saat memasuki dunia kerja. Bayangan pahit ini mendorong anak-anak pelajar,  meski ia hanya level SLTP,  ia atau mereka berkepentingan untuk bersikap secara ideealistik.


Secara sosiologis, kita dapat membaca motivasi kalangan pelajar dan atau mahasiswa. Mau apa mereka pasca pendidikannya selesai? Secara general selalu dikatakan: mau cari kerja atau bekerja. Melalui pekerjaan, ia atau mereka akan memperbaiki kesejahteraan. Motivasi kerja itu – dengan diberlakukannya UU Omnibus Law – menjadi kabur. Bukan hanya ketidakpastian menapatkan pekekerjaan, tapi juga buram menggapai cita-cita perbaikan kesejahteraan pasca bekerja, padahal sudah dirintis dengan penuh perjuangan: belajar tekun, keluar biaya dan sejumlah pengorbanan lainnya.


Dengan memahami terbatas terhadap konstruksi UU Omnibus Law itu, maka sangatlah wajar pelajar dan entitas manapun mengimpikan pekerjaan dibayang-bayangi potret buram. Sementara itu, UU kontroversial ini – dengan jelas – tidak membatasi arus tenaga kerja asing (TKA), meski untuk level pekerja kasar. Arus migrasi TKA yang sudah terjadi – secara kebijakan lebih mendapat prioritas – menambah pesimisme penyerapan angkatan kerja lokal. Peta ketenagakerjaan ini memperkuat motivasi pelajar, mahasiswa dan kelompok pencari kerja domestik demikian terpanggil untuk melawan UU Omnibus Law. Sangat alamiah.


Kegundahan itu juga dirasakan oleh kalangan orang tuanya. Mereka tentu berpikir bagaimana masa depan putera-puterinya yang menimba ilmu. Sementara, tak sedikit dari orang tua berkorban harta dan lainnya: untuk masa depan anak-anaknya. Tapi, kini, sejalan dengan terbitnya UU Omnibus Law, meski belum ditandatangani Presiden – harapan para orang tua menjadi pesimis. Itulah faktor yang juga mendorong kalangan emak-emak bahkan kaum bapak dan  kaum penggangguran ikut turun ke jalan, menentang UU yang memburamkan masa depan anak-anaknya.


Perlawanan itu – harus kita catat – bukan sebagai sikap anti pemerintah. Tapi, lebih merupakan nasib ke depannya yang telah dibayang-bayangi ancaman serius. Menambah serius lagi, anacaman itu datang dari institusi polisi yang tak akan mengeluarkan SKCK bagi pelajar yang berdemo itu, padahal mereka bukan kriminal. Tindakan institusi kepolisian ini – harus kita catat – sebagai desain implikatif yang ikut memburamkan masa depan kesejahteraan pelajar, bahkan komunitas lainya sebagai sesama pencari ilmu dan bermimpi mencari kerja. 


Agenda pemburaman itu – dalam perspektif kemanusiaan – bisa dinilai sebagai agenda  kejahatan kemanusiaan secara terencana. Saat dampaknya meluas, apalagi secara menasional, maka kejahatan itu bisa dikategorikan serius. Layak “dimahkamah-internasionalkan”. Mengerikan jika sampai ke lembaga Mahkamah Internsional (MI) di Den Haag (Belanda). Karena itu, sebelum itu semua terjadi, institusi polisi jangan “bermain api”, meski dengan “cacing” atau “semut” sekalipun. Cacing atau semut memang  binatang kecil. Tak berdaya. Tapi, ketika cacing dan semut berjumlah jutaan, maka kondisinya bisa menjadi “super power”. Geliat cacing dan semut bisa melumpuhkan gajah raksasa sekalipun.


Akhir kata, bersikaplah bijaksana dalam menghadapi komponen rakyat yang berbeda, termasuk pelajar. Perlu disadari, keberadaan insan kepolisian – menurut konstitusi – bukan alat kekuasaan. Loyalitas memang penting. Itu sumpahnya. Tapi, loyalitasnya kepada negara dan rakyatnya. Inilah yang perlu disadari sebagai jatidiri penegak hukum, yang harus mengayomi masyarakat, dari gangguan apapun, temasuk masa depan pelajar dan para pencari kerja.


Jakarta, 19 Oktober 2020

Penulis: Direktur Analisis Center for Public Policy Indonesia

Post a Comment for "Pelajar Berdemo: Antara Konstitusi dan Ancaman Masa Depan"