Oleh : Deni Firman Nurhakim
(Kepala KUA Kecamatan Cilebar Kab. Karawang)
Sebagai penghulu, usai adegan ijab-qobul
antara wali nikah atau wakilnya dan pengantin pria, penulis biasa
menanyakan kesahannya kepada dua orang saksi, “Bagaimana bapak-bapak
para saksi, apakah sudah sah dan memenuhi ketentuan syari’at?”. Kalau
dijawab sah, maka akad nikah dinilai cukup. Tapi kalau saksi menilai
belum sah, maka akad nikah pun diulangi lagi sampai dua orang saksi
nikah tersebut menyatakan sah.
Kebiasaan di atas sudah sangat lazim
dalam suatu pernikahan. Sehingga dalam pernikahan yang pernah penulis
tonton di TV yang disiarkan secara nasional dan dihadiri tokoh-tokoh
besar seperti Kyai atau Profesor pakar hukum Islam pun, adegan itu juga
terjadi.
Pertanyaannya, benarkah saksi nikah itu
juga berfungsi sebagai pengesah akad nikah? Kalau benar, apa dasarnya?
Begitu pula sebaliknya, kalau tidak benar, apa alasannya?
Tulisan ini berupaya untuk mendudukkan
saksi dalam akad nikah secara proporsional, dan berusaha memisahkan mana
fungsi saksi nikah yang termasuk fakta serta mana yang mitos, dengan
merujuk pada keterangan dalam kitab fiqh munakahat dan peraturan
perundang-undangan tentang pernikahan.
Kedudukan Saksi dalam Akad Nikah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), saksi adalah orang yg melihat atau mengetahui sendiri suatu
peristiwa (kejadian). Pengertian lain soal saksi bisa ditemukan dalam
KUHAP Pasal 1:26, yakni: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar
sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saksi
nikah adalah orang yang melihat, mendengar, atau mengetahui sendiri
suatu peristiwa/kejadian akad nikah antara wali nikah/wakilnya dengan
calon suami/wakilnya dengan tujuan mereka kelak dapat memberikan
keterangan yang diperlukan guna kepentingan perkara tentang pernikahan
yang diketahuinya itu.
Menurut jumhur ulama, saksi nikah bukan
termasuk rukun nikah, melainkan syarat sah nikah. Dalam pandangan
mayoritas ulama, rukun nikah itu ada empat: a. shigat (ijab qobul), b.
isteri, c. suami, dan d. wali (Wahbah Zuhaeli, Juz 7, 1989: 36-37).
Adapun saksi dikelompokkan sebagai syarat sah nikah seperti halnya
maskawin. Namun demikian, ada sebagian ahli fiqh yang menganggap saksi
sebagai rukun nikah. Dan pandangan terakhir inilah yang kemudian
diadopsi oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI): “Saksi dalam perkawinan
merupakan rukun pelaksanaan akad nikah” (pasal 24:1). Sehingga, “Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi” (pasal 24:2).
Ketentuan KHI soal saksi nikah di atas,
juga sebelumnya diatur dalam pasal 10 ayat 3 PP No. 9/1975 tentang
Pelaksanaan UU No 1/1974 tentang Perkawinan: “Dengan mengindahkan tata
cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya
itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”.
Alhasil, terlepas dari perbedaan
pendapat antara saksi sebagai syarat nikah atau saksi sebagai rukun
nikah, yang jelas saksi menempati posisi penting dalam akad nikah.
Karena Nabi SAW memerintahkan kita mengumumkan pernikahan yang terjadi,
dengan sabdanya: “A’linuu an-Nikaah...” (HR. Ahmad). Berdasarkan hadits ini, hikmah suatu kesaksian adalah untuk mengumumkan (I’lan)
telah terjadinya suatu pernikahan dan mengukuhkan tetapnya suatu
pernikahan di masa mendatang bila terjadi pengingkaran nikah (Wahbah
Zuhaeli, 1989: 73).
Siapa Pengesah Akad Nikah?
Sebagaimana tercantum dalam pasal 2:1 UU
No 1/1974 tentang perkawinan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan
demikian, yang menjadi penentu sah/tidaknya suatu pernikahan orang Islam
adalah bisa dilacak dari ketentuan-ketentuan hukum Islam (fiqh Islam)
soal itu. Dalam ketentuan fiqh Islam yang masyhur yang kemudian diadopsi
dalam pasal 14 KHI, secara singkat dapat ditegaskan bahwa pernikahan
itu sah apabila telah terpenuhi 5 rukun nikah (calon suami, calon
isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qobul), berikut
syarat-syarat yang mengiringinya.
Yang menjadi persoalan di sini, siapa
pihak yang berhak dan berwenang menetapkan sah/tidaknya akad nikah?
Apakah saksi nikah, sebagaimana yang biasa terjadi? Ataukah penghulu?
Menurut hemat penulis, dengan melihat
fungsi saksi dalam akad nikah sebagaimana yang telah diuraikan di atas,
saksi bukan pihak yang berhak mengesahkan akad nikah. Keberadaannya
memang penting, karena di masa sekarang (sesaat setelah akad nikah)
fungsinya adalah untuk mengumumkan telah terjadi suatu pernikahan. Dan
di masa mendatang, fungsinya adalah untuk mengukuhkan tetapnya suatu
pernikahan bila terjadi pengingkaran pernikahan.
Dengan demikian, mempertimbangkan
kedudukan penghulu sebagai pihak yang diberi tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak untuk melakukan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah
atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam
(Pasal 1:7 Peraturan Menteri PAN dan RB No. 9 Tahun 2019 tentang Jabatan
Fungsional Penghulu) atas nama Presiden selaku pemangku ulul amri di
Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka penghulu adalah pihak yang
berhak untuk menyatakan dan menetapkan sah tidaknya setiap tahapan dalam
proses pernikahan, mulai dari pendaftaran, pemeriksaan, pengumuman
kehendak nikah, dan pelaksanaan akad nikah menurut hukum Islam yang
dilakukan oleh warga negara/penduduk Indonesia yang beragama Islam.
Kenyataan tersebut, menurut Suma (2007:25) harap disadari dengan
sesadar-sadarnya oleh para penghulu. Itulah sebabnya, di setiap akhir
prosesi akad nikah, penghulu diminta untuk mengumumkan bahwa upacara
akad nikah telah selesai dan kedua pengantin telah sah menurut hukum
sebagai suami isteri (lihat Departemen Agama RI, 2008: h. 17). Wallaahu a’lam bis showaab.
***
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziry, Abdurrahman. Kitabul Fiqhi ‘alal Madzhibil Arba’ah. Libanon: Darul Fikr, 2003. Juz 4
Al-Zuhayly, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Juz 7, Libanon: Dar Al-Fikr, 1989, Cet. Ke-3
Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI Nomor 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Ditjen Binbaga Agama Islam, 2001
Departemen Agama RI, Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimas Islam, 2006
Departemen Agama RI, Pedoman Akad Nikah, Jakarta: Direktorat Urais dan Pembinaan Syari’ah Dirjen Bimas Islam, 2008
Peraturan Menteri PAN dan RB No. 9 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Penghulu
Sabiq, As-Sayid, Fiqhu As-Sunah, Juz 2, Libanon: Dar Al-Fikr, 1983, Cet. Ke-4
Suma, Muhammad Amin, Optimalisasi Peran KUA dalam Pelayanan dan Pembinaan Masyarakat, Makalah Semiloka, 03 Mei 2007.
https://jabar.kemenag.go.id/opini-626-saksi-nikah--pengesah-akad-nikah
Post a Comment for "Saksi Nikah, Pengesah Akad Nikah? "