Martapura: Kota Seribu Surau, Warisan Para Auliya

BRNews - Tradisi Islam yang lahir dan berkembang di tanah para tuan guru di Pulau Kalimantan Selatan telah bergerak dalam alurnya yang begitu membumi dan alami. Ekspresi ini salah satunya ditemukan ketika tim bimasislam menyempatkan waktu di siang hari untuk berkeliling di sepanjang sungai Martapura, di Kota Banjarmasin, selasa (31/07).


Dengan bermodalkan kapal tumpangan, tim bimasislam mendapatkan kesempatan untuk melihat lebih dekat, bagaimana tradisi kehidupan masyarakat sungai Kota Banjarmasin itu berjalan. Tak dinyana dalam beberapa kayuhan mesin kapal lepas dari tambatan pelabuhan, tampak sejauh mata memandang berjejer rumah-rumah lanting yang mengapit rapat surau-surau kecil di kiri dan kanan sungai Martapura. Sungguh kota yang tidak hanya layak dengan gelar Kota Seribu Sungai, namun juga dapat ditambahkan gelarnya yang baru, yaitu Kota Seribu Surau.

Sekilas kehadiran surau-surau yang beralaskan kayu-kayu ulin tua itu hanyalah sekadar syarat penggugur bagi absahnya arti dari sebuah pemukiman yang jamak dinamakan kampung. Namun bagi masyarakat di sepanjang sungai itu, surau adalah penanda istimewa yang turut mengisi alam ruhaniyah yang tak semuanya digantungkan pada rumah-rumah lanting maupun tempat lain dimana mereka itu bekerja. Kehadiran surau-surau di sepanjang sungai Martapura itu nyatanya dalam titik tertentu turut memberikan gambaran unik tentang konsep penanda sebuah ruang yang berbeda.

Perbedaan ini tentu saja harus dibandingkan dengan kondisi bangunan, maupun fasilitas layanan publik keagamaan yang ada di beberapa kota di pulau jawa.

Syahdan, jika disepakati bahwa surau adalah penanda ruang bagi masyarakat penghuni sungai Martapura, maka apa yang bergema dari dalamnya adalah bentuk penanda yang lain, yang secara konsisten mengiringi kehidupan keseharian mereka.

Tak lama di tengah perjalanan dadakan itu, satu-satu persatu suara-suara wanita yang berasal dari speaker tua, yang berada di puncak kubah bulat berwarna perak, terdengar menggema. Lantunan shalawat serta puji-pujian pun sahut-menyahut, di tengah sayup gelombang dan gemericik tenang, air sungai yang menghantam balok-balok hitam sang penyangga. Dan tak terasa penanda waktu di tangan menunjukkan pukul 15.00 atau jam tiga.

Menurut Kak Ali, salah seorang penumpang kapal menyebutkan bahwa waktu menjelang asar adalah batas dimana para warga telah bersiap-siap untuk mengakhiri pekerjaan, untuk bergegas melanjutkan aktifitas mereka ke surau-surau. Dan hal ini lagi-lagi, kata Ali mungkin berbeda dengan kondisi di pulau jawa, yang baru ramai hanya ketika waktu shalat magrib tiba.


“Nah dapat dilihat sendiri, di sini itu berbeda dengan di jawa, kalau di sini saat waktu asar tiba, maka para ibu satu persatu mengisi ruang-ruang surau, melantunkan salawatan, sedangkan para bapak serta anak-anaknya itu sibuk bergegas membersihkan diri di belakang rumah, kemudian menyusul mereka untuk lanjut berjamaah, mengaji dan beristirahah,” ujar sosok muda yang juga bekerja sebagai penyuluh agama di kota Martapura ini.

Ada banyak kesan dan kejutan yang tak biasa ketika berkesempatan menginjakkan kaki di tanah yang penuh dengan aura keberkahan para aulia ini. Dan kesempatan untuk menelusuri jejak-jejak itu, kiranya tak dapat berhenti di satu atau dua titik aliran anak-anak sungai di Kota Berlian ini saja, melainkan masih harus terus menyisir-sambung menuju belasan lokus warisan lainnya yang ditinggalkan oleh para allamah negeri ini tercinta. (kemenag).

Post a Comment for "Martapura: Kota Seribu Surau, Warisan Para Auliya"