PILPRES 2024 DAN POLITIK PENYANDERAAN

Oleh Agus Wahid (Analis politik)

Penuh drama penyanderaan. Itulah dinamika politik menuju pemilihan presiden (pilpres) 2024. Sekedar strategi menggapai kemenangan dalam kontestasi pilpres, atau justru ada agenda politik yang jauh lebih krusial dan mendasar, yakni menggagalkan pilpres? Berarti, arahnya memperpanjang kekuasaan rezim?

Jika kita cermati sejumlah manuver politik menuju pilpres, kita sulit menyangkal dua variabel mendasar itu: strategi pemenangan, juga skenario menggagalkan pilpres, yang – secara implisit – mengandung makna upaya memperpanjang kekuasaan rezim.

Jika kita analisis variabel pertama (strategi memenangkan pilpres), hal ini bisa dinilai wajar. Siapapun kontestan harus mampu mengeluarkan jurus-jurus jitunya untuk memenangkan kontestasi. Namun, dalam kontek pilpres di Tanah Air ini memang tidak normal. Yaitu, rezim – jauh-jauh hari – terus mendesain proses penyanderaan terhadap sejumlah elit partai politik (parpol) yang dinilai akan menjadi faktor penjegal kepentingan rezim.

Dari sana kita saksikan, Ketua Umum Golkar dan PAN dibikin tak berkutik untuk mengartikulasikan kebebasan politiknya menuju pilpres. Begitu juga kita saksikan Ketua Umum Perindo. Ketiganya dibikin tak berdaya atau bebas menentukan sikap politiknya sesuai hak pribadi dan kelompoknya sebagai parpol.

Dengan kasus hukum yang menggelayutinya, Ketum Golkar dan Ketum PAN harus menempel bersama partai yang diinstruksikan istana yang sinyalnya ke Partai Gerindera. Sinyal istana ini tergolong deviatif dari perjalanan politik rezim ini karena harusnya merapat bersama PDIP. Namun, rivalitas Megawati versus Jokowi, mendorong mantan “promotor” mobil ESEMKA ini mengambil sikap politik: mengeblok diri bersama Prabowo. Sikap politik ini diperkuat dengan langkah Prabowo yang akhirnya mengambil Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapresnya.

Perlu kita catat, Ketum Golkar harus tunduk pada kemauan istana. Sebagai partai besar kedua (85 kursi dengan jumlah 17.229.789 suara atau 12,31%), Erlangga Hartarto bukan hanya tunduk untuk bergabung bersama Koalisi Indonesia Maju (KIM), tapi juga harus tunduk untuk menerima dirinya tidak diambil sebagai cawapres. Tidak rasional memang, posisi Golkar di hadapan Gerindra yang – dari hasil pemilu 2019 – hanya dalam urutan ketiga dengan perolehan 78 kursi, atau 17.229.789 (12,31%). Aneh bin ajaibnya, PAN, PBB, Partai Demokrat dan Partai GELORA yang relative berkualitas secara “bahan baku” harus legowo pada penentuan Gibran sebagai cawapres Prabowo. Sekali lagi, kelegowoan itu memang tidak rasional. Tapi, itulah tabiat politisi kita yang – karena haus kekuasaan – harus mengikuti kemauan istana. Langkah istana menjadi efektif karena pemaksaan politik penyenderaan.

Hanya terhadap KIM? No. Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) juga tak lepas dari ikhtiar maksimal istana untuk menerapkan politik penyanderaan. Dalam hal ini Partai NasDem sudah digempur dengan dua isu besar, yaitu kasus Jhony Plate dan selanjutnya Syahrul Yasin Limpo (SIL). Gerakan awal mengarah pada upaya penarikan NasDem sebagai pengusung Anies. Jika NasDem tarik diri, di depan mata, Anies tak bisa melanjutkan proses politik menuju pilpres.

Skenario menarik NasDem dari KPP gagal. Lalu, istana pun membangun plan B. Atas nama argumentasi apapun, tampak ada operasi inetelegen yang membuat, Partai Demokrat undur diri dari KPP. Tapi – dan inilah kuasa Allah – Demokrat pergi, PKB datang. Maka, skenario istana pun gagal lagi untuk menjegal Anies maju.

Yang perlu kita catat, istana gagal menyerandera NasDem. Ketum Surya Paloh tetap tegas dan bahkan menunjukkan taring tajamnya untuk tidak tunduk pada politik penyanderaan istana. Namun, tampaknya istana masih tetap berupaya agar kasus SIL bisa menjadi faktor gugurnya pencalonan Anies-Muhaimin Iskandar (AMIN). Kini sedang dibangun ikhtiar hukum: jika SIL terbukti ikut memberikan dana haramnya kepada partai, maka bukti itu bisa dijadikan landasan hukum KPU untuk menggugurkan NasDem sebagai salah satu pengusung AMIN. Berarti, pasangan AMIN hanya diusung dua parpol (PKS dan PKB) dengan jumlah 17,90%. Prosentase ini mewajibkan KPU menggugurkan kepesertaan AMIN dalam pilpres 2024.

Jika skenario itu berhasil, apakah NasDem akan diam? Apa boleh buat, Surya Paloh pun akan berteriak persoalan hukum (BTS) yang kini menyeret kader Gerindra (Nistra). Tenaga Ahli (TA) Gerindra ini diduga kuat menerima dana sekitar Rp 70 milyar. Kini, Nistra “menghilang” bagai Harun Masiku. Atas nama hukum yang berkeadilan dan harus berlaku bagi siapapun, maka kasus hukum Nistra bisa menjadi bargaining politik bagi Surya Paloh. Tak boleh terjadi diskriminasi: hukum tajam terhadap NasDem hanya karena bersama AMIN. Sementara, kasus hukum Nistra dibiarkan dan membuat pasangan Prabowo-Gibran tetap melenggang maju ke pilpres.

Atas nama anti diskriminasi hukum, PDIP juga diperhadapkan kasus hukum yang jauh lebih serius. Mulai dari kasus raibnya Harus Masiku, kasus e-KTP yang melibatkan Ganjar Pranowo yang – menurut pengakuan Nazarudin dan Setya Novanto – capres PDIP itu pernah terima AS$ 500.000 saat menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR RI. Angka yang sama dan dalam proyek yang sama (e-KTP) – menurut mantan bendahara Demokrat – juga  diterimi Puan Maharani. Maka, atas nama hukum dan jika terbukti sah meyakinkan, PDIP pun harus dibubarkan. Berarti, PDIP tak bisa mengusung capres dan cawapresnya. Kita tahu, PPP hanya 4,52%, Perindo 2,07%, Hanura 1,54%. Total ketiga partai pengusung Ganjar-Machfud minus PDIP hanya 7,13%.

Kasus parpol terima dana dari kadernya juga pada akhirnya akan merembet ke Demokrat. Kasus Hambalang akan dikuak lagi. Tak tertutup kemungkian nama Edy Baskoro akan muncul dalam persoalan Hambalang itu. Sementara, Gelora sebagai partai memang belum ada catatan hukum yang minus. Tapi, aktor utamanya seperti Fahri Hamzah sebagaimana yang pernah dituturkan Nazarudin juga terima dana haram di ruang kerjanya, meski Fahri (saat itu masih kader PKS) menolak tuduhan Nazarudin. Dan Anis Matta juga sulit ditutup-tutupi kasus hukum (dana haramnya).

PILPRES GAGAL TERSELENGGARA?
Sekali lagi, hampir seluruh parpol terima dana haram. Jika persoalan hukum dimainkan sebagai politik penyanderaan, maka pilpres berpotensi tidak bisa diselenggarakan. Inikah skenario istana? Who nows. Kita perlu mencatat, jika pilpres gagal diselenggarakan, maka – di depan mata dan menurut konstitusi –  istana bisa mengeluarkan dekrit. Tidak hanya peniadaan pilpres 2024, tapi sekaligus menyatakan perpanjangan kekuasaannya. Bisa dua tahun lagi, bahkan lebih sejalan dengan tiadanya parpol yang steril dari dana haram.

Jika skenario itu yang memang akan diberlakukan, Indonesia dihadapkan kehancuran total. Revolusi total tak terbendung. Musnah pada 2030, seperti yang disinyalir Peter Warren Singer dan August Cole dalam novel fiksinya (Ghost Fleet). Implikasinya, seluruh instalasi strategis tinggal menunggu waktu: kobaran api menasional. Dan ini berarti, istana tak bisa menikmati masa perpanjangan kekuasaannya. Nyawa dirinya dan keluarganya pun terancam. Sebab, seluruh komponen rakyat akan mengejar sampai ke manapun, kecuali segera menyelamatkan diri ke negeri pengasingan. Sementara, para kompradornya dari kaum “asong” atau Londo Ireng, juga dari komprador aseng tak akan berdaya menghadapi mobilisasi rakyat yang sangat heroik dari berbagai sentra kota dan daerah.

Akhirnya, kita perlu mencatat, istana memang tak perlu memaksakan kehendaknya dengan sejumlah rekayasanya. Seluruh komponen bangsa ini harus dilihat sebagai aset yang memang harus mengisi kepentingan negara sebagai negara merdeka. Ada pergiliran waktu. Nafsu rakus untuk berkuasa sudah seharusnya dienyahkan jauh-jauh. Buktikan diri sebagai negarawan, bukan hanya slogan yang sering dikumandangkan para buzzernya. Serahkan sepenuhnya kepada kehendak mayoritas rakyat secara obyektif. Bukan eranya lagi untuk merekadaya kondisi dengan penuh kecurangan. Karena, hal itu bukan hanya mencederai hasil demokrasi, tapi juga jalannya masa depan pemerintahan. Rakyat sudah jengah, muak dengan seluruh ragam manipulasi yang dimainkan. Untuk menghentikannya, terpaksa harus tunduk pada prinsip dan nilai penyelenggaraan pilpres yang jujur, adil dan transparan. Ketiga prinsip kontestasi ini akan mengantarkan cahaya baru Indonesia yang selamat dari bayang-bayang kelam.

Bekasi, 4 November 2024

Subscribe to receive free email updates: