La Nyalla Nilai Ambang Batas Pencalonan Presiden Lebih Banyak Mudaratnya

La Nyalla

Aturan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden demi kebaikan bangsa Indonesia perlu dikaji ulang. Ambang batas pencalonan tidak pernah ada di dalam Pasal 6A UUD NRI Tahun 1945. Disebutkan dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4) adalah ambang batas keterpilihan.

"Ambang batas pencalonan presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengecilkan saluran bagi putra/putri terbaik bangsa untuk mendapatkan kesempatan yang sama di dalam pemerintahan," kata Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti dikutip dari siaran pers di Jakarta, Senin (21/6/2021).

"Jadi, yang benar adalah penerapan ambang batas keterpilihan, bukan pencalonan," kata La Nyalla saat menjadi narasumber dalam podcast politik Secangkir Opini milik Refly Harun.

Menurutnya, ambang batas keterpilihan penting untuk mendorong bahwa presiden terpilih bukan sekadar populer, melainkan juga tersebar secara merata untuk negara yang timpang jumlah penduduk seperti Indonesia.

Sementara itu, ambang batas pencalonan presiden dinilai LaNyalla lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.

"Ambang batas pencalonan presiden yang dikukuhkan dalam Undang-Undang Pemilu banyak disebut sebagai pintu masuk oligarki partai yang bersimbiosis dengan oligarki pemodal," kata La Nyalla. 

Analis politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Teguh Yuwono mengingatkan pengalaman pada masa pemerintahan presiden ke-2 RI H.M. Soeharto kepada sejumlah pihak yang bermaksud mengubah konstitusi dengan menambah masa jabatan presiden.

"Kalangan akademisi dan media massa sebagai penjaga demokrasi harus memastikan bahwa sistem demokrasi yang ada di dalam konstitusi harus ditegakkan," kata Teguh Yuwono, di Semarang, Senin (21/6).

Teguh Yuwono mengemukakan hal itu terkait dengan pernyataan Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari di sejumlah media yang menjelaskan alasan pembentukan Komunitas Jokowi-Prabowo 2024 agar Presiden Jokowi bisa menjabat hingga 3 periode.

Teguh Yuwono lantas mengingatkan mereka bahwa bangsa ini pernah punya pengalaman ketika pemerintahan Pak Harto (sapaan akrab Jenderal Besar H.M. Soeharto) tidak ada pembatasan masa bakti sebagai presiden, kemudian bermasalah ke mana-mana.

"Jadi, tidak boleh ada pemikiran-pemikiran, misalnya, mengubah konstitusi dengan menambah masa jabatan presiden," kata Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Semarang ini. (ant|alfa).

Subscribe to receive free email updates: