MAGNET HABIB RIZIEQ, KEKUATAN ELEKTORALNYA, DAN BANGSA YANG MENCARI IDENTITAS
Akankah
Habieb Rizieq menjelma menjadi kekuatan yang menyatukan Indonesia?
Ataukah Ia justru menjadi kekuatan yang membelah Indonesia dalam pro dan
kontra yang emosional? Bahkan membelah secara ideologis?
Pertanyaan ini yang datang ketika saya melihat antusias ribuan penduduk menjemput kepulangannya dari bandara.
Massa menyemut dengan dominasi warna putih. Salawat Nabi, Shallallāhu 'alayhi wa as-sallām. Juga takbir Allahu Akbar.
Dari
ekspresi wajah yang menjemput, terasa itu kerinduan, penghormatan, dan
girah yang otentik dari massa yang menyemut kepada pemimpin agama.
Kepada pemimpin sebuah paham.
Dalam
sejarah politik Indonesia, setidaknya sejak era reformasi, tak pernah
ada tokoh yang mendapatkan penjemputan mengharu biru seperti itu. Tidak
presiden. Tidak super star musik. Bahkan tidak juga ulama lain.
Tapi
seberapa besar kekuatan elektoral Habieb Rizieq sebenarnya jika
panggung politik nasional yang dihitung? Lebih banyak yang pro atau yang
kontra padanya?
Apakah Ia hanya berpengaruh di sebagian kecil segmen dengan basis “tafsir Islam” tertentu saja?
Jika seorang capres mendapatkan dukungan terbuka Habieb Rizieq, itu akan menguntungkan Capres itu atau justru merugikannya?
*****
Itu
fakta yang sudah terbukti berkali dalam pemilu bebas di Indonesia.
Mayoritas penduduk Indonesia, walau 85 persen beragama Islam, tapi lebih
banyak tak menyukai terlibatnya agama di ruang publik.
Tak
heran, yang selalu menang dalam pemilu bebas, sejak tahun 1955, 1999,
2004, 2009, 2014 dan 2019 selalu partai nasional. Partai terbuka. Bukan
partai dengan aura agama.
Yang
menang pemilu 1955: PNI, 1999: PDIP, 2004: Golkar. 2009: Demokrat.
2014: PDIP. 2019: PDIP. Semua partai pemenang itu bukan partai yang
menampilkan diri sebagai partai agama.
Bahkan ketika semua partai dengan basis agama Islam digabung menjadi satu, kekuatannya paling banyak hanya di bawah 40 persen.
Lihatlah
tahun 2004. Gabungan seluruh Partai Politik dengan basis Islam (7
Partai): PBB, PPP, PNUI, PKS, PBR, PAN, PKB. Total suara yang diperoleh
hanya 38.4 persen.
Baca juga: Dampak Kemacetan Penjemput HRS: Garuda Bebaskan Biaya Penyesuaian Jadwal Terbang
Lihatlah
evolusinya di tahun pemilu 2019. Gabungan seluruh partai dengan basis
Islam (5 partai); PPP, PKB, PAN, PKS, PBB. Total perolehannya merosot
tinggal 30 persen.
Lihat
pula dengan capresnya yang kemudian menjadi presiden. Dalam empat kali
pilplres langsung: 2004, 2009, 2014, 2019. Yang terpilih sebagai
presiden adalah SBY dan Jokowi.
Baik
SBY ataupun Jokowi bukanlah pemimpin yang basisnya “Islam Politik.”
Bukan yang personifikasi pemimpin yang akan menerapkan syariat Islam di
ruang publik.
Sebaliknya kedua pemimpin itu lebih dikategorikan sebagai pemimpin nasionalis. Paling jauh: Nasionalis- Religius.
Akar
dari fenomena di atas adalah psikografis penduduk Indonesia. Ini kultur
politik yang sudah terbentuk lama sejak leadership Soekarno, Soeharto,
Habibie, Gus Dur, apalagi Megawati. Juga diteruskan oleh SBY dan Jokowi.
Kultur
politik yang dominan dalam pemilih Indonesia untuk mudahnya kita sebut
saja kultur politik Pancasila. Ia bukanlah kultur sekuler model negara
Eropa. Tapi Ia juga bukan kultur negara Islam model Timur Tengah.
Pemerintah
Indonesia ikut mengatur soal agama, dengan adanya kementrian agama.
Kementrian agama tak dikenal di dunia demokrasi barat.
Tapi juga Indonesia bukan negara satu agama. Ruang publik dinetralkan dari dominasi satu agama.
Itulah
kultur dominan yang perlu diketahui siapapun jika ingin mengambil the
heart and the mind dari mayoritas pemilih. Yaitu: Pancasila.
Tapi
apa itu Pancasila? Ini kultur yang terus tumbuh. Ia hanya bisa
didefinsikan dengan kata “bukan.” Pancasila adalah Bukan Negara Islam.
*****
Habieb
Rizieq dan Gus Dur sama sama pemimpin Islam. Gus Dur bahkan pernah
menjadi ketua umum Ormas Islam terbesar di Indonesia: NU. Habieb Rizieq
pemimpin Ormas FPI.
Namun
pemimpin Islam yang sama dapat mengsosialisasikan tafsir yang berbeda
soal hubungan Islam dan Politik. Hubungan Islam dan Negara. Hubungan
dengan kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, dan lain lain.
Gus
Dur sangat dikenal sebagai bapak pelindung kaum minoritas. Para pemeluk
agama minoritas, bahkan juga schism dalam dunia Islam seperti
Ahmadiyah, Syiah, sangat nyaman bersama Gus Dur.
Dalam aneka pernyataan publiknya, terasa Gus Dur membawa Islam selaras dengan demokrasi barat, dan hak asasi manusia.
Bahkan
Gus Dur dikenal bukan dengan mengIslamkan Indonesia. Tapi justru
mempribumikan Islam. Paham Gus Dur dilanjutkan Ormas Terbesar NU dengan
jargon Islam Nusantara.
Habieb
Rizieq dikenal cukup sering mengkampanyekan “NKRI Bersyariah.” (1). FPI
dikenal banyak hubungan yang tak mesra dengan kelompok minoritas,
misalnya Ahmadiyah. (2).
Apapun yang sebenarnya dimaksud oleh Habieb Rizieq dengan NKRI Bersyariah, kalangan minoritas tak nyaman dengan Habieb Rizieq.
Tak
heran, ketika Habieb Rizieq menyatakan dukungan terbuka atas Prabowo
sebagai capres, aneka survei menunjukkan mayoritas dari kaum minoritas
pergi dari Prabowo.
Jokowi menang sangat telak di daerah yang mayoritasnya bukan Muslim.
Jokowi
menang di Bali (mayoritas Hindu) 92 persen (3). Jokowi menang di NTT
(mayoritas Katolik): 90 persen (4). Jokowi menang di Papua (mayoritas
Kristen): 90 persen. (5)
*****
Habieb Rizieq akan tetap menjadi tokoh fenomenal di kalangan pemilih Islam yang satu paham dengannya.
Tapi
mayoritas muslim dari tradisi Islam Gus Durian (Gus Dur), Islam Cak
Nurian (Cak Nur), Islam Nusantara (NU), apalagi dari kalangan Ahmadiyah,
Syiah, justru kontra dengan Habieb Rizieq.
Super mayoritas dari pemilih agama minoritas (sekitar 15 persen polulasi) juga akan kontra dengan Habieb Rizieq.
Habieb Rizieq sangat dihormati, bahkan dipuja, oleh mereka yang sepaham dengan pentingnya memperjuangkan NKRI Bersyariah.
Sebaliknya,
asosiasi dengan Habieb Rozieq akan dijauhi oleh pemilih minoritas, dan
mayoritas Muslim yang merasa nyaman dengan demokrasi barat, hak asasi
manusia, dan Pancasila yang NKRI saja (tanpa embel- embel syariah di
dalamnya).
Secara elektoral: banyak yang pro Habieb Rizieq. Tapi jauh lebih banyak yang kontra. ***
*****
Indonesia bangsa yang belum terkonsilidasi. Akan kemana negara ini menuju?
Data
menunjukkan semua negara yang maju baik diukur dari World Happiness
Index, ataupun Human Development Index, adalah negara Barat.
Negara
Barat menjaga ruang publik netral dari sisi agama. Publik dibebaskan
dan dilindungi untuk memiliki kepercayaan apapun. Bahkan bebas juga
untuk tak beragama.
Di Indonesia, paham yang ingin membebaskan ruang publik dari dominasi satu agama belum kokoh.
Karena
satu dan dua hal, segmen penduduk Indonesia yang menginginkan lebih
banyak syariah Islam mewarnai ruang publik juga bangkit.
Tapi gejala bangkitnya girah agama di ruang publik tak hanya terjadi dengan agama Islam. Juga terjadi dengan agama Hindu.
Di
India, girah ini bahkan dominan secara nasional. India kini dinilai
merosot kualitas demokrasinya akibat terlalu dominannya agama (Hindu) di
ruang publik.(6)
Girah
agama di ruang publik juga terjadi dengan agama Protestan di Amerika
Serikat. Namun di negeri Paman Sam, gerakan ini hanya minoritas saja.
(7)
Bagaimana dengan
Indonesia? Akankah girah agama di ruang publik tetap minoritas (seperti
Indonesia sekarang, juga seperti di AS)? Atau Ia akan membesar menjelma
mayoritas seperti di India?
Sikap semua kita hari ini yang akan menentukan. ***
November 2020
Asal tulisan dari Facebook DennyJA_World https://www.facebook.com/ 322283467867809/posts/ 3390888647673927/?d=n