Guru Perlu Kreatif di Masa Pandemi Covid-19

Dr. Yopi Kusmiati, M.Si
Terhitung sudah enam bulan, sejak pandemi virus corona covid 19, anak-anak sekolah melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), atau sering disebut juga dengan istilah Sekolah Daring, atau Belajar dari Rumah (BDR). Hal ini dilakukan berdasarkan surat edaran pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 36962/MPK.A/HK/2020 tentang Pembelajaran Secara Daring dan Bekerja dari Rumah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) pada poin 4a yang berbunyi “memberlakukan pembelajaran secara daring dari rumah bagi siswa dan Mahasiswa”. Oleh karena itu, sejak tanggal 17 Maret 2020, beberapa daerah yang termasuk zona merah, tidak melakukan pembelajaran di sekolah. 
Awalnya edaran ini disambut baik oleh semua pihak, baik pihak sekolah, siswa ataupun orang tua, yang pada saat itu hanya dilakukan selama dua minggu, demi mengurangi penyebaran virus covid-19. Namun dengan adanya perpanjangan PJJ beberapa kali hingga selesai masa ujian akhir, pun hingga kini anak-anak sekolah masih belajar di rumah sampai akhir semester nanti di bulan Desember 2020, membuat anak anak merasakan kejenuhan dan sudah merindukan lingkungan sekolah. Tidak hanya itu, keluhan juga datang dari para orang tua atau wali murid yang sering merasa kesulitan untuk mendampingi anak-anak mereka belajar, terutama pada mata pelajaran yang tidak mereka pahami. Harus kita sadari, bahwa tidak semua orang tua memiliki kemampuan mengajar dan kemampuan memahami mata pelajaran anak sekolah, sehingga peran Guru masih sangat dibutuhkan. Guru masih harus terus melakukan kewajibannya sebagai pengajar dan pendidik, bukan pemberi tugas. 

Guru dituntut untuk kreatif dalam menyampaikan pembelajaran, agar tetap bisa berjalan efektif. Selain itu juga Guru harus inovatif memanfaatkan teknologi dengan metode pembelajaran yang disenangi anak anak dan mudah mereka pahami, dan

Baca juga: Ditjen Pendis Beri Penghargaan Bagi Guru Berdedikasi dan Berprestasi

interaktif dengan siswa, melakukan tanya jawab, dan memberikan motivasi kepada siswa. Komunikasi Guru dengan siswa tidak bisa jika hanya dilakukan satu arah. Siswa tetap membutuhkan penjelasan yang komprehensif dari seorang guru, bukan semata mata mengerjakan tugas di rumah. 

Banyak hal yang bisa dilakukan Guru untuk tetap melakukan pembelajaran yang efektif, diantaranya dengan menggunakan e-learning, menggunakan video yang diunggah di media sosial, atau menggunakan grup-grup yang tersedia di media sosial. Semuanya bisa dilakukan oleh Guru, dengan mempertimbangkan kemampuan murid, baik kemampuan mengakses internet, ataupun kemampuan menggunakan gawai telepon, karena tidak semua murid  bisa mengikuti pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi dengan bermacam alasan, diantaranya tidak memiliki telepon genggam, tidak memiliki pulsa, atau telepon genggam yang dimiliki orang tuanya tidak mendukung  untuk menggunakan aplikasi pembelajaran yang disediakan, bahkan di beberapa wilayah, yang termasuk wilayah 3T (terluar, tertinggal dan terdalam) sama sekali belum memiliki jangkauan sinyal internet, yang tidak memungkinkan mereka melakukan pembelajaran dengan e-learning. Oleh karena itu, Guru harus mencari metode alternatif untuk siswa yang memiliki kendala seperti ini. Salah satu cara bagi siswa yang memiliki quota internet terbatas dengan memanfaatkan voice note (pesan suara) melalui media sosial, menjelaskan materi yang akan dipelajari, dan bagi mereka yang tidak memiliki akses internet, dengan melakukan kunjungan bergilir ke rumah siswa, yang artinya Guru keliling dari satu rumah ke rumah siswa lainnya, sehingga tetap bias melakukan pembelajaran. 

Menurut Darmawan (2015) pembelajaran merupakan akumulasi dari konsep mengajar dan konsep belajar, yang penekanannya pada perpaduan antara keduanya, yaitu penumbuhan aktifitas anak didik. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, terutama pembelajaran yang menggunakan teknologi informasi, Guru tidak hanya memperhatikan  materi yang disampaikan, tetapi juga siswa, tujuan, dan fasilitas yang digunakan. Hal ini sejalan dengan pendapat Davis (1974) bahwa sistem e-learning menyangkut pengorganisasian dari perpaduan antara manusia, pengalaman belajar, fasilitas, pemeliharaan atau pengontrolan, dan prosedur yang mengatur interaksi perilaku pembelajaran untuk mencapai tujuan.

Guru Bukan Pemberi Tugas
Banyaknya keluhan yang disampaikan oleh orang tua terhadap Guru dan sekolah yang banyak memberikan tugas, membuat orang tua dan anak kerapkali merasa dipusingkan oleh tugas-tugas tersebut. Bahkan dampak dari itu, ada anak yang menjadi korban kekerasan orang tua yang tidak sabar menemani anaknya belajar di rumah. Salah satu contoh kasus sebagaimana yang dilansir detik.com pada tanggal 20 September 2020, bahwa ada orang tua yang memukul anaknya hingga tewas dikarenakan sang anak tidak serius saat mengikuti pembelajaran daring. Dari kejadian tersebut, hendaknya membuka mata dan pikiran Guru bahwa tidak semua orang tua mampu mengajar anak terkait dengan pelajaran sekolah. Setiap orang punya kemampuan di bidang masing masing. 

Guru hendaknya tidak memaksakan siswa untuk bisa mengerjakan semua tugas yang diberikan, namun justru harus siap mendampingi siswa belajar, memberikan waktu untuk tanya jawab, sehingga siswa tetap bisa bertanya hal-hal yang belum dipahaminya, dan mendapatkan penjelasan yang lebih detil dari Gurunya. 

Guru juga tetap harus berperan untuk membuat siswa senang saat melakukan pembelajaran, dengan memberikan stimulus yang bisa menarik perhatian siswa, baik secara kognitif ataupun afektif. Dalam psikologi komunikasi, seseorang yang menerima pesan akan ditentukan oleh kognisi dan afeksi mereka, yang selanjutnya akan menentukan respon yang akan mereka berikan. Jika Guru hanya memberikan tugas, sama saja dengan Guru membiarkan anak belajar sendiri, memahami sendiri dan mencari jawaban sendiri, yang pada akhirnya mereka akan bertanya kepada mesin pencari jawaban di internet. Inilah yang kemudian memunculkan pemikiran di kalangan orang tua, terutama bagi mereka yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta bahwa mereka tidak perlu membayar SPP dengan utuh, karena anak mereka belajar sendiri dan tidak menggunakan fasilitas sekolah.  

Begitu juga saat mengikuti pembelajaran dengan menggunakan teknologi informasi, maka akan muncul perilaku kompleks dari sang anak, dimana otak kanan dan otak kiri mereka akan sama-sama menerima informasi, sehingga tidak hanya diperlukan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif dan psikomotorik, yang semua itu bisa tercapai jika proses pembelajaran yang dialami mendukung. Sebagaimana yang dikemukakan Darmawan (2015) bahwa “perilaku kompleks diharapkan mampu dicapai oleh peserta didik terutama ketika mereka mengikuti pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi”. Oleh karena, penting dipahami bahwa dalam proses pembelajaran harus ada keterkaitan antara logika, emosi, dan fisik.

Di masa pandemi yang belum tahu kapan berakhirnya, yang masih mengharuskan siswa belajar di rumah, menjadi kesempatan baik bagi para Guru untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam menunjang pembelajaran dengan pilihan metode-metode pembelajaran yang inovatif, agar tetap menjadi Guru yang kreatif, bukan Guru instruktif, yang hanya memberikan tugas tanpa penjelasan yang lugas.

Dr. Yopi Kusmiati, M.Si (Dosen Psikologi Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

sumber artikel http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=detilartikel&id=11631

Subscribe to receive free email updates: