UU Omnibus Jaminan Halal, Halal Watch: Kewenangan Ulama Dikoptasi Kekuasaan Negara

Ikhsan Abdullah

Dalam beberapa hal kita bersyukur hasil final dari RUU Cipta kerja terkait Jaminan Produk Halal mengalami perbaikan, khususnya dalam hal fatwa halal  tetap menjadi kewenangan MUI. 

Namun secara keseluruhan, dalam pengamatan Lembaga Advokasi Halal (Indonesia Halal Watch), issue yang selama ini ramai diperdebatkan perihal ketentuan mengenai Sertifikasi Auditor Halal, Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Ketentuan Kerjasama dengan Lembaga Sertifikasi Halal Internasional serta Sistem Jaminan Halal memposisikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menjadi Badan yang super body, sekaligus  menempatkan MUI seperti jadi subordinat (bawahan) BPJPH dalam kontek Pelaksanaan Sistem Jaminan Halal.

"Semua kewenangan MUI yang dulu telah diatur di dalam UU JPH, yakni Undang-Undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal telah habis dilucuti," tegas Direktur Eksekutif DR.H. Ikhsan Abdullah, S.H., M.H dalam keterangan tertulisnya yang diterima BRNews.id, Jum'at (9/10/2020).

Diterangkannya, bila dalam konteks Undang-Undang Omnibus pada Klaster Jaminan Produk Halal tersebut, pendekatan yang humanis dan tetap takdzim kepada MUI sebagai Representasi Ulama dikedepankan sebagai hal yang sangat penting bagi personal yang ada di BPJPH, maka niscaya dapat memuluskan implementasi Undang-Undang tersebut. 

"Akan tetapi bila yang terjadi kekakuan dan kebekuan seperti yang ditunjukkan Kepala BPJPH 3 tahun terahir ini, maka kami sangat khawatir UU Omnibus pada kluster Jaminan Produk Halal ini semakin sulit untuk dilaksanakan," tegasnya lagi.

Ikhsan menjelaskan, apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, maka  BPJPH dapat menerbitkan Sertifikat Halal. "Ini dapat dikatakan Kekuasaan Negara mengkoptasi Kewenangan Ulama. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam sejarah Perundangan-undangan di Indonesia, bahkan dimasa Penjajahanpun Belanda tidak mau masuk ke wilayah yang sangat sensitif," jelasnya.

Menurut IKhsan, hal yang sangat tidak tepat di dalam Ketentuan Omnibus Jaminan Produk Halal yang pada hari Senin tanggal 5 Oktober 2020 disyahkan oleh DPR, terangnya lagi, adalah ketentuan mengenai self declare, ini adalah sesuatu yang diharamkan oleh UU JPH, yakni Undang-Undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebelum Ketentuan Omnibus law. 

Namun menjadi dihalalkan oleh Omnibus, yang sebenarnya juga melemahkan MUI dan Kementerian Agama yang secara struktur dan kelembagaan telah mempunyai organ sampai di tingkat Kecamatan di Seluruh Indonesia yang bisa di aktifkan dan diberdayakan untuk melakukan fungsi pembinaan, pengawasan dan edukasi kepada UKM bagaimana tata cara memproduksi barang halal dari mulai pemilihan bahan, proses produksinya, hingga sampai kepada konsumen (halal value chain).  Lalu bagaimana bila halal hanya dinyatakan sendiri oleh pelaku usaha UKM..?

"Kita semua faham tidak semua UKM menggunakan bahan produksi yang termasuk kategori positif list seperti bahan-bahan alam misal beras, tepung ketela, sagu. Tetapi banyak UKM yang menggunakan bahan utamanya dari daging, margarin, roombutter dan bahan penolong serta bahan artifisial yang memiliki titik kritis tinggi yang masih harus ditracing kehalalannya. Bila hanya dengan halal self declare, maka akan menjadi tidak jelas kehalalanya," terang Ikhsan.

Dia menegaskann, yang menjadi persoalan utama, halal itu bukan masalah perizinan yang dalam Omnibus Law dimasukan di dalam kluster Perizinan dan kemudahan berusaha. Tetapi halal itu adalah hukum syariah (Islam) yang menjadi domain dan kewenangan Ulama.

Kehalalan Produk tidak hanya didekati dengan ilmu Fiqih tapi juga dengan teknologi, karena di masa kini perkembangan Teknologi Pangan olahan sudah begitu mutahir yang dapat menjadikan tidak jelas lagi produk yang halal dan yang tidak.  

"Oleh karenanya tetap diperlukan pemeriksaan atas suatu produk sebelum dilakukan penetapan Fatwa oleh MUI. Jadi Halal Self Declair tidak sejalan dengan maqosid syariah, disamping tidak sesuai prinsip Perlindungan Konsumen yang menjadi tujuan utama," pungkas Ikhsan Abdullah. (alfa|azka).

Subscribe to receive free email updates: