Siapa Sebenarnya Penebar Hoax?


Oleh Agus Wahid


Sungguh sadis nan kejam memang produsen dan penebar berita bohong alias hoax. Karenanya, wajar sanksi hukumnya memang harus berat. Bagaimana tidak? Karena hoax, bukan hanya pribadi yang menjadi korban Tetapi, banyak elemen dalam jumlah besar terkena getah pahit dari hoax. Bahkan, tak sedikit dari benda mati seperti sarana dan prasarana fasilitas publik pun menjadi sasaran emosional. 


Coba kita tengok kembali sejenak. Apa yang terjadi di tengah Jakarta pada 8 Oktober lalu? Sejumlah fasilitas umum seperti koridor busway dibakar. Lalu, apa “dosa” fasilitas umum? Apakah fasilitas umum itu ikut berpolitik? Berbeda sikap politik dengan Gubernur DKI Jakarta boleh-boleh saja dan tidak dilarang oleh konstitusi. Tetapi, fasilitas publik hanyalah produk kebijakan Pemerintah. Bukan insan politisi. Barang-barang mati tak ikut bermain dalam panggung politik praktis. Sungguh stupid pembakaran faslitas publik itu. 


Perlu kita catat, hoax sesungguhnya fitnah dan sangat kejam. Makanya, Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah Ayat 191 pun menyitir, fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Bagi umat beriman, tentu sangat takut dengan perbuatan pemfitnahan itu, karena berdosa besar bagi sang pemfitnah. Allah SWT pun mengancam dengan hukuman yang pedih.


Lalu, apakah berita seputar RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sudah diputuskan DPR RI pada 5 Oktober menjadi UU merupakan berita hoax, terutama beberapa pasal terkait hak-hak dasar pekerja yang direduksi itu?


Mabes POLRI menilai, gerakan demonstratif oleh kalangan pekerja yang demikian massif di berbagai daerah itu merupakan korban informasi hoax. Memang, secara faktual, banyak elemen pendemo itu tak membaca dengan detail bagaimana ketentuan Omnibus Law itu, tapi mereka sudah demikian eksplosif mengumandangkan penolakan RUU itu.


Boleh jadi, keterangan Humas Mabes POLRI benar. Jika dikuantifikasi, dapat  dipastikan: sangat sedikit yang membacanya secara menyeluruh. Jumlah halaman RUU yang demikian banyak menjadi argumentasi yang cukup mendasar. RUU Omnibus Law yang berversi 950 halaman, 1028 halaman dan 1035 halaman itu membuat tanda tanya kemungkinan banyak pihak belum membacanya secara utuh. Bukan hanya demikian  banyak jumlah halamannya, tapi juga belum tentu memahami secara persis bunyi dan makna setiap pasalnya. Lebih dari itu, masyarakat pun tidak tahu persis, mana di antara tiga versi RUU yang diundangkan DPR itu?


Namun demikian, keterangan Humas Mabes POLRI – secara langsung atau tidak – juga dapat diartikan sebagai sikap mengecilkan catatan kritis anggota DPR RI. Dengan kapasitas dirinya sebagai wakil rakyat, di antara mereka terutama dari Fraksi PKS dan Demokrat demikian jelas mengkritisi sejumlah pasal RUU Omnibus Law. Kritik tajamnya bukan hanya terkesan pada prosesnya yang tidak transparan dan dipaksakan, tapi terdapat prosedur legislasi yang belum dilakukan secara maksimal. 


Di sisi lain, menurut anggota DPR dari Fraksi PKS dan Demokrat juga begitu jelas tak berpihak pada kepentingan kalangan pekerja Indonesia. Di antara wakil rakyat dari Fraksi PKS dan Demokrat menyoroti persoalan status pekerja outsourcing “seumur hidup”. Dengan kata lain, tak akan pernah terjadi status karyawan. 


Ketentuan status pekerja tersebut membuat posisi pekerja tak akan pernah merasa aman dan nyaman selama bekerja. Dengan pertimbangan tertentu, perusahaan bisa main pecat, atau “off” sementara, lalu masuk lagi dengan kontrak baru. Dengan model menajemen seperti ini, maka persoalan pesangon menjadi buram. Tidak tertutup  kemungkinan, ia sebagai pekerja berstatus “baru” tak dapat akan dapat pesangon saat diberhentikan.


Di sisi lain, terdapat persoalan hitungan kerja yang didasarkan pada jam dan harian. Hal ini sungguh mengancam kepentingan pekerja. Dari sisi pendapatan, dasar penghitungan kerja yang tidak mendasarkan UMR atau UMP membuat proyeksi kontraksi pendapatannya secara signfikan. 


Bagi kepentingan pekerja, ketentuan baru itu tidak memberikan harapan kesejahteraan yang baik. Masa depan pekerja cukup buram. Peta masa depan yang suram ini harus dilihat sebagai problem ketenagakerjaan yang bukan hanya pada saat ini, tapi generasi pekerja yang akan datang. Inilah yang mendorong kalangan pekerja, bahkan pelajar dan mahasiswa yang berorientasi kerja pasca pendidikannya cukup terpanggil untuk menyikapi produk UU Omnibus Law yang mengancam masa depan kepentingannya. 


Kiranya, para orang tua manapun yang memiliki anak-anak sekolahan atau kuliah juga punya kepentingan besar untuk mencegah pemberlakuan UU yang bakal mengancam kepentingan putera-puterinya di masa kini dan mendarang. Berlebihankah? Tentu tidak.


Menggaris-bawahi persoalan pemberitaan dan reaksi atas RUU Omnibus Law yang disahkan DPR itu, kiranya tidaklah tepat jika penilaiannya mendasarkan pada pemahaman komprehensif. Yang terpenting adalah validitas informasi atau materi UU yang disampaikan sejumlah wakil rakyat dan sejumlah fungsionaris organisasi pekerja. Karena itu, mereka yang mengkritisi produk UU yang sarat dengan masalah itu tidak bisa dipandang sebalah mata, apalagi langsung dinilai hoax. Validitasnya bisa diuji secara akademik dan fungsional lembaga Dewan. 


Dengan demikian, kalangan manapun yang menyanggah realitas ketentuan yang bermasalah itu justru layak disebut sebagai pelaku dan aktor hoax. Dalam hal ini perlu diambil sikap bijaksana: janganlah mudah menilai dan menuding hoax hanya karena beda cara pandang dan kepentingan rezim. Jangan-jangan, penudingan hoax terhadap kaum pendemo dalam rangka mendelegitimasikannya. 


Jika arahnya ke “sana”, sama artinya penudingan hoax itu memang untuk mempermulus legitimasi RUU Omnibus Law. Publik jadi tersadar sikap politik penudingan hoax itu. Hoax versus hoax. Titik benarnya tergantung sudut pandang sang penilai. Wah, jadi tidak obyektif. Sebuah renungan, apa negeri ini harus dibangun dalam konstruksi serba hoax? Na`udzu billah min dzalik.


Jakarta, 14 Oktober 2020

Direktur Analisis Center for Public Policy Indonesia

Subscribe to receive free email updates: