Persetujuan RUU Omnibus Law: Masa Depan Rezim


  Oleh Agus Wahid


Fraksi PDIP, Golkar, NasDem, PPP, PKB, PAN dan Gerindra – pada 5 Oktober kemarin – menyetujui RUU Omnibus Law menjadi UU. Hanya Fraksi Demokrat dan PKS yang menolak. Kini, publik eksternal parlemen melakukan perlawanan. Sarikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia bukan hanya menolak, tapi juga siap turun secara nasional. Mereka melakukan mosi tak perncaya pada parlemen. Yang menjadi persoalan, mosi tak percaya dalam sistem presidensial tak dikenal. Makanya, bukan tak mungkin, para anggota Fraksi yang pro dan menyetujui RUU Omnibus Law menyatakan di hatinya. “Emang geu pikirin”


Meski demikian, suara lantang dari pihak luar parlemen punya makna yang sangat substantif. Reaksi dari kalangan luar merupakan refleksi dari sikap keberatannya atas persetujuan RUU Omnibus Law Cipta Kerja (OL CK) yang siap disahkan menjadi UU yang sangat dipaksakan. Terkesan kejar target. Tampak juga pesan bohir. Dan akhirnya, terlihat politik balas jasa kepada para cukong yang berandil besar atas kenaikannya ke tangga kekuasaan.


Hal itu mengundang tanya yang penuh mencurigakan. Para anggota Dewan minus PKS dan Demokrat sudah menjadi alat kepentingan kekuasaan yang kini tunduk pada kemauan swasta raksasa? Apakah persetujuannya bagian dari persekongkolan dengan para bohir yang telah mengantarkannya ke parlemen? Atau, persetujuannya merupakan konsekuensi politik koalisi dengan rezim? Hanya mereka yang bisa menjawabnya dengan jujur, meski sangat tak mungkin mengungkapkan kejujurannya.


Tak perlu dijawab. Yang jelas, RUU OL CK terdapat banyak kejanggalan, di antaranya penghapusan upah minimum regional (kabupaten/kota dan provinsi). Penetapan UMR/P diganti berdasarkan kebutuhan layak hidup (KLH). Kerangka RUU OL CK itu juga meniadakan istilah karyawan tetap, diganti dengan kontrak seumur hidup. Status karyawan hanya menjadi tenaga kerja harian. Jam istirahat: hanya satu jam. Hari Jumat juga sama. Tak mempertimbangkan kegiatan suci: shalat Jum`atan.  Mempermudah rekrut tenaga kerja asing (TKA) kasar tanpa izin tertulis dari menteri dan pejabat yang ditunjuk (amandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003). Jaminan sosial dan ketenagakerjaan hilang. Libur Hari Raya hanya pada tanggal merah.


Danpak Gelombang Reaksi Massif-Ekstensif

Seusai ketok palu persetujuan UU OL CK, Sarikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) langsung menggelar jumpa pers. Isinya tunggal: menolak dan langsung memberikan komando kepada seluruh pekerja di Indonesia untuk mogok kerja selama tiga hari (6 – 8). Bukan tak mungkin, masa pemogokan lebih lama. Dan pemogokan nasional itu kini sudah menyeruak di berbagai daerah. Sudah terjadi arak-arakan massa ke jalan, bahkan membakar ban. Yang perlu kita soroti lebih jauh, apakah aksinya hanya di depan perusahaan atau industrinya? Atau, sebagian mereka mengambil prakarsa turun ke jalan tol, setidaknya memadati pintu tol?


Mengenang demo tenaga kerja pada 20 September 2012 dari kawasan industri Tengerang dan Cikarang, mereka turun ke jalan tol. Implikasinya, terjadi kemacetan sampai sekitar 10 jam, mulai sekitar jam 09.00 hingga jam 19.00. Namun, kemacetan di tol itu menyeruk ke kemacetan di jalan-jalan arteri sekitarnya. Total lonjakan waktu kemacetan mencapai 15 jam.


Demo yang tertumpah pada jalan tol dan jalan-jalan arteri sekitarnya itu merugikan banyak elemen. Tidak hanya kalangan tenaga kerja pabrikan, tapi karyawan perkantoran lain. Juga, melumpuhkan angkutan barang dan transportasi jasa dan pribadi lainnya. Akibat ketersendatan mobilisasi transportasi barang dan lain-lain – menurut Kementerian Perindustrian – menimbulkan kerugian material mencapai Rp 190 trilyun dalam sehari itu. Jika pemogokan itu terjadi beberapa hari, katakanlah 10 hari, maka di depan mata sudah tergambar tingkat kerugian Rp 1.900 trilyun. Suatu proyeksi yang tentu menambah krisis ekonomi yang kini telah terjadi. 


Prediksi perpanjangan masa demo bukanlah hipotetis. Jika kita tengok faktor demo pada September 2012 lebih didonimasi persoalan UMR/P dan hak-hak dasar lainnya seperti hak cuti, tapi kini menyangkut status kerja: tak ada karyawan tetap, diganti kontrak “abadi”. Legalisasi TKA kasar yang tertuang dalam UU itu juga dinilai menutup rapat peluang pekerja lokal. Intinya, kerangka UU OL CK menggerus kepentingan pekerja lokal, juga memburamkan masa depan pencari kerja. Maka, di depan mata akan terjadi lonjakan hiperbolik pengangguran nasional.


Dengan analisis persoalan dasar itu, maka tingkat partisipasi reaktif atas persetujuan RUU OL CK akan menggiring elemen pekerja yang lebih besar. BPS per 27 April 2020 mencatat jumlah pekerja mencapai 131.005.641 dari total penduduk 271.053.473 orang. Sekali lagi, jika seluruh pekerja mogok secara nasional, maka ekonomi bukan hanya lumpuh total, tapi akan segera mengabrukkan peta ekonomi nasional. Dari sisi pendapatan pasti akan terjadi kontraksi yang sangat siginifikan. Di sisi lain, kontraksi itu akan meningkatkan juga jumlah existing pengangguran. 


Dalam hal ini, Bank Dunia, beberapa hari lalu merilis data sekitar 26 juta rakyat Indonesia dalam status pengganggur. Dan dalam masa sekitar tujuh bulan lalu akibat covid-19, pengangguran itu mengakibatkan krisis konsumsi pangan. Bank Dunia mencatat, kenaikannya mencapai 300%. Berarti, sebesar 78 juta rakyat Indonesia telah menghadapi krisis konsumsi pangan. 


Peta ekonomi dan sosial itu akan menjadi pendulum untuk gerakan massif dalam melawan rezim. Gerakannya akan semakin powerful sejalan dengan simpati empatif dari anasir lain seperti BEM seluruh Indonesia. Tak tertutup kemungkinan dari elemen lainnya. Partisipasi ini tak lepas dari kepentingan ke depan anak bangsa, baik dirinya kini masih sebagai elemen mahasiswa, atau keluarga yang memiki generasi ke depan sebagai pencari kerja.


Jika gerakan itu berlangsung lama, maka di depan mata hanya ada satu kondisi: rezim ini berpotensi runtuh. Meski akan banyak martir, tapi itu konsekeunsi politik logis yang harus dihadapi akibat memaksakan kebijakan yang berlawanan arus besar: perut rakyat dan masa depannya yang terancam secara sistimatis dan terancana harus diselamatkan. Waktu perlawanannya sekarang, bukan nanti, apalagi mengulur waktu dengan mengajukan keberatan (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Jika taat procedur hukum, MK pun – secara empirik – lebih dekat dengan kepentingan kekuasaan. Jauh dari denyut kepentingan rakyat. Maka useless untuk berurusan dengan MK.


Dalam kaitan itu, rezim pasti akan menuding gerakan reaktif perlawanan diback up oleh kekuatan kontrarian. Sangat boleh jadi anasir Kesatuan Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) menjadi sasaran. Rzim akan mencari kambing-hitam dan menyalahkan siapapun aktor intelektualnya, termasuk dari KAMI. 


Sikap rezim seperti ini jelas tidak profesional. Tidak introspeksi. Tapi, itulah bela diri childish. Sudah biasa merasa benar diri. Menjadi langgam kekuasaan, tanpa instrospeksi dengan bijak dalam menatap persoalan obyektif. Namun, satu hal yang perlu dicatat, penangkapan terhadap para kontrarian akan menambah kekuatan perlawanan arus bawah. Kalangan non pekerja yang sejauh ini sudah gerah terhadap rezim merasa tepanggil untuk terlibat bersama kalangan pekerja nasional. Sinergi ini jauh lebih powerful.


Review Kebijakan

Mencermati gerakan perlawanan massif atas persetujuan RUU OL dan potensi destruktif peta ekonomi, sosial dan akhirnya politik yang memanas ini, maka kita perlu mencatat tegas. Pertama, rezim ini harus bertanggung jawab atas kuliminasi persoalan itu. Perlu ada gerakan class action secara  meluas mengapa rezim memaksakan kebijakan yang melawan kepentingan rakyat yang jelas-jelas ada dalam lindungan konstitusi.


Kedua, anasir DPR RI minus PKS dan Demokrat juga harus bertanggung jawab mengapa suara rakyat tak dihiraukan. Mengapa pimpinan sidang mematikan mikrophone saat terjadi intrupsi dari anggota Demokrat dan PKS saat menyampaikan sikap politik legislasinya? 


Dua catatan itu – rezim dan kompradornya dari parlemen minus Demokrat dan PKS – layak digugat secara hukum sebagai aktor utama penghancuran negeri ini. Melalui fakta politik hukum, kalakuan itu layak diproses menjadi hal yang lebih mendasar, yakni impeachment. Memang, sangat kecil kemungkinannya sampai pada tahab pelengeseran itu, karena kekuatan pendorong pelengseran itu hanya dari unsur Demokrat dan PKS. Karena itu pula, kekuatannya bersifat alamiah: kekuatan eksternal parlemen. 


Sementara itu, rakyat – dari sekarang dan mendatang – sudah harus ambil sikap politik praktis: catat dan ingat selalu. Hindari partai dan calon-calon dari partai yang telah bersekongkol dalam RUU OL CK itu. Hukuman politik tersebut layak diterapkan. Sebagai pembelajaran politik yang sungguh berguna bagi kepentingan bangsa da negara ke depan. Tidak boleh lupa. Dan tak boleh lumer hanya karena sogokan Rp 50.000 saat pesta pemilu nanti.


Akhir kata, daya dobrak kekuatan ekstra parlemen memang perlu jihad besar, waktu dan tenaga, bahkan nyawa. Tapi, ini pilihan pahit yang harus diambil. Untuk keselamatan masa depan bangsa dan negara. Jika jihad ini dilakukan secara konsisten, maka kekuatan eksternal akan menjadi kenyataan. People power bukanlah fatamorgana. Sudah terbukti di jagad raya. Sunnatullah.


Kini, penguasa dari unsur rezim dan parlemen sudah menyaksikan reaksi massif-ekstensi akibat persetujuan RUU OL CK. Sebuah renungan, akankah terus disahkan? Jika lanjut, maka masa depan kekuasaan kalian di ujung tombak. Rakyat akan bergerak sampai terbukti sunnatullah itu. Boleh pilih di antara dua opsi itu. Monggo direnungkan dengan nurani bersih wahai sang rezim....


Jakarta, 8 Oktober 2020

Penulis: Direktur Analisis Center for Public Policy Indonesia











Subscribe to receive free email updates: