KETIKA KEKUASAAN MESTI PUNYA JEJAK MANFAAT
KETIKA KEKUASAAN MESTI PUNYA JEJAK MANFAAT
Titi Anggraini
Setelah kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, lanskap politik Indonesia berubah drastis.
Keran
multipartai terbuka lebar. Pemilihan umum (pemilu) yang kompetitif
perlahan hadir. Adu gagasan mulai dirasakan. Penyelenggara pemilu
didesain nonpartisan dan tidak berpihak. Penegakan hukum juga
direformasi sedemikian rupa.
Perubahan
itu juga tak luput menjangkau dinamika dan tata kelola pemilu
Indonesia. Perubahan sistem pemilu baik legislatif maupun hadirnya
pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, melahirkan banyak
pendekatan dan cara kerja baru dalam kita melaksanakan pemilu.
Pemilihan
presiden langsung. Transformasi sistem pemilu anggota DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat) dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dari
tertutup menjadi (semi) terbuka. Kehadiran pemilu DPD (Dewan Perwakilan
Daerah). Semua berlangsung pada 2004.
Sungguh
luar biasa, peristiwa itu menambah ramai dan hiruk pikuk demokrasi
elektoral Indonesia. Apalagi setahun setelahnya, 2005, pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) secara langsung juga mulai
diberlakukan pasca pengesahan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Babak baru politik Indonesia
dimulai. Kalau sebelumnya partai politik adalah pusat dari segalanya,
maka saat ini individu politik sebagai kontestan makin punya peran
sebagai kontributor kemenangan.
Politik
kita makin terbuka, dinamis, dan tentu saja “tidak mudah”. Persaingan
makin ketat dan mahal di tengah tantangan kemampuan untuk merebut suara
rakyat yang jumlahnya tidak sedikit itu.
Maka,
strategi yang bernas adalah keniscayaan. Pada 2003 jelang pemilihan
presiden langsung (pilpres) pertama di Indonesia, kita mulai mengenal
dan familier dengan terminologi marketing politik beserta segala
instrumen yang menyertainya. Sebut saja konsultan politik, lembaga
survei, hitung cepat, dan lain sebagainya.
Politik
yang terbuka membuat kesempatan menang menjadi lebih memungkinkan bagi
para kontestan. Karena rakyat yang menjadi penentunya punya banyak ragam
dan selera. Apalagi perkembangan teknologi yang sedemikian pesat,
membentuk pula perubahan karakter dari masyarakat pemilih kita.
Itulah
mengapa peran marketing politik dengan segala perangkatnya menjadi
suatu keniscayaan. Agar politik tidak menjadi gegabah dan sia-sia.
Ibarat suatu perjalanan, rencana, taktik, dan aksi perlu diformulasi
secara terukur. Agar capaian yang dikehendaki bisa diperoleh dengan
logis berbasis data dan fakta.
Namun,
dalam perkembangannya, banyak sentimen muncul pada institusi-institusi
yang bekerja di sektor marketing politik. Ongkos mereka yang mahal,
strategi yang diakui oleh beberapa pihak mengarahkan untuk melakukan
segala cara demi mencapai kemenangan, serta toleransi pada pelanggaran
hukum membuat muncul stigma bahwa lembaga yang bekerja untuk marketing
politik mendistorsi kualitas pemilu Indonesia.
Misalnya
saja, ongkos yang mahal untuk membayar konsultan politik menjadi sumber
kehadiran cukong politik untuk menjadi investor kandidat-kandidat
potensial.
Dan semua itu
terjadi di ruang-ruang gelap yang tak mampu dijangkau hukum.
Seolah-olah menang adalah segalanya. Nilai dan prinsip demokrasi serta
pemilu yang bebas dan adil tak lagi jadi komitmen yang mengikat mereka
dalam melakukan kerja-kerja pemenangan pemilu.
Nah,
buku Denny JA berjudul Membangun Legacy 10P untuk Marketing Politk:
Teori dan Praktik, merekonstruksi persepsi yang selama beredar di
masyarakat kita.
Penulis
buku ini membawa pesan yang sangat kuat bahwa memenangi pemilihan
bukanlah satu-satunya tujuan akhir, melainkan kekuasaan harus punya
makna.
Harus ada jejak
manfaat yang ditinggalkan agar politik bisa jadi maslahat. Pesan yang
kalau disampaikan para pengamat atau pemuka agama mungkin sudah biasa,
tapi ini ditekankan oleh seseorang yang kerja-kerjanya berurusan dengan
melakukan strategi “bagaimana membuat kandidat menang”.
-000-
Buku
ini menarik, karena ditulis dengan bahasa yang ringan, popular, dan
mengalir. Mengemas substansi yang mengandung teori dan praktik dengan
sederhana dan mudah untuk dicerna.
Sehingga
siapa pun, dengan latar apa pun akan dengan mudah memahami dan menarik
benang merah atas pesan yang ingin disampaikan sebagai penekanan pada
setiap akhir tulisannya.
Praktik
marketing politik yang berangkat dari pengalaman politik tokoh-tokoh
dunia menjadi bagian yang cukup istimewa dan menarik dari buku ini.
Sebab ia menjadi pengantar bagi pesan yang ingin disampaikan oleh
penulis.
Pengalaman dari
para tokoh dunia menggambarkan marketing politik secara lebih nyata dan
berwujud. Bahwa marketing politik itu sesuatu yang logis, terukur,
akademik, dan tidak meninggalkan moralitas.
Misalnya
saja saat membahas Kisah Nixon Dan Marketing Politik “In Action”, di
ujung tulisannya, penulis menekankan pesan kunci yang sangat kuat
sebagaimana berikut:
“Selihai
apa pun seorang politisi. Seberapa pun tinggi kekuasaannya. Sekuat apa
pun dukungan awalnya. Sekali ia melanggar hukum, ia segera menggali
kuburnya sendiri. Inilah hikmah itu. Seluruh kecanggihan strategi
marketing politik tak akan berdaya di hadapan publik luas yang merasa
ketidakadilan sudah dianiaya.”
Penggalan
konklusi itu yang saya kira harus dibaca dan dipahami betul oleh para
kandidat pemilihan yang akan menggunakan konsultan politik untuk
membantunya dalam melakukan kerja-kerja pemenangan.
Mengejawantahkan
marketing politik melalui dukungan konsultan politik bukan berarti
melegitimasi praktik melawan hukum. Permisif pada praktik mahar politk,
mendiamkan jual beli suara, apa lagi sampai menyuap penyelenggara atau
hakim pemilihan.
Ilustrasi
penulis buku bahwa marketing politik menjadi semacam super market
menyediakan strategi, konsep, yang sudah diuji oleh ilmu pengetahuan,
juga pengalaman, membantu individu untuk terpilih dalam satu jabatan
publik hingga ia membuat political legacy, harusnya menjadi kontemplasi
bagi setiap kontestan untuk kembali menemukenali jati dirinya.
Untuk
apa kekuasaan itu diraih, jejak manfaat apa yang akan ditinggalkan
untuk masyarakat, serta catatan sejarah macam apa yang akan
ditorehkannya? Kesadaran itu yang mestinya dipahami sejak awal oleh
setiap kandidat yang akan menggunakan marketing politik atau pun para
konsultan yang menawarkan “layanan” marketing politik.
Bagian
menarik lainnya dari buku ini adalah ketika penulis mengurai marketing
politik yang dijalankan Bill Clinton saat memenangi Pemilu Amerika
Serikat:
“Bill Clinton
terpilih karena ia mengikuti tren zaman. Yang utama bukan ideologi
partai tapi preferensi pemilih! Ini kalimat ‘wahyu’ dalam marketing
politik zaman ini.”
Kalimat itu lalu disambung dengan tekanan bahwa:
“Partai
kemudian membutuhkan keahlian yang baru, yang tidak dikenal sebelumnya.
Partai awalnya hanya berkutat dengan merumuskan ideologi dan platform.
Di era baru, partai membutuhkan keahlian berupa kemampuan melakukan
penyelidikan pasar. Dibutuhkan juga keahlian membuat segmentasi,
targeting pemilih. Telah datang era profesionalisasi politik.”
Saya
kira demikianlah yang dihadapi oleh partai politik kita saat ini.
Partai mesti bertransformasi menjadi organisasi modern yang dikelola
dengan prinsip-prinsip profesional dan bervisi maju.
Dalam
masyarakat yang berhadapan dengan disrupsi teknologi yang luar biasa,
berbagai teori yang dulu kita pelajari soal kelembagaan partai berubah
pula sedemikian rupa. Di situlah tantangan partai untuk mampu
beradaptasi dengan kondisi terkini para pemilihnya makin mendesak untuk
direalisasikan.
Partai
harus mampu mengikuti perkembangan zaman dan segala penyesuaian untuk
menjawab kebutuhan terbaru dari masyarakat yang bergerak, berubah, dan
bertransformasi dengan cepat.
Saya kira mau tidak mau, bagian terbaik dari buku ini adalah saat penulis menutupnya dengan pernyataan:
“Ketika
kita memutuskan untuk menjadi pemimpin, apalagi ingin mendapatkan
amanah dari rakyat banyak, pastikan jangan menjadi pemimpin yang
medioker, yang biasa-biasa saja.”
“Pastikan
ada political legacy yang akan dibuat. Yakini dulu ada program dan
kebijakan kuat yang akan dihasilkan. Yang mengubah hajat hidup orang
banyak. Tanpa hadir motif ini, dan kemampuan itu, biarkan pemerintah
dijalankan oleh mereka yang lebih kompeten.”
Pernyataan
penutup tersebut menjadi pesan yang sangat kuat dan menonjol bagi siapa
pun yang ingin maju dalam arena kontestasi politik.
Bahwa
kekuasaan harus punya jejak makna. Kekuasaan yang diperjuangkan melalui
pemilu dan hasil dari kumpulan suara rakyat harus juga punya manfaat
yang bisa dirasakan oleh rakyat.
Hal esensial itu yang saat ini hilang. Sebut saja misalnya fenomena politik dinasti minus kompetensi menggurita luar biasa.
Pembangunan
daerah stagnan dan sumber daya alam makin terkuras luar biasa.
Izin-izin menjadi bancakan untuk menumpuk harta. Lalu, mereka yang ingin
berkuasa menganggap konsultan politik bisa melakukan apa pun cara-cara
marketing politik untuk memenangkan mereka.
Maka,
buku ini menjadi pencerahan penting bagi kita semua. Awam, praktisi
politik, pegiat pemilu, penyelenggara pemilu, dan akademisi.
Bahwa,
marketing politik bukan sekedar soal memenangi kuasa. Namun, bagaimana
10P menjadi cara untuk membuat kekuasaan menjadi punya makna. Bahwa
kekuasaan mesti memberi jejak cemerlang bagi kepemimpinan politik
seseorang, masyarakat, daerah, dan sejarah bernegara kita. ***
Sumber tulisan:
Buku Denny JA : MEMBANGUN LEGACY, 10 P Untuk Marketing Politik, Teori dan Praktek, bisa diunduh, dibaca, diprint di