Ringkasan Buku Denny JA: Spirit Baru Hak Asasi Manusia (Kumpulan Esai)



Ringkasan Buku Denny JA: Spirit Baru Hak Asasi Manusia (Kumpulan Esai)

SINERJI HAK ASASI DAN RELIGIUSITAS

Anick HT

Sahabat, ada yang menarik jika kita mendefinisikan tauhid sebagai ajaran inti Islam. Penyerahan secara total kepada Allah dengan sendirinya berimplikasi pada keharusan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Konsekwensi bertahuid adalah keharusan bersikap adil, egaliter, toleran, saling menghargai dan tidak memaksakan kebebasan orang lain, bersikap inklusif dan pluralis dalam beragama, bersikap kritis dan bebas untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan tidak fanatik ataupun sektarian.

Banyak pemikir Islam yang juga menarik garis lurus antara ketundukan kepada keesaan Allah dengan keniscayaan menghargai kemanusiaan sebagai konsekuensinya.


Dalam sintesanya melalui artikel-artikel dalam buku ini, Denny JA juga sedang membangun kerangka berpikir yang menurutnya adalah rajikan dari spirit gabungan hak asasi manusia dengan penghayatan terhadap kesadaran tauhid.

Bagi Denny, hak asasi manusia diperlukan sebagai syarat minimal ruang publik agar aneka keberagaman warga terakomodasi.

Namun untuk pencapaian puncak kebahagiaan warga, kita butuh lebih dari sekedar list hak asasi manusia.

Ketika kita mengikrarkan tak ada tuhan selain Allah, itu adalah negasi radikal. Tak boleh ada yang kita sembah dalam hidup ini. Tidak uang, tidak partai, tidak pemimpin, bahkan tidak juga negara. Yang disembah hanyalah yang tak terbayangkan: Allah.

Buku ini berisi 30 artikel yang ditulisnya dalam rentang waktu 3 tahun, dengan berbagai variasi tema dan dalam konteks yang berbeda-beda, namun mewakili beberapa konsennya: demokrasi, hak asasi manusia, dan spiritualitas.

Lima Intisari Buku

1. HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI COMMOND GROUND

2. SEJUMLAH PERTANYAAN TENTANG AGAMA DI ERA GOOGLE

3. KEINDONESIAAN VERSUS KEISLAMAN

4. TREN DUNIA MENUJU KEBERAGAMAN

5. MENUNGGU LAHIRNYA INDONESIA YANG KEENAM

***

SATU

Ada 4300  agama yang kini terdaftar di bumi yang dihuni 7 miliar manusia ini. Meski begitu, ada 1,1 miliar manusia yang mengaku non-religius (secular, agnostik, atheis). Semua keyakinan itu tentu saja tak bisa dipaksa harus tunduk pada keyakinan pemeluk lainnya.


Hak asasi manusia adalah prinsip di mana semua keyakinan dan interpretasi dibolehkan hidup. Yang dilarang hanya melakukan pemaksaan dan kekerasan.

Dalam prinsip moralitas Hak Asasi Manusia, siapapun tetap dibolehkan memperjuangkan keyakinannya: misalnya ia merindukan diterapkannya negara agama. Setiap individu boleh bermimpi dengan cita-cita sosialnya. Karena itu, hak asasi manusia bisa menjadi common ground hidup bersama di ruang publik.

Ada tiga alasan, mengapa prinsip Hak Asasi Manusia harus dipertimbangkan sebagai moral hidup bersama, termasuk kita di Indonesia.

Pertama, setiap individu ingin dihormati filsafat hidupnya, termasuk keyakinan agamanya dan interpretasinya atas agama.

Kedua, secara de facto, pengambil kebijakan negara modern tak lagi dituntun oleh ortodoksi agama. Mereka lebih digerakkan oleh perkembangan terbaru ilmu pengetahuan, akumulasi riset dalam membuat kebijakan.

Ketiga, prinsip hak asasi manusia juga membolehkan dissenting opinion dan menjadi “open society.” Segala hal bisa diubah sejauh berdasarkan argumen yang kuat reasoning-nya, dan diperjuangkan secara demokratis.

Individu tak boleh dihukum karena fantasinya.

DUA

12 Januari 2018 adalah hari bersejarah untuk Arab Saudi. Hari itu pertama kalinya perempuan diijinkan menonton sepak bola di stadiun. Kasus ini memunculkan banyak pertanyaan.

Apa yang abadi dan apa yang bisa berubah dari aturan agama? Ketika aturan itu melarang perempuan menonton bola di Stadion, lalu kini membolehkannya, ini aturan agamakah?

Ataukah ini hanya interpretasi saja dari agama? Atau ini hanya kultur lokal saja? Atau ini hanya aturan pemerintah yang tak ada hubungan dengan agama? Atau ini hanya cabang kecil dari aturan agama yang boleh berubah? Lalu apa inti dari agama yang tak boleh berubah?

Nabi Muhammad memang hanya satu. Kitab suci Quran memang hanya satu. Islam memang hanya satu. Namun ketika ia masuk dalam peradaban dan pikiran manusia, tak terhindari tercipta spektrum.


Melihat “Islam in action” di era Google atau yang lebih umum lagi, “agama in action,” kita segera menyadari dua hal paling pokok.

Pertama, tak bisa terhindari masalah agama adalah masalah interpretasi. Kedua, bagaimana pula memisahkan agama dengan kultur lokal setempat ketika sudah bercampur dalam praktek budaya yang panjang? Itu agamakah? Itu kulturkah? Itu gabungan keduanyakah? Itu bolehkah dari kaca mata doktrin agama?

Pertanyaan berikutnya, bagaimana sebaiknya pemerintah di era Google ini merespons beragamnya tafsir dan praktek agama? Haruskah pemerintah menyeragamkannya? Haruskah pemerintah memihak satu interpretasi dan melarang interpretasi lainnya?

Siapa pula yang merasa punya hak mengklaim tafsirnya paling benar? Bersediakah kita jika tafsir agama kita dilarang karena pemerintah harus memihak tafsir yang benar? Dari mana pula pemerintah tahu itu tafsir yang benar ketika para ulamapun tak satu suara?

TIGA

Bagaimana kita seharusnya membangun Indonesia modern? Ada kutipan menarik dari Marcus Garvey: membangun sistem pada sebuah bangsa, tapi tidak mengambil elemen terbaik kultur dominan bangsa itu, sama dengan menegakkan pohon tanpa akar.

Lalu apa yang bisa dicatat sebagai kultur dominan Indonesia? Sejak 2005 hingga 2017, LSI Denny JA sudah melakukan survei nasional. Dari survei itu, ada dua fakta kultural yang harus selalu dijadikan referensi.

Pertama, agama dalam batin publik Indonesia sangat mendalam. Pemahaman mereka atas ajaran agama mewarnai orientasi, pilihan dan pedoman perilaku. Hanya di bawah 20 persen dari rakyat Indonesia yang menyatakan (self-claim) agama tidak menjadi bagian penting aktivitas pribadi dan publiknya.


Kedua, Demokrasi Pancasila, apapun definisinya, dianggap lebih dari 70 persen rakyat Indonesia sebagaiplatform nasional Indonesia yang paling mereka pilih.

Walaupun mayoritas rakyat itu muslim, hanya dibawah 10 persen populasi Indonesia yang menginginkan negara Islam. Dan ternyata hanya di bawah 10 persen populasi Indonesia yang menginginkan demokrasi liberal seperti di dunia Barat.

Dari survei itu, Agama dan Demokrasi Pancasila menjadi kunci. Sistem apapun yang ingin kita jadikan platform nasional, harus dikemas sedemikian rupa bahwa sistem itu mengakar para interpretasi terbaik dari agama dan Demokrasi Pancasila.

Sebanyak 85 persen dari populasi Indonesia beragama Islam. Mayoritas rakyat harus justru diyakinkan platform nasional yang akan ditegakkan berangkat dari nilai terbaik Islam sendiri.

Karena itu, ini juga warning untuk pemimpin, politisi, aktivis, ulama, opinion makers, dan penentu kecenderungan. Jangan pernah menghadap-hadapkan antara keindonesiaan vesus keislaman, kebhinnekaan versus Islam, Pancasila versus Islam, demokrasi versus Islam.

Jangan pernah membuat publik luas seolah harus memilih antara Keindonesiaan atau Keislaman, Pancasila atau Islam, Kebhinnekaan atau Islam, Demokrasi atau Islam.

EMPAT

Apakah tren dunia kini semakin Pro-Keberagaman? Secara biologis, satu jenis ikan ribuan tahun lalu kini berevolusi menjadi ribuan jenis ikan. Secara budaya, satu jenis life style 300.000 tahun lalu ketika homo sapiens pertama hadir, kini menjadi ratusan jenis life style di era digital.

Kini keberagaman dalam life style memerlukan lingkungan yang nyaman bagi semua. Mereka menuntut hak politik yang sama, dan perlindungan hukum yang sederajat.

Sejak 2011, kita menyaksikan perubahan signifikan pemeritahan Arab Saudi atas perempuan di ruang publik. King Abdullah membolehkan perempuan untuk memilih, bahkan menjadi kandidat dalam pemilu.

Tahun 2015, untuk pertama kalinya 15 perempuan terpilih mengisi public office. Bandingkan dengan Inggris, yang pertama kali membolehkan perempuan di tahun 1911.

Amerika membolehkan perempuan untuk memilih juga di tahun 1920. Lalu pada September 2017 secara resmi sudah pula diumumkan untuk pertama kali perempuan dibolehkan mengendarai mobil tanpa perlu didampingi pelindung lelakinya.

Kasus lain, November 2017 Amerika juga mencatat sejarah. Setidaknya lima kandidat Transgender memenangkan pemilu, sejenis DPRD di Indonesia.

Indonesia juga mencatat sejarah. November 2017, untuk pertama kali, MK melalui judicial review membolehkan kolom agama di KTP diisi aliran kepercayaan. Selama ini kolom itu menjadi dilema bagi para penganut kepercayaan di Indonesia.

Di masa tertentu dan bagian dunia tertentu, pro keberagaman bisa dikalahkan. Tapi menganalisa tren jangka panjang dengan perspektif per-ratusan tahun, gerakan pro keberagaman akan terus semakin dan semakin kokoh.

LIMA

Membuka data sejarah, Indonesia ternyata telah lahir lima kali. Kita menunggu lahirnya Indonesia yang keenam.

Pertama kali Indonesia lahir di tahun 1850. Itulah era pertama kali kata Indonesia ditemukan. Adalah ilmuwan Inggris Geoge Samuel Windsor Earl. Bangsa yang hidup di pulau berserakan di wilayah geografi nusantara itu perlu ia beri nama dalam rangka tulisan ilmiah. Iapun memberi dua nama. Itu bangsa Indu-nesians, atau Melayunesians.

Kedua kali Indonesia lahir di era pergerakan, 1913-1928.  Untuk pertama kalinya kata Indonesia juga digunakan elite pribumi. Tercatat yang termasuk pertama menggunakannya adalah Ki Hajar Dewantara di tahun 1913. Ia menyebut Indonesia sebagai nama Biro Pers Indonesia (terjemahan dari bahasa Belanda: Indonesische Pers-bureau).

Moh Hatta di tahun 1922 mulai pula menggunakan kata Indonesia dalam organisasi Perhimpunan Indonesia. Dr Soetomo di tahun 1925 memakainya untuk Kelompok Studi Indonesia.

Ketiga kalinya, Indonesia lahir dalam momen kemerdekaan. Indonesia tak hanya identitas geografis (kelahiran pertama), tak hanya identitas politik (kelahiran kedua), tapi bersiap menjadi nama sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.

Keempat kalinya, Indonesia lahir sebagai negara yang diakui dunia international. Momen untuk itu dimulai tanggal 22 Maret 1946. Itulah momen pertama negara luar secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia. Yang pertama kali mengakui Indonesia adalah Mesir.

Kelima kalinya, Indonesia lahir kembali mengubah sistem politik ekonominya. Di bawah Habibie dimulai sistem politik diubah dari politik otoriter menjadi politik demokrasi. Kebebasan pers, partai, civil society dibuka.

Kini kita menunggu lahirnya Indonesia keenam kalinya. Belum kita tahu kapan momennya. Tapi kita bisa bersepakat menetapkan kriterianya.

Kriteria pertama, saat itu Indonesia sudah dimasukkan dalam negara demokrasi yang matang. Kriteria kedua, saat itu, GDP per kapita Indonesia juga sudah mencapai di atas rata-rata dunia. Kriteria ketiga, saat itu kesenjangan ekonomi di Indonesia juga sudah membaik.

REFLEKSI

Apakah instrumen terpenting yang bisa mewakili apa yang disebut sebagai keindonesiaan atau kebangsaan, terutama yang bisa dijadikan dasar untuk menentukan arah tata kelola Indonesia?

Untuk memotretnya, tentu tidak bisa tidak, kita harus bertanya kepada seluruh stakeholder dan masyarakat yang tinggal di Indonesia. Instrumen terpenting inilah yang penting digunakan untuk dijadikan pijakan kultural maupun kecenderungan ideologis untuk membangun kerangka membangun Indonesia yang lebih maju, sekaligus lebih diterima oleh mayoritas publik.


Pertanyaan itulah yang dipotret oleh Denny JA dalam buku ini, lalu dirumuskan sintesa yang lebih workable untuk Indonesia. Dengan LSI-nya, Denny JA melakukan survei berkala yang hendak memotret instrumen itu. Hasilnya: agama, dan demokrasi Pancasila.

Dua instrumen inilah yang saat ini memperoleh dukungan mayoritas publik Indonesia. Variasi-variasi lain juga dianggap instrumen penting, namun hanya bagi sebagian kecil masyarakat Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana mensintesakan antara agama dan demokrasi Pancasila, yang bagi sebagian orang berketegangan, bahkan berlawanan secara diametral?

Inilah yang dicoba disintesakan oleh Denny JA. Spirit agama yang bagaimana yang bisa dijadikan sumber kebijakan? Bagaimana harus memosisikannya? Lalu demokrasi Pancasila yang seperti apa yang lebih sesuai dengan aspirasi dan ekspresi sosial-politik manusia beragama seperti Indonesia?

Lalu apakah demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang paling ideal diterapkan saat ini?

Itulah pertanyaan-pertanyaan provokatif yang seharusnya bukan hanya menghantui Denny JA, namun juga kita semua, untuk membuat sintesa-sintesa yang di satu sisi bergerak lebih maju secara peradaban, namun di sisi lain juga tinggi tingkat akseptabilitas publiknya.

Bertemunya peradaban barat dan Islam di Indonesia pada dasarnya mencari sintesa harmoni antara prinsip Hak Asasi Manusia dan religiusitas masyarakat.


Judul: Spirit Baru Hak Asasi Manusia: Pertemuan Barat dan Islam?
Tahun: Februari, 2018
Tebal: 255 halaman
Penulis: Denny JA
Penerbit: Jakarta, inspirasi.co


Buku Denny JA: Spirit Baru Hak Asasi Manusia_ Pertemuan Barat dan Islam-Kumpulan Esai, dapat dibaca, dicetak dan disebarkan melalui link:

https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/1402226369965461/

Subscribe to receive free email updates: