Azyumadi Azra: Muslim Indonesia Lebih Suka Partai Politik Sekuler

republika
BRNews.id - Cendekiawan Muslim Indonesia, Azyumardi Azra, mendukung pencalonan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) untuk mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian.
Menurutnya, kedua organisasi tersebut memiliki pengaruh penting dalam memainkan proses mediasi dan menjembatani seluruh lapisan masyarakat dengan pemerintah, serta  menjadi aktor penting dalam menciptakan dan menjaga perdamaian.



"Islam Indonesia, tidak diragukan lagi, adalah Islam wasathiyyah atau moderat, yang pada umumnya, Islam yang inklusif dan akomodatif dan Islam yang paling tidak di-Arabisasi," kata Azyumardi kepada  Republika.co.id, Sabtu (22/6).

Sejarawan yang dikenal melalui karyanya yang fenomenal, The Origin of Islamic Reformism di Asia Tenggara: Jejaring 'Ulama' Melayu-Indonesia dan Timur Tengah di abad ke-17 dan ke-18 itu, menjelaskan mengapa NU dan Muhammadiyah penting bagi Indonesia.

Menurutnya, kedua organisasi Islam tersebut telah memperkuat kohesi sosial setelah transisi demokrasi yang terjadi pada 1998. Ketika itu Indonesia sedang disapu gelombang demokrasi, dan kedua organisasi ini memainkan peranan penting untuk menjaga persatuan bangsa.

Dia mengatakan, Pancasila merupakan  ideologi negara yang adaptif dengan konsep Islam jalan tengah yang dipromosikan NU dan Muhammadiyah.

"Bagi umat Islam arus utama, Pancasila sudah cukup islami. Semua pilar Pancasila pada dasarnya sesuai dengan ajaran fundamental Islam," ujarnya.

Dia menambahkan, umat Islam Indonesia sebagian besar selalu memilih jalan tengah. Terlepas dari kenyataan bahwa 87 persen populasi penduduk Indonesia adalah Muslim, partai-partai Islam tidak pernah memenangkan Pemilihan Umum. "(Muslim Indonesia) lebih suka partai politik sekuler. Mereka percaya bahwa jalan tengah adalah yang terbaik untuk Indonesia," kata Azyumardi yang mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Dia berpendapat bahwa selama NU dan Muhammadiyah menegakkan jalan tengah dan Pancasila, kelompok-kelompok ekstremis tidak akan pernah menang. "NU dan Muhammadiyah terlalu besar untuk gagal," pungkasnya.

Dia menjelaskan,  dukungan pencalonan Muhammadiyah-NU dalam penghargaan Nobel Perdamaian juga datang dari banyak pihak, khususnya  dalam negeri. Mulai dari tokoh publik seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua DPR Bambang Soesatyo, Ketua MPR Zulkifli Hasan, dan beberapa tokoh penting lainnya.

Selain dukungan dari tokoh-tokoh penting lainnya, beberapa Lembaga Kementrian dan beberapa tokoh dari luar negeri juga turut mendukung upaya pencalonan tersebut. Salah satunya adalah mantan Presiden Timor Leste, Ramos Horta yang juga pernah mendapatkan Penghargaan Nobel Perdamaian pada 1996. (republika/alfa).

Subscribe to receive free email updates: