Pesona Adzan dan Sopan Santun Masjid-masjid di Makkah dan Madinah

Oleh: Helmi Hidayat 
Tak banyak masyarakat Indonesia tahu bahwa pemerintah Arab Saudi sesungguhnya melarang masjid-masjid di Tanah Suci mengumbar pengeras suara mereka kecuali untuk adzan. Masjid-masjid di Makkah dan Madinah tidak memperdengarkan ceramah atau kegiatan lain di luar shalat lewat pengeras suara yang bergaung ke mana-mana. Semua masjid di sana sangat sopan menghargai kemanusiaan sesuai akhlak Islam. Sebelum mengetahui mengapa pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan itu, mari dalami dulu pesona adzan dan energi langit yang terkandung di dalamnya.



Penulis (kanan) bersama seorang muadzin di makkah. (kemenag).
Datanglah ke kota suci Makkah dan Madinah lalu nikmati suara adzan yang dikumandangkan di seantero dua kota suci itu secara bersamaan. Setiap masjid nyaris mengumandangkan adzan di menit yang sama ketika waktu salat tiba. Suara muadzin di masjid-masjid itu bukan hanya lembut, enak didengar, tapi pengeras suara yang mereka gunakan pun sangat canggih. Karena itu, gema adzan di sana tak hanya memanjakan telinga, tapi juga membelai hati. Saya pernah menangis sambil berdiri di marmer Masjid Haram ketika adzan Magrib dikumandangkan, seolah berjuta-juta malaikat masuk dalam tubuh saya lalu merayap bersama darah.

Wajar ketika ada adzan dikumandangkan dengan suara indah, di mana pun itu, gemanya akan menghanyutkan. Itu adalah rekaman suara Langit yang diulang-ulang oleh suara manusia. Rekaman itu awalnya dibawa Jibril ke dalam mimpi para sahabat Rasulullah Muhammad SAW, lalu Nabi menjadikannya pertanda datangnya salat lima waktu. Suara adzan yang dijadikan pertanda waktu salat sama dengan suara lonceng yang dijadikan pertanda datangnya waktu beribadah bagi umat Kristiani di gereja, atau suara Shofar yang dijadikan pertanda tibanya waktu peribadatan buat umat Yahudi di sinagog-sinagog mereka.

Pendek kata, mendengarkan berbagai suara yang mengandung irama dan disepakati sebagai pertanda dimulainya peribadatan umat-umat beragama adalah lumrah. Itu berlangsung sejak ribuan tahun sebelum Islam datang. Semua penganut agama menggunakan pertanda sendiri-sendiri untuk memulai persembahan mereka pada Allah, Tuhan Maha Satu dan berkuasa penuh. Bahwa apakah penggunaan lonceng oleh umat Kristiani adalah wahyu dari Allah kepada Nabi Isa AS atau itu hanyalah kreasi umat Nasrani yang datang kemudian, itu bukan urusan saya. Bahwa apakah digunakannya Shofar oleh umat Yahudi adalah wahyu dari Allah kepada Nabi Musa AS, itu juga bukan urusan saya. Saya hanya yakin digunakannya adzan sebagai pertanda datangnya waktu shalat datang dari Allah.

Dari semua penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa suara yang mengandung irama, entah itu bunyi lonceng, suara tambur, nada shofar, juga lantunan azan, adalah pertanda musikal indah yang sesuai dengan afeksi manusia. Jauh sebelum para nabi Musa, Isa, dan Muhammad alaihimussalam berjalan di muka bumi dengan ajaran-ajaran langit mereka, Nabi Daud AS datang lebih awal dengan Zabur di tangannya penuh pesona.

Zabur bukan hanya berisi ajaran langit yang indah dan mempersatukan umat manusia di zamannya, tapi ia adalah irama dan musik itu sendiri. Ketika Daud beribadah, ketika ia mengangkat barang ke pundak untanya, ketika ia duduk bercengkerama dengan keluarga dan umatnya, Zabur dibacakan lalu bukan hanya anak manusia hanyut di dalamnya, tapi juga gunung-gunung, pohon-pohon, juga burung-burung di ujung awan. Dalam bahasa Ibrani, kata zabur dalam bahasa Arab memang dipersamakan dengan kata ‘’zimra’’ yang berarti "lagu dan musik."

Bukti bahwa Zabur adalah irama, lagu, dan musik itu sendiri diabadikan oleh Allah SWT dalam Quran surat Shad [38]: ayat 18 – 19:  ‘’Kami tundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi; (kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul, masing-masing amat taat kepada Allah.”


Dari cara Allah mengabadikan kisah Daud ini mestinya umat manusia menangkap pesan yang sangat dalam dari langit itu bahwa seperti Daud itulah mestinya umat manusia memperlakukan sekaligus memfungsikan suara-suara dan irama-irama dari langit. Zabur, juga sekarang adzan, mestinya sejak awal harus diperlakukan sebagai sarana untuk memanjakan telinga dan membelai hati umat manusia, bahkan binatang, pohon-pohon, juga gunung-gunung. Dari sinilah kita bisa paham mengapa pemerintah Saudi sangat ketat menyeleksi petugas muadzin, imam salat, juga pengurus masjid-masjid. Mereka digaji karena suara-suara mereka yang empuk dan memukau!

Demi menjaga pesona adzan dan kuatnya pesan-pesan langit agar setiap Muslim menghormati kemanusiaan lewat adzan itu, masjid-masjid di Makkah dan Madinah dilarang memperdengarkan dengan keras hal-hal lain di luar adzan. Tidak pernah, misalnya, masjid Bin Baaz di pusat kota Makkah memperdengarkan dengar sekeras-kerasnya ceramah seorang ustaz, apalgi jika dalam ceramahnya itu terdengar maki-makian kepada golongan lain. Masjid Al-Kuwaiti tak jauh dari masjid Bin Baaz juga tak pernah memperdengarkan ceramah majlis taklim kaum ibu, yang di dalamnya diumumkan juga acara arisan ibu-ibu. Masjid Mahbas Jin juga sama, tak pernah terdengar dari pengeras suara masjid itu anak kecil bersuara nyaring ke langit: ‘’Tes ...tes ...Satu ... dua .... wooooiiii .... !’’ lalu cekikikan di loud speaker!

Suasana di Madinah al-Munawwarah lebih menawan. Setiap waktu shalat tiba, adzan di Masjid Nabawi terdengar ke mana-mana, bersamaan dengan suara adzan di pasar-pasar sekitar masjid dalam radius 600 meter. Bersamaan dengan lantunan adzan di Masjid Nabawi, orang-orang dengan gamis putih berbondong-bondong keluar dari pasar dan hotel-hotel, lalu berbaris seperti pasukan terlatih menuju Masjid Nabawi. Lampu-lampu di pasar meredup lalu mati semua, lalu pasar ditinggalkan orang-orang. Hanya pemilik warung dan para pekerjanya tinggal di pasar dan salat di masjid-masjid yang ada di sana.

Apakah setelah salat terdengar zikir dan doa dibacakan oleh imam lewat pengeras suara keras-keras? Tidak. Semua masjid membiarkan setiap jemaah berzikir sendiri-sendiri, berasyik-masyuk dengan Tuhan mereka sendiri-sendiri. Setelah itu masjid menjadi senyap. Di Masjid Nabawi banyak halaqah-halaqah ilmu diadakan oleh banyak ustadz sambil menunggu salat berikutnya, tapi meraka sama sekali tidak menggunakan loud speaker.

Salah satu muadzin merangkap imam di  masjid Mahbas Jin adalah Muhammad Basyar. Suaranya empuk, bacaan Quran sangat bagus, tajwidnya benar, kepribadiannya juga bersahaja. Ketika saya tanya mengapa sebelum adzan subuh masjid yang dia urus sama sekali tidak memperdengarkan dengan toa di atap masjid lantunan ayat-ayat suci Al-Quran keras-keras mirip di Indonesia, Basyar hanya berkata: ‘’Laa ... laa ... (jangan ... jangan ...)’’ sambil mengangkat bahunya tinggi-tinggi. ‘’Itu tidak sesuai akhlak Islam!’’

Menurut dia, membaca Quran harus dilakukan karena isi kitab suci itu adalah firman-firman Allah. Tapi, tujuan dari membaca Quran itu sendiri harus ditangkap oleh setiap pembacanya bahwa dengan membaca kitab suci itu mereka jadi lebih meresapi dan menaati ajaran Islam yang berpihak pada kemanusiaan. Semua penduduk Makkah memang beragama Islam dan karena itu tampaknya lazim belaka jika ayat-ayat suci Al-Quran diperdengarkan kapan pun dan dengan suara keras sekalipun. Toh mereka beragama Islam semua. Tapi harap ingat, di antara penduduk Makkah juga Madinah itu pasti ada orang sakit di rumah-rumah penduduk atau dirawat di rumah sakit yang mungkin sedang terlelap tidur untuk penyembuhan. Banyak juga bayi-bayi baru tidur atau anak-anak kecil sedang terlelap.

‘’Kita harus memperlakukan Al-Quran dengan akhlak baik karena isi kitab suci ini sebenarnya tentang akhlak yang baik. Apakah kita sudah berakhlak baik jika apa yang kita lakukan justru mengganggu orang lain, mengganggu kemanusiaan (basyariah),’’ kata Muhammad Basyar.

‘’Anda sebagai imam sangat menghargai kemanusiaan. Apakah karena itu orangtua Anda dulu menamakan Anda Muhammad Basyar” tanya saya dengan nada bercanda.


Muhammad Basyar – ya artinya adalah Muhammad Kemanusiaan – hanya tertawa lebar mendengar canda saya.

Dia tidak tahu, pemerintah Orde Baru di bawah kekuasaan mantan Presiden Soeharto lebih fleksibel dan longgar ketimbang pemerintah Saudi yang menggajinya sebagai imam masjid. Di Tahun 1978–sekali lagi 1978 bukan 2008 apalagi 2018–Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Republik Indonesia secara nasional mengeluarkan edaran dengan nomor KEP/D/101/1978 bertanggal 17 Juli 1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Mushalla. Surat edaran ini ditandatangani oleh Dirjen Bimas Islam waktu itu, Drs. H. M. Kafrawi, MA. Lampirannya panjang, termuat di halaman 123 sampai 130.

Lampiran itu sendiri berisi tuntunan bagaimana sebaiknya bangsa Indonesia yang terkenal santun dan ramah menggunakan pengeras suara di masjid-masjid, langgar-langgar, dan mushalla-mushalla di seluruh Indonesia. Semuanya termuat di halaman 127 – 130. Adakah dalam lampiran itu satu saja klausul yang menegaskan adzan dilarang di Indonesia. Dari Tanah Suci Makkah saya bersumpah ‘’saya sama sekali tidak mendapati larangan dikumandangkannya adzan dalam tuntunan itu.’’

Bahkan, lebih longgar ketimbang pemerintah di Saudi, pemerintah Indonesia di era Orde Baru sampai pemerintah sekarang malah menganjurkan agar setiap hari 15 menit sebelum subuh dan setiap Jumat sebelum adzan Jumat, pengurus masjid sebaiknya memperdengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran lewat pengeras suara ke luar untuk membangunkan umat Islam shalat subuh. Selebihnya, setiap hari lima menit sebelum adzan zuhur, ashar, magrib dan isya, pengurus masjid, langgar dan mushalla sebaiknya memperdengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dengan pengeras suara ke luar. Di luar itu, ceramah, zikir, pengumuman, dan lain-lain di luar urusan adzan dan salat hendaknya digunakan loud speaker yang diarahkan ke dalam masjid.

Mari bersyukur, Indonesia ternyata lebih fleksibel ketimbang Saudi meski di Indonesia tak hanya umat Islam tinggal di sana, tapi juga umat-umat lain dari agama berbeda. Di Indonesia juga banyak orang sakit yang butuh tidur, banyak anak kecil yang susah tidur, dan banyak bayi yang sangat mungkin kaget lalu kejengker mendengar suara-suara cempreng dari toa-toa tua di masjid-masjid dan langgar-langgar. Tapi toh pemerintah malah menganjurkan adzan dikumandangkan.

Setelah kita bersyukur, saat ini jauh dari Indonesia saya ingin bertanya: jika pemerintah Indonesia sejak Orde Baru sampai sekarang tidak pernah melarang adzan dikumandangkan, mengapa banyak orang meributkan adzan? Orang jahat siapa yang kali pertama menyebarkan isu bahwa pemerintah saat ini melarang adzan?

Adzan adalah rekaman suara Tuhan yang menganjurkan penghormatan atas kemanusiaan. Menyebarkan fitnah keji berarti memicu permusuhan dan itu berarti melawan kemanusiaan!
sumber: kemenag.go.id
 

Subscribe to receive free email updates: