Salah Kaprah Bertanya “Mana Dalilnya?”
BRNews - Sering
ada yang bertanya: ini mana dalilnya? Di balik pertanyaan ini kerap
kali terjadi kesalahpahaman tentang dalil. Dengan merujuk pada kitab
Ushul al-Fiqh al-Islamiy karya Syekh Wahbah az-Zuhaili (jilid 1, halaman
417-419), mari kita kaji ulang
dimana letak salah pahamnya.
Para
ulama biasanya membahas masalah dalil ini dalam topik mashadir al-ahkam
(sumber-sumber hukum) atau al-adillah asy-syar’iyyah (dalil-dalil
syara’). Secara umum yang disebut sebagai dalil itu tidak hanya terbatas
pada al-Qur’an dan Hadits saja. Dengan demikian, Inilah kesalahan
pertama dibalik pertanyaan mana dalilnya, yaitu menganggap seolah dalil
itu hanya ayat al-Qur’an dan Hadits.
Syekh
Wahbah mengutip Hadits riwayat Sayidina Muaz bin Jabbal. Ketika Muaz
Radhiyallah ‘Anhu akan berangkat ke Yaman sebagai utusan Nabi, Nabi
bertanya kepada Muaz: “Hai Muaz, jika umat bertanya padamu tentang
sesuatu masalah, dalil apa yang engkau gunakan?”
Maka Muaz menjawab: “dengan al-Qur’an”
Nabi bertanya:”Jika tidak terdapat dalam al-Qur’an, bagaimana?”
Maka Muaz menjawab:”dengan sunnahmu”
Nabi bertanya:”Jika tak ada dalam sunnahku dan al-Qur’an?”
Maka Muaz menjawab: “dengan ijithadku”
Nabi menyetujui dan memuji jawaban ini.
Syekh
Wahbah juga menjelaskan bagaimana Sayidina Abu Bakar mencari petunjuk
di dalam al-Qur’an dan Hadits, tapi begitu tidak diperolehnya maka
beliau mengumpulkan para sahabat Nabi lainnya untuk bermusyawarah.
Kemudian beliau kumpulkan pendapat para sahabat dan lantas memutuskan
perkara berdasarkan hal tersebut. Metode ini juga dilakukan oleh
Sayidina Umar dan para sahabat lainnya.
Nah,
kesalahpahaman yang kedua adalah cepat-cepat menolak suatu perkara
hanya karena tidak terdapat di dalam al-Qur’an dan Hadits. Padahal para
sahabat utama seperti Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar akan mengajak
berdiskusi dulu dan bertukar pikiran. Di sinilah peranan ijtihad.
Kesalahan
ketiga adalah menolak menghukumi sesuatu perkara berdasarkan akal.
Seolah akal itu sesuatu yang tercela. Padahal sekian banyak ayat
al-Qur’an meminta kita untuk menggunakan akal pikiran.
Syekh Wahbah
az-Zuhaili menjelaskan ada pembagian dalil naqli dan dalil aqli. Contoh
dalil aqli yang sah digunakan untuk memutus perkara itu qiyas (analogi),
pertimbangan kemaslahatan, dan lainnya. Dalil naqli seperti al-Qur’an
dan Hadits tidak bisa dipahami kecuali melalui pertimbangan akal,
perenungan dan pandangan yang sahih.
Jadi,
keliru besar kalau serta-merta menolak penggunaan akal dalam urusan
dalil. Ambil contoh, penggunaan qiyas (analogi) jelas bertumpu pada
logika. Meski demikian qiyas juga harus bersandar pada petunjuk dalam
al-Qur’an atau Hadits karena kita tidak bisa melalukan analogi tanpa ada
pokok (ashal) perkaranya terlebih dahulu.
Artinya,
dalam kajian metodologi hukum Islam, peranan akal bukannya dilarang
digunakan, tapi justru diatur dan dibahas dengan jelas aturan mainnya.
Bukan sekadar akal-akalan, bukan pula untuk mengakali, tapi justru
digunakan sesuai kaidah yang telah digariskan para ulama.
Al-Qur’an,
Hadits, Ijma’ dan Qiyas adalah empat dalil yang disepakati
penggunaannya. Sedangkan dalil lainnya seperti mashalih mursalah,
istihsan, istishan, qaulus shahabi, ‘urf (adat), dan lainnya itu
diperdebatkan penggunaannya oleh para ulama.
Saya
hendak tambahkan bahwa selain dalil, ada juga namanya analisa terhadap
dalil. Dalam bahasa ushul al-fiqh, ini disebut sebagai istidlal.
Contohnya: ayat al-Qur’an memerintahkan kita untuk mengusap kepala saat
berwudhu (wamsahu bi ru’usikum). Timbul pertanyaan, berapa banyak yang
harus kita basuh. Apa semuanya? Atau sebagian saja?
Ayat
al-Qur’an tidak menjelaskan dengan pasti batasanya, maka para ulama
menganalisa dalil ini. Ditemukanlah huruf “bi” pada ayat tersebut. Ada
ulama yang menganalisa bahwa fungsi “bi” pada ayat di atas bermakna
sebagian (li tab’id). Ulama lain memberikan analisanya bahwa huruf “bi”
bergungsi lil iltishaq (keseluruhan).
Akibat
perbedaan analisa terhadap wajh istidlal maka kesimpulannya bisa
berbeda-beda meski dalilnya sama. Mazhab Syafi’i dan Hanafi mengatakan
cukup sebagian saja kepala yang dibasuh. Sedangkan Maliki dan Hanbali
mengatakan harus seluruhnya.
Nah,
kesalahan terakhir adalah seringkali dianggap kalau sudah ada dalilnya
maka kemudian tidak akan lagi ada perbedaan pendapat. Faktanya, para
ulama justru berbeda pendapat akibat menganalisa dalil tersebut.
Perbedaan pendapat bukan disebabkan ketiadaan dalil. Dalil ada, analisa
berbeda, kesimpulan pun bisa jadi berbeda-beda.
Ringkasnya, salah kaprah soal dalil itu karena gagal memahami bahwa:
1. Dalil itu tidak hanya al-Qur’an dan Hadits.
2. Kalau tidak terdapat petunjuk di dalam al-Qur’an dan Hadits, maka gunakan ijtihad
3. Akal itu juga diakui sebagai dalil. Namanya dalil aqli. Contohnya mayoritas ulama sepakat memakai Qiyas (analogi)
4.
Para ulama berbeda pendapat bukan karena tidak ada dalil tapi karena
berbeda menganalisa dalil, sehingga kesimpulannya pun bisa berbeda-beda.
Jadi,
sebelum kita bertanya, “mana dalilnya?”, pahami terlebih dahulu, paling
tidak, keempat point di atas. Biar gak salah kaprah. Wa Allahu a’lam bis shawab. (Nadirsyah Hosen).