Tak Hanya Indonesia, Ternyata Ada 20 Negara Melarang Hizbut Tahrir

FOTO: HIZBUT-TAHRIR.OR.ID
BRNews - Karena dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945, Pemerintah Indonesia resmi telah membubarkan Hizbut Tahir Indonesia (HTI) seiring dengan pencabutan status badan hukum ormas tersebut oleh Kementerian Hukum dan HAM.  Tetapi Indonesia ternyata bukan satu-satunya negara yang melarang aktivitas HT ini.

Sedikitnya, seperti dilansir bbc.com,  ada 20 negara di seluruh dunia yang melarang HT (Hizbut Tahrir) berkembang di negaranya lantaran beberapa alasan, mulai dari dianggap mengancam kedaulatan negara, keterlibatan dalam kudeta hingga keterlibatan dalam aksi terorisme.

Apakah Hizbut Tahir?
Hizbut Tahir, adalah Partai Pembebasan dalam Bahasa Arab, didirikan pada 1953 oleh Taqiuddin al-Nabhani, seorang hakim pengadilan di Palestina dan kini telah tersebar di 45 negara. Hizbut Tahir mengklaim gerakannya menitikberatkan perjuangan membangkitkan umat Islam di seluruh dunia dan bertujuan untuk menegakkan Kekalifahan Islam atau negara Islam.
Organisasi ini sangat aktif di beberapa negara barat, terutama Inggris, dan beberapa negara di Timur Tengah dan Asia Tengah.
Pendiri sekaligus Direktur Institute For Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam studinya 'Sisi Gelap Reformasi di Indonesia: Munculnya Kelompok Masyarakat Madani Intoleran' menyebut, pada masa-masa awal organisasi pada medio 1960an, kelompok ini menghasilkan serangkaian kudeta yang gagal di Yordania, Suriah dan Mesir.
Pada akhir 1970, penyebarannya diperluas ke Amerika, Inggris dan Australia. Cabang Indonesia sendiri didirikan melalui koneksi anggota cabang Australia.

Negara yang melarang Hizbut Tahrir
Kendati begitu, negara-negara Timur Tengah seperti Mesir, Yordania, Arab Saudi, Suriah, Libya, Turki telah malarang HT. Sementara Uni Emirat Arab (UEA), Lebanon dan Yaman masih melanggengkan keberadaaan kelompok tersebut.
Mesir membubarkan Hizbut Tahir pada tahun 1974 lantaran diduga terlibat upaya kudeta dan penculikan mantan atase Mesir. Di Suriah, organisasi ini dilarang lewat jalur ekstra-yudisial pada 1998.
Sementara Turki secara resmi melarang Hizbut Tahrir, namun masih tetap beroperasi hingga kini. Pada tahun 2009 polisi di Turki menahan sekitar 200 orang karena diduga menjadi anggota tersebut.
Di belahan dunia yang lain, Rusia dan Jerman juga melarang eksistensi organisasi. Di Rusia, Mahkamah Agung memasukkan Hizbut Tahrir dalam 15 organisasi teroris pada 200. Konsekuensinya, Hizbut Tahrir dilarang melakukan kegiatan apapun di Rusia.
Di tahun yang sama, Menteri Dalam Negeri Jerman, Otto Schilly, melarang seluruh aktivitas Hizbut Tahrir di Jerman lantaran dituduh menyebarkan propaganda kekerasan dan anti semit terhadap Yahudi. Pemerintah Jerman kemudian membekukan seluruh izin atas aset mereka, serta memidanakan mereka yang melanggar aturan tersebut.
Sementara di Inggris, upaya untuk membubarkan organisasi dilakukan oleh dua perdana menterinya, Tony Blair dan David Cameron, namun terus mengalami kegagalan.
Padahal, sebelum menjabat perdana menteri periode 2010 - 2016 dalam kampanyenya Cameron dengan tegas berjanji untuk membubarkan kelompok tersebut. Upaya ini urung dilakukan ketika menjabat lantaran saran dari pengamat hukum yang mengatakan apabila pemerintah membubarkan Hizbut Tahir, organisasi tersebut akan mengajukan banding dan pemerintah akan kalah.
Di Spanyol dan Prancis, Hizbut Tahir diawasi ketat karena dianggap ilegal.
Sebelum Indonesia, negara terakhir yang melarang eksistensi Hizbut Tahrir adalah Malaysia, dua tahun lalu. Pada 17 September 2015, Pemerintah negeri jiran menyatakan organisasi ini sebagai 'kelompok menyimpang' dan menegaskan siapa pun yang mengikuti gerakan pro-khilafah ini akan menghadapi hukum.
Organisasi Klandestin di Indonesia
Sejak pertengahan 1980an hingga reformasi, Hizbut Tahir Indonesia adalah organisasi klandestin. Baru pada tahun 2000 mereka menjadi organisasi terbuka dan berkembang pesat sejak itu, meski persyaratan keanggotaan yang ketat membuat mereka sebagai organisasi elit yang kurang dikenal masyarakat yang luas.
Sidney Jones menerangkan, jika FPI dan kelompok sejenisnya sering melanggar hukum -meski mereka tidak punya masalah dengan demokrasi. Sementara HTI, yang pada dasarnya antidemokrasi, justru sangat hati-hati dengan hukum.
"Mereka tidak menggunakan kekerasan, meskipun kadang-kadang mendukung orang lain yang melakukannya. Tujuannya bersifat revolusioner dan anti-demokrasi, dan salah satu cabang terbesar di dunia ada di Indonesia," sebut Sidney dalam makalahnya.
Pasca reformasi, HTI berada di balik gerakan yang mendukung sistem pemerintahan Islam khilafah menguat di kampus-kampus. Maka dari itu, pemerintah Indonesia mengumumkan niatnya untuk membubarkan HTI sejak Mei lalu. Organisasi ini dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta menciptakan benturan di Masyarakat.
Untuk memuluskan niatnya, pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan yang memuat memotong jalan mekanisme pembubaran ormas tanpa harus melalui proses pengadilan.

Mengapa kebanyakan negara-negara 'Islam'  melarang Hizbut Tahrir?
Menurut pengamat Timur Tengah dari Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), Smith Al Hadar, hal ini terjadi lantaran Hizbut Tahrir memperjuangkan khilafah, sementara khilafah tidak mungkin lagi didirikan di zaman sekarang, dimana nasionalisme negara-negara Arab sudah cukup kuat.
"Artinya satu khilafah memimpin dunia Islam seluruhnya kan hal yang utopis, tidak mungkin," ujar Smith kepada wartawan bbc Indonesia, Ayomi Amindoni.
Di negara-negara Arab, Smith menjelaskan, Hizbut Tahrir mendorong oposisi -baik partai maupun militer- untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sedang berkuasa, lalu berkolaborasi dengan Hizbut Tahrir untuk membentuk khilafat dimana organisasi tersebut menjadi ujung tombak dari pemerintahan baru ini.
"Kalau dibiarkan, ini mengganggu ritme masyarakat dimana Hizbut Tahrir itu ada. Jadi lebih baik dilarang sekalian karena kalau mereka mampu mereka bisa gunakan kekerasan di dalam membentuk pemerintahan. Ini yang kemudian menjadi alasan penting bagi pemerintahan di Arab untuk membubarkan HTI," jelas Smith.
Namun, ia tak memungkiri bahwa meski dilarang di negara-negara tersebut, pendukung Hizbut Tahrir masih menjalankan aktivitas secara diam-diam atau menyusup ke organisasi lain.
"Barangkali masih ada individu-individu yang masih bermimpi untuk mendirikan itu (khilafah islamiyah) tapi secara organisatoris, Hizbut Tahrir sudah tidak ada. Karena pembangun ideologi ini, al-Nabhani, sudah kehilangan pengikut di dunia islam, di Timur Tengah khususnya, karena tidak relevan. Kehilangan relevansinya dengan dunia Islam, atau dunia Arab pada saat ini," imbuhnya.
Sementara di Inggris, upaya pembubaran organisasi ini alot lantaran faktor ideologi yang mengakar dan dipegang teguhnya kebebasan berpendapat dan berorganisasi oleh pemerintah Inggris.
Smith menjelaskan, pasca penjagalan Khilafah Turki Utsmani oleh Mustafa Kemal Ataturk pada 1923.

Khilafah Islamiyah Sebuah Utopia
Ideologi khilafah ini justru menjamur di Asia Selatan, khususnya India dan Pakistan. Tokoh-tokoh ulana di anak benua India pada saat itu gerakan pembelaan terhadap pentingnya khilafat di dalam dunia islam. Ideologi ini yang kemudian dibawa oleh imigran asal Pakistan dan India yang jumlahnya banyak di Inggris.
"Jadi, orang-orang muslim di India yang kemudian berimigrasi ke Inggris, baik dari Pakistan maupun India, mereka bawa serta ideologi khilafah itu. Mungkin itu bukan sebuah ideologi untuk mengambil alih kekuasaan di Inggris, tapi adalah ide yang dibawa imigran Pakistan, India dan Banglades ini karena warga Asia Selatan (di Inggris) cukup besar," kata dia.
Selain itu, kegagalan yang dilakukan oleh Tony Blair dan David Cameron untuk membubarkan Hizbut Tahrir di negara tersebut karena pertimbangan politik, supaya tetap mendapat dukungan dari kalangan muslim di Inggris.
"Kemungkinan kedua adalah prinsip kebebasan berideologi di Inggris cukup dipegang teguh oleh pemerintahan Inggris sehingga pelarangannya ini akan menimbulkan pengertian bahwa ada pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi di negara seperti Inggris yang sudah begitu maju dan begitu tinggi toleransinya kepada kebebasan mendirikan organisasi dan ideologi apa pun sepanjang mereka tidak melakukan kekekrasan atau gerakan bawah tanah," cetus Smith.(bbc|mnm).

Subscribe to receive free email updates: