Demonstran Bayaran, Jokowi, Aktor Makar, dan Macetnya Dialog Kebangsaan

Donald Trump telah menuduh protes anti Trump sebagai profesional demonstran. Bayaran. Mungkin dia merujuk tweets @erictucker yang sedang viral  di Amerika, seorang penduduk biasa Austin, Texas., dengan tweets: "Anti-Trump protestors in Austin today are not as organic as they seem. Here are the busses they came in. #fakeprotests  #Trump2016  #Austin”. Sambil memuat foto-foto bus yang  membawa demonstran bayaran.

Presiden terpilih Amerika, Trump, pada 11 November, lalu memposting tweeternya:"Just had a very open and successful presidential election. Now professional protesters, incited by the media, are protesting. Very unfair!"
Eric Tucker sudah mengaku khilaf atas postingannya yang sembrono. Namun, tweets Presiden terpilih Trump sudah kadung menuduh.

Di negara super demokrasi liberal Amerika saja, yang tingkat pendidikan rakyatnya tertinggi se dunia, tuduhan demo bayaran,  faktanya sedang terjadi. Apalagi di Indonesia, yang hanya negara baru dalam berdemokrasi. Pasti situasi jadi lebih rumit.

Di Indonesia, pertama sekali keraguan demo Bela Islam II pada 411 sebagai aksi murni dilontarkan Jokowi dengan menuduh bahwa aksi tersebut ada aktor yang menunggangi. Di Amerika pro Trump menuduh George Soros terlibat membiayai aksi anti Trump. Di Jakarta, pro Jokowi, seperti Boni Hargens, yang bekerja pada sebuah institusi intelijen, menuduh SBY yang menunggangi. Lalu siapa yang menuduh demonstran bayaran? Berapa biaya per demonstran? Itulah Ahok, dia yang mengatakan bahwa demonstran 411 dibiayai rp. 500 ribu perorang.

Menuduh aksi 411 dibayar, apalagi cenderung  mengaitkan SBY sebagai bandarnya, memerlukan pertanggungjawaban yang besar. Rachmawati Soekarnoputri, yang menjadi salah satu tokoh dalam aksi 411 sudah menyatakan kepada publik bahwa dia akan menuntut Ahok atas kasus penistaan terhadap dirinya, karena menghina martabatnya yang melakukan aksi berdasarkan hati nurani. Farhat Umar, senior alumni IPB, yang dikenal sebagai ulama, juga menyatakan akan melaporkan Ahok ke polisi terkait hal yang sama. Berbagai pihak juga sudah melaporkan Ahok. Mereka semua tidak terima dengan fitnah Ahok sebagai "profesional demonstran". Semua ummat Islam massa aksi 411 yakin terpanggil karena Allah, Tuhannya.

Apa sebenarnya maksud Jokowi mengatakan ada aktor politik yang menunggangi? Apa maksud Ahok mengatakan pada media asing bahwa demonstran dibayar? Apa maksud Boni Hargens bahwa SBY yang menjadi aktor? Lalu mengapa berkembang lagi menjadi isu makar?

Analisa politik menunjukkan mereka berusaha untuk membelokkan arah tuntutan aksi massa ummat Islam, yang sejatinya bersifat moral, yakni menuntut Jokowi untuk tegas membela agama Islam, lalu digeser menjadi isu politik. Khususnya, di arahkan kepada SBY yang dianggap berambisi mendorong anaknya menjadi Gubernur DKI Jakarta 2017 dan berpotensi Capres RI 2019, saingan Jokowi.

Persoalannya adalah apa dampak hal tersebut bagi Jokowi sendiri?

Pertama, Jokowi termakan isu dari kalangannya sendiri yang membuatnya panik. Seolah olah ada rencana makar saat ini. Hal ini tampak ketika Jokowi melakukan "Safari Politik" yang terkesan "overdosis" ke ormas ormas Islam serta ke jajaran militer dan polisi pada tingkat  yang hirarkinya cukup rendah.

Di jajaran elit seputar Jokowi pun saling bantah soal ada tidaknya rencana makar ini. Membingungkan dan meresahkan secara nasional.

Kedua, terjadi kecurigaan Jokowi atas institusi intelijen dijajarannya. Dimulai dengan beredarnya isu kegagalan intelijen menampilkan data akurat dan presisi atas jumlah massa aksi 411, yang dikaitkan dengan isu adaktor politik serta aksi berbayar, mengakibatkan adanya bayangan "power game" pada kekuasaan yang sedang berlangsung.

Padahal data dan informasi soal ketidak puasan publik masih tetap dalam inti kasus Ahok, yang tidak gampang digeser keurusan perebutan kekuasaan.

Ketiga, muncul persepsi adanya  ketegangan antara Jokowi dengan Wapres Jusuf Kalla, yang terlihat oleh publik dengan dinegasikannya perundingan Jusuf Kalla dengan pimpinan demonstran 411 sore hari. Kenapa  demonstran mau berunding dengan JK, sebaliknya menolak berunding dengan Menkopolhukam yang ditunjuk Jokowi? Kenapa perundingan GNPF dengan JK "dianulir" dalam rapat kabinet terbatas dinihari paska 411 tersebut?

Ketiga hal di atas seharusnya tidak perlu terjadi jika Jokowi mempunyai lingkaran elit yang loyal dan cerdas membaca keadaan.

Saat ini, persoalan Ahok sebenarnya sudah cukup direspons baik oleh Jokowi. Jokowi sudah mendukung Kapolri mentersangkakan Ahok. Persoalannya adalah perasaan publik yang masih belum puas. Rakyat menilai bahwa tidak ditahannya Ahok merupakan bentuk perlindungan Jokowi pada Ahok, yang masih tersisa. Hal ini dibandingkan pada berbagai kasus sebelumnya, semua kasus penistaan agama, pelakunya ditahan.

Dalam demokrasi, tuntutan ummat Islam untuk memenjarakan Ahok mempunyai legitimasi yang kuat. Yang Jokowi sebenarnya dapat melihat tuntutan itu sebuah kewajaran.

Pada soal maraknya teriakan jarhon Bhinneka Tunggal Ika terlihat jelas betapa 'Dialog Kebangsaan' mengalami reduksi serius, bahkan terindikasi kuat telah macet. Ini tampak nyata ketika 'Kubu Pro Jokowi' melakukan aksi unjuk rasa pada tanggal 19 Novemebr dengan tema "menjaga keberagaman".

Bila ditelisik aksi 'Pro Jokowi itu menjadi cukup menarik. Pertama, kelompok ini tidak menunjukkan solidaritas atau empati sedikitpun dengan saudaranya sebangsa, ummat Islam, yang dinista Ahok.

Kedua, selain menampilkan simbol lokal, penampilan demonstran juga menggunakan simbol barat, yakni kostum Romawi. Padahal,  Bhinneka dalam pengertian lama bersumber dari spirit sumpah pemuda, 1928, yang menampilkan simbol-simbol suku bangsa asli Indonesia. Simbol Romawi tidak ada dahulu, sebab itu simbol penjajahan barat.

Celakanya, melalui aksi 19 November ini, sebuah pesan simbolik yang salah telah disampaikan bahwa karena pada hakekatnya, urusan penistaan agama oleh Ahok merupakan bagian kebhinnekaan Indonesia tanpa terkecuali. Selain itu, kebhinnekaan Indonesia itu sifatnya mendunia, bukan hanya untuk etnis pribumi.

Persoalannya adalah apakah pesan ini mengundang sebuah konvergensi antara gerakan 411 yang dianggap sangat Islami  versus kelompok yang menolak eksistensi massa aksi 411.

Nyatanya, aksi 19 November itu gagal mendorong sebuah dialog kebangsaan!

Lalu siapa yang akan mendorong dialog kebangsaan kita ke depan? Jika politik elite kita terlalu dinamis penuh intrik.

Menuduh makar pada kelompok yang sedang bertentangan merupakan sesuatu yang salah secara sosiologis. Ini adalah pertarungan peradaban yang butuh kesadaran elit untuk melihat "win win solution" bukan "zero sum game". Jika terlalu lama, maka rakyat kehilangan harapan.

Situasi Indonesia sekarang memang mirip dengan situasi Amerika saat ini. Demokrasi super liberal telah memecah  bangsa secara diametral. Namun bila dibandingkan dengan Jokowi, Donald Trump lebih cerdas dan arif serta tidak terjebak dengan menuduh para demonstran anti Trump berbuat makar. Padahal spanduk mereka di seluruh wilayah Amerika dengan memakai hastag #Not My Presiden.

Sebaliknya Jokowi mulai terjebak dengan menstigma para demonstran, yang dilindungi Universal Declaration of Human Rights , UUD'45 dan undnag-undang, sebagai pembuat makar. Ini akan memicu tuduhan baru pada Jokowi sebagai Presiden yang anti demokrasi.

Lalu siapakah sosok kelompok tengah yang netral dan mampu menjembatani dialog, jika presidenpun dianggap anti demokrasi?
Source: republika.coid

Subscribe to receive free email updates: