Uang untuk Organisasi Anti Islam AS Capai Rp 2,7 Triliun

MUSLIM AMERIKA
Dewan Kerja Sama Islam-Amerika (CAIR) mengungkap, besaran dana yang dikucurkan untuk organisasi mempromosikan anti-Islam. Jumlah dana tersebut hampir mencapai 206 juta dolar Amerika serikat atau sekitar Rp 2,7 triliun.
Anggaran tersebut, menurut CAIR dikucurkan dari 2008 sampai 2013. Dalam laporannya, Dewan yang bekerja sama dengan Pusat Gender dan Ras Universitas Berkeley, mereka juga mencatat 33 organisasi Islamofobia.
Secara total mereka meraih 205.838.077 juta dolar AS untuk promo kegiatan anti-Islam. Ke-33 organisasi itu di antaranya termasuk Abstraction Fund, Clarion Projects, David Horowitz Freedom Center, Middle East Forum, American Freedom Law Center and Center for Security Policy.

Laporan itu juga mencatat berbagai aturan anti-Islam di 10 negara bagian, mayoritas diajukan oleh Partai Republik. Pada 2015, laporan menemukan 78 insiden yang menargetkan Muslim. Jumlah itu meningkat dibandingkan pada 2013 berjumlah 22 kasus dan 2014 sebanyak 20 perkara.

Islamofobia di Amerika
Komisioner Hak Asasi Manusia (HAM) Organisasi Kerja sama Islam (OKI) Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan, Islamofobia di negara Paman Sam ini mengalami peningkatan pascaperistiwa 9/11. Target Islamofobia itu menyasar umat Islam, tak terkecuali Muslimah.
Insiden penyerangan Charlie Hebdo dan keberadan kelompok ekstremis Islam, turut menyumbang eskalasi diskriminasi di negara tersebut. Ini, antara lain, tampak jelas dari sikap yang ditunjukkan oleh bakal calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump, yang mendeskreditkan Islam.
Edukasi Namun, saat ini, menurut Siti, meski mengalami peningkatan, tetapi ada gejala Islamofobia mulai berkurang. Hal itu menyusul berbagai upaya edukasi oleh kelompok-kelompok Islam moderat yang ada di negara tersebut. Edukasi ini sering terganggu oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, sehingga sering memunculkan sentimen-sentimen anti- Islam.
"Diskriminasi yang dialami perempuan umumnya adalah kerudung atau jilbab yang masih dikaitkan dengan fanatisme dan bahkan terorime," ujar Siti kepada Republika saat ditemui dalam acara diskusi "Experiencing Islam in America: Woman"  yang digelar oleh Kedubes AS di Jakarta, Selasa (8/3).
Ia melanjutkan, untuk di area publik, diskriminasi sering kali muncul dalam bentuk pandangan yang tidak menyenangkan. Secara personal, masih ada Muslimah yang susah mencari pekerjaan karena berkerudung.
Namun demikian, di Amerika atau di Barat secara umum sudah ada lembaga pengaduan yang membantu mereka yang mengalami diskriminasi untuk memperkarakan secara hukum.
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menambahkan, diskriminasi yang dialami Muslimah AS hanya bersifat kasuistik. Namun, secara policy tidak demikian.
Konstitusi dan kebijakan Amerika sangat terbuka dengan keberadaan Muslimah di AS. "Jadi, secara hukum (diskriminasi) bukan tradisi AS. Namun, dalam praktik memang masih ada dilakukan oleh oknum tertentu," katanya.
Menurutnya, tindakan diskriminasi yang diterima oleh Muslimah di AS juga sangat dipengaruhi oleh pemberitaan yang terdapat di media. Baik media elektronik, film, media online, media sosial, dan lainnya.
Media sering kali tidak utuh dalam memberitakan, sehingga sering menimbulkan prasangka yang akhirnya akan menjadi perlakuan diskriminasi kepada kaum minoritas, dalam hal ini Muslimah AS.(republika)

Subscribe to receive free email updates: