JAKARTA ‘’MENCEKAM’’ Ulama Ke Mana?

Ilustras
Oleh : Bahar Maksum
Kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang melarang berkumpulnya masyarakat dalam satu titik, telah menjadikan banyak sentra-sentra bisnis tutup. Banyak pasar tutup, termasuk Pasar Induk Kramat Jati yang menjadi pusat bisnis berbagai jenis kebutuhan pokok dan terbesar di Asia Tenggara.

Ditammbah lagi dengan diliburkannya anak-anak sekolah, sejumlah perkantoran tutup. Bahkan sejumlah masjid tidak mengadakan Shalat Jumat dan shalat jamaah 5 (lima) waktu setiap hari. Jalan-jalannya pun lengang. Semuanya telah menjadikan Jakarta tercekam dan menakutkan.

Sebenarnya Pasar Induk Kramat Jati bukan tutup, tetapi tidak ada pedagang yang datang ke pasar itu. Sedangkan sejumlah pemasok barang, seperti sayur mayur, buah-buahan dari berbagai daerah masih banyak berdatangan. Tetapi, mereka tidak bisa berjualan, karena para pedagang yang menjadi pelanggan mereka tidak ada. Sehingga barang-barang itu menumpuk di pasar yang berlokasi di Kelurahan Kramat Jati, Jakarta Timur itu.

Keadaan itu tidak bisa dibiarkan terus berlarut. Pemerintah, khususnya Gubernur DKI Jakarta, tidak bisa membiarkan keadaan itu. Karena lambat atau cepat akan menjadikan Jakarta keos. Ini menyangkut masalah ekonomi rakyat. Bahkan, kasarnya ini masalah perut masyarakat menengah bawah yang sangat bergantung kepadan berbagai kegiatan pasar tadi. Karena, mereka hanya bisa dapat penghasilan untuk makan, dengan bekerja kasar di pasar-pasar atau di sentra-sentra ekonomi yang ada. Sekarang sentra-sentra ekonomi itu ditutup, berarti menutup penghasilan para pekerja kasar itu. Ini sangat mengerikan. Dari mana mereka akan makan?

Mungkin kebijakan Gubernur tersebut bisa dibenarkan dalam usaha mencegah merebaknya virus corona atau Covid 19 yang konon mematikan. Tetapi akibat sampingaan yang lebih parah menyangkut hajat hidup masyarakat banyak dari kelas menengah bawah yang jumlahnya sangat besar, yakni sekitar 83% dari seluruh penduduk Jakarta. Mereka disuruh duduk-duduk di rumah tanpa ada penghasilan untuk makan saja. Sementara Pemda DKI Jakarta, tidak memikirkan hal itu. Ini jelas, kebijakan yang tidak bijaksana.

Sedangkan pengusaha atau masayarakat kaya, sekarang seenaknya memborong US Dolar untuk menyelamatkan asetnya. Sehingga nilai tukar rupiah terhadap US Dolar mencapai sekitar Rp 16.000,-/USD. Ini mengingatkan kita pada krisis moneter saat terjadi krisis politik 1998 hingga tumbangnya penguasa Orde Baru pimpinan Jenderal Besar Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun menggenggam Rakyat dan Negara kita secara otoriter didukung oleh ABRI dan Aparat Birokrasi serta kacung-kacungnya.

Kalangan pengusaha pun, banyak yang melakukan tindakan CAPITAL FLIGHT. Merekan ingin menyelematkan kekayaannya menghadapi kemungkinan Indonesia menghadapi krisis ekonomi dan politik, sehingga buru-buru memindahkan asetnya ke negara lain. Itu bisa dilakukan dengan mudah. Beda sekali kalau ada investasi mau masuk ke Indonesia sulitnya bukan main, bahkan dipersulit sedemikian rupa, hanya demi minta bagian dari investasi itu untuk kekayaan pribadi sang aparat penguasa. Sangat ironis....

ULAMA KE MANA?

Kebijakan tersebut di atas, sepertinya akan diterapkan secara nasional, tetapi pemerintah pusat sangat berhati-hati. Karena dampaknya memang sangat mengerikan. Berkaca dari kebijakan Gubernur DKI itu, ternyata diikuti dengan pengerahan aparat Pemda, terutama Satpol PP serta pejabat stuktural Pemda seperti Camat dan Lurah, bahkan RT dan RW se DKI dikerahkan untuk mengawasi kegiatan masyarakat yang akan mengadakan kumpul-kumpul untuk kepentingan apa pun. Mereka akan dibubarkan oleh para aparat tersebut.

Pada sisi lain, Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia dengan jumlah mencapai sekitar 87% dari seluruh penduduk Indonesia sekitar 267 juta jiwa, seakan tidak berkutik menghadapi kebijakan tersebut. KE MANA PARA ULAMA DAN HABAIB SEBAGAI PEMIMPIN UMAT ISLAM?

Saya mempertanyakan hal itu, karena Rasulullah Muhammad shallallahu alahi wa salam sebagai panutan umat Islam semuanya, memberikan tuntunan, bahwa ketika kita menghadapi wabah penyakit menular yang sangat membahayakan seperti Covid 19, kita harus kembali kepada Allah Yang Maha Kuasa yang juga ‘’menciptakan’’ penyakit itu.

Rasulullah menghadapi keadaan itu dengan berdoa yang cukup populer, yakni membaca QUNUT NAZILAH setiap shalat wajib 5 (lima) waktu. Kita bisa mengadakan Doa ISTIGHOSAH bersama secara besar-besar, kalau perlu di lapangan terbuka, bukan hanya di masjid-masjid atau mushalla.
Mestinya Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Ormas Islam terbesar di negara kita mempelopori kegiatan ini. Demikian juga Muhammadiyah, PERSIS, Al Irsyad, Perti, Nahdlaul Wathon, FPI atau Ormas Islam lainnya, termasuk PA 212 menyelenggarakannya secara besar-besaran, bukan hanya untuk kegiatan politik dukung mendukung calon gubernur atau presiden.

Penegasan ini bukan berarti melawan kebijakan pemerintah, walau faktanya kebijakan itu, hasilnya belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Kita punya Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu yang ada di dunia dan diakhirat nanti. Dialah sang Pencipta semuanya.

Sekarang kita tidak berdaya menghadapi Covid 19. Saatnya kita kembalikan semuanya kepada Allah yang juga menciptakan Covid 19 itu. Caranya, AYO KITA BACA DOA QUNUT NAZILA DAN ISTIGHOSAH SECARA BESAR-BESARAN DAN MASSIF. KITA MOHON KEPADA ALLAH SEMOGA VIRRUS COVID 19 INI SEGERA DILENYAPKAN DI MUKA BUMI, KHUSUSNYA DI NEGARA KITA TERCINTA.

Semoga bermanfaat dan langkah kita mendapat ridlo Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Amin amin ya rabbal alamin. Wallahu a’lam bis sawab.
Penulis adalah wartawan tinggal di Jakarta. 25 Maret 2020

Subscribe to receive free email updates: