"Tajir" Tawarkan Pembekalan Usaha Berbasis Syariah Bagi Muslimin yang Telah Hijrah


Co-Founder Tajir sekaligus Ketua Komite Tetap Bidang Keuangan Kadin DKI Jakarta, Tito Maulana (tengah) pada konferensi pers Tajir di Masjid Agung Al-Azhar Jakarta, Ahad (19/1/2020). (Mentari Dwi Gayati)
Kaum muslimin yang sudah melakukan hijrah seringkali merasa kebingungan setelah keluar dari pekerjaan mereka karena tidak memenuhi kaidah Islam atau ekonomi syariah, seperti riba.

Di sisi lain, ada beberapa hal yang ingin dilakukan oleh para muslimin hijrah, yakni bagaimana menyucikan harta yang selama ini dimiliki. Kedua, memiliki pondasi ekonomi untuk menghidupi keluarga mereka.

Melihat hal-hal seperti itu, Co-Founder Tajir sekaligus Ketua Komite Tetap Bidang Keuangan Kadin DKI Jakarta, Tito Maulana, mengenalkan platform "Tajir" sebagai ekosistem yang dapat mewadahi muslimin hijrah,  yang saat ini didominasi oleh kalangan milenial.
"Tajir", sebuah gerakan muamalah kolaboratif, menawarkan pembekalan dan permodalan, salah satunya dalam berusaha atau berdagang dengan prinsip ekonomi syariah kepada kaum muslimin yang telah maupun dalam proses berhijrah.

"Kami berupaya mengumpulkan teman-teman yang hijrah, mengembangkan usahanya, dari yang belum punya usaha, mengembangkan usaha ke yang lebih besar, dan setelah usahanya besar bisa diberi pembekalan ke teman-teman lain. 'Life-cycle' ini yang kita pertahankan," kata Tito pada acara Pengenalan Tajir di Masjid Agung Al-Azhar Jakarta, Ahad (19/1/2020).


Melalui Gerakan dan perkumpulan "Tajir" ini, para muslimin dapat bergabung untuk diberikan pembekalan sekaligus mengembangkan potensi ekonomi umat dengan berusaha.

Adapun nama Tajir dalam bahasa Arab, artinya berdagang. Oleh karenanya, dalam ekosistem ini terdapat sejumlah UKM yang telah bergabung. Hingga saat ini, terdapat 1.000 anggota yang telah mendaftar di situs resmi Tajir.co.id.
Tajir yang didirikan oleh PT Jalan Setelah Hijrah ini juga didukung oleh sejumlah perusahaan ternama di Indonesia, seperti Wardah dan BNI Syariah.


Menurut Tito, fenomena hijrah diprediksi akan tumbuh dan menyebar agresif, terutama di perkotaan. Gerakan hijrah juga disebut menjadi tren di kalangan Muslim perkotaan dengan didominasi oleh golongan milenial.

Di sisi lain, polemik sosial kerap dihadapi para pejuang hijrah, salah satunya pada sektor ekonomi. Sektor syariah juga tengah menggeliat hingga mancanegara.

Bank sentral di Filipina mengesahkan Undang-Undang Perbankan Islam yang baru pada Desember 2019.

Kebijakan tersebut disebut ekonom akan mengarah pada "gelombang keuangan dan perbankan" di Mindanao yang kurang pasokan pada 2020 dan membuka potensi penuh atas pembiayaan lslam dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Sementara itu, Singapura menjadi negara non-Muslim paling awal pengadopsi sistem ekonomi syariah. Di Indonesia, loyalis bank syariah mencapai 5 persen pada 2018. Angka ini meningkat dari kemunculan awalnya di 2003 yang hanya satu persen.

"Kami membaca fenomena hijrah, terutama di kalangan milenial sebagai sebuah tantangan sekaligus peluang untuk memperkuat ekonomi umat, pada sektor syariah," kata Tito. (antara/ulul).

Subscribe to receive free email updates: