Membaca Arah Politik Golkar

Oleh: Yorrys Raweyai
Kader Senior Partai GOLKAR

Terpilihnya Airlangga Hartarto sebagai pengganti Setya Novanto dalam Munaslub Partai GOLKAR 2017 silam memberikan harapan baru bagi partai beringin. Selain didukung oleh kekuasaan, Airlangga dipandang memiliki tingkat akseptabilitas di mata publik. Sebagai figur yang memegang jabatan Menteri Perindustrian, ia juga dikenal sebagai sosok cenderung jauh dari hiruk-pikuk masalah ataupun kasus yang selama ini mendera kepemimpinan Partai GOLKAR.


Hal itu dibuktikan dengan tingkat popularitas dan elektabilitas partai yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, hingga mencapai level 16 persen di awal masa kepemimpinannya. Belum lagi tagline “GOLKAR Bersih” sempat membius persepsi publik terhadap Partai GOLKAR.



Hanya saja, situasi itu tidaklah berlangsung lama. Janji-janji serta pernyataan politik yang diutarakan sebatas retorika. Dengan Janji Golkar Bersih, Airlangga bahkan menegaskan bahwa *Partai Golkar Bersih bukan hanya Slogan apalagi sekedar moralisme tanpa isi, tapi keniscayaan politik*. Hanya saja, pernyataan itu tidak cukup mampu diimplementasikan dalam masa kepemimpinannya.

Mereka yang disebut-sebut bersentuhan dengan berbagai kasus hukum justru tidak kunjung menuai sanksi apalagi perlakuan tegas dari DPP Partai Golkar. Bahkan sebagian dari mereka menampati tempat-tempat stratgeis dalam kepengurusan partai GOLKAR. Belum lagi agenda-agenda kepartaian yang nyaris sepi dari aktivitas.

Kitapun tidak bisa mengingkari hasil perolehan suara yang justru mengalami penurunan, melanjutkan tradisi masa lalunya. Lalu kemana janji-janji politik yang sempat digaungkan pada saat Airlangga dikukuhkan sebagai Ketua Umum DPP Partai GOLKAR? Sejauhmana respons publik terhadap kepemimpinannya yang mampu mengangkat perolehan suara dan mewujudkannya dalam perolehan peningkatan kursi di parlemen?

Memang persoalan arah politik bukan sekedar diemban oleh figur Ketua Umum. Dengan kata lain, persoalan internal juga adalah persoalan sistem yang selama ini terbangun tanpa evaluasi. Tapi, menolak evaluasi dan mempersonalisasi persoalan kepartaian juga ditunjukkan secara nyata oleh kepengurusan Partai GOLKAR saat ini. Sistem yang terbangun saat ini tidak mendukung arah Partai GOLKAR yang lebih baik.

Sebaliknya, cenderung melanjutkan tradisi-tradisi yang seharusnya tidak lagi dipraktikkan di tengah tuntutan dan dinamika politik yang semakin berkembang.

Dengan demikian, Membaca Arah Partai GOLKAR saat ini tidak pernah lepas dari karakter dan figur kepemimpinan. Meski kehendak untuk berubah adalah sebuah keniscayaan, tanpa dukungan kepemimpinan yang mumpuni dan struktur kepengurusan yang mampu membawa ke arah lebih baik, maka cita-cita perubahan hanyalah retorika.

Karena itu, Arah Partai GOLKAR di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto tidak bisa dipandang lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Beban-beban masa lalu masih melekat dan belum sepenuhnya disingkirkan. Sulit untuk menyebutkan bahwa kondisi Partai GOLKAR saat ini telah berubah.

Boleh jadi, Airlangga masih tidak cukup berani untuk melakukan terobosan baru di tengah himpitan dan tekanan masa lalu. Karena itu, evaluasi kepemimpinan adalah sebuah keniscayaan. Dan, pemimpin-pemimpin alternatif harus diajukan demi kepentingan Partai GOLKAR ke arah yang lebih baik.

Subscribe to receive free email updates: