Ramai-Ramai Dukung China Atas Kebijaknnya di Uighur, Ada Apa..?

dok/ist
BRNews.id - Sebanyak 37 negara termasuk di dalamnya ada Arab Saudi dan Rusia,  menulis surat ke PBB mendukung kebijakan China di Xinjiang. Surat tersebut sejatinya  sangat bertolak belakang dengan kritik negara-negara Barat terhadap kamp penahanan minoritas Uighur.

China dituduh menahan dan mempersekusi jutaan masyarakat minoritas muslim Uighur di Xinjiang. Sebanyak 22 duta besar menandatangani surat ke Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB mengkritik kebijakan China tersebut.
Tapi surat terbaru dari 37 negara lainnya sangat bertentangan dengan surat sebelumnya. Mereka mendukung prestasi China yang luar biasa di bidang HAM.



"Berhadapan dengan tantangan besar terorisme dan ekstremisme, China mengambil serangkaian langkah kontra-terorisme dan deradikalisasi di Xinjiang, termasuk membentuk pusat pelatihan dan vokasi," tulis surat 37 negara itu, Selasa (16/7/2019).
Surat tersebut mengatakan China berhasil mengembalikan keamanan dan hak asasi fundamental semua etnis di Xinjiang, dengan menjaga keamanan mereka semua dari kelompok teror dan ekstremis. Surat itu menambahkan sejak tiga tahun terakhir tidak ada serangan teror di Xinjiang, rakyat China menikmati kebahagiaan, keamanan, dan pemenuhan hak dasar.
Selain Arab Saudi dan Rusia surat tersebut juga ditandatangani duta besar dari banyak negara Afrika. Korea Utara, Venezuela, Kuba, Belarusia, Myanmar, Filipina, Suriah, Pakistan, Oman, Kuwait, Qatar, Uni Emirate Arab, dan Bahrain.
Beijing membantah pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang. Sesi pertemuan selama tiga pekan di Dewan HAM, Duta Besar Cina Li Song mengatakan Cina sangat mengapresiasi dukungan yang diberikan negara-negara penandatangan surat itu.
Pengajar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Shofwan Al Banna Choiruzzad mengatakan surat 22 negara yang menegur China atas kebijakan mereka di Xinjiang sesuatu yang baru. Karena baru kali ini teguran ke China dilakukan secara kolektif tidak lagi individu per negara. 
Shofwan mengatakan ada beberapa penjelasan mengapa ada respons dari sekutu-sekutu China terhadap surat tersebut. Menurutnya, isu Xinjiang tidak bisa dilihat hitam-putih antara China melawan Barat.
"Ada beragam kompleksitas yang membuat negara-negara lain, termasuk negara-negara muslim yang sedang dekat dengan China itu tidak bersikap, seperti misalnya Turki atau Arab Saudi atau negara-negara Timur Tengah," kata Shofwan.
Menurutnya negara-negara tersebut memiliki alasan masing-masing untuk tidak mengencam China atas kebijakan mereka di Xinjiang. Ada yang berpendapat isu ini hanya bagian dari politik Barat. Selain itu juga mereka sendiri pelaku pelanggaran HAM.
"Seperti Arab Saudi misalnya, (Jamal) Khashoggi saja dipotong-potong di kantor konsulat, masa mereka bicara tentang penangkapan sewenang-wenang, jadi banyak alasan sikap yang tidak mendukung pernyataan 22 negara itu," katanya.
Shofwan mengatakan surat 37 negara yang merespons surat negara-negara Barat itu menunjukkan pengaruh China yang semakin besar dalam geopolitik global, termasuk di wilayah-wilayah yang secara tradisional di dominasi Barat.
Negara itu seperti Afrika yang selama ini menjadi halaman belakang Eropa. Lalu di Timur Tengah yang selama ini didominasi oleh Amerika Serikat. Shofwan mengatakan pada 2008, investasi China di Timur Tengah hanya 1 persen dari total investasi Negeri Tirai Bambu di luar negeri.



Kini, China memiliki konsorsium-konsorsium besar di Timur Tengah. Dilansir dari the Economist, proyek terbesar Timur Tengah saat ini menggunakan uang China. Konsorsium China ingin berinvestasi sekitar 10 miliar dolar AS untuk membangun zona industri seluas 1.000 hektare di Oman.
Selain zona industri dan pelabuhan di Oman, pabrik-pabrik di Aljazair, dan gedung pencakar langit di Mesir, tahun lalu China memberi pinjaman dan hibah ke negara-negara Arab sebesar 23 miliar dolar AS. Mereka juga menandatangani kontrak investasi dan kesepakatan konstruksi sebesar 28 miliar dolar AS di kawasan tersebut.
The Economist melaporkan dunia Arab sangat lapar dengan investasi. Pada 2008 Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi luar negeri langsung mereka jatuh sepertiganya dan jauh di belakang negara-negara pasar berkembang lainnya.
Seperti Mesir yang terkenal dengan industri katun, perusahaan tekstil dalam negeri mereka menurut the Economist hancur. Mesin-mesinya tidak diperbaharui selama beberapa dekade. Sampai akhirnya China masuk dan pada bulan Januari lalu menjanjikan investasi sebesar 121 juta dolar AS untuk membangun pabrik katun moderen di luar Kairo. Pemerintah Mesir berharap proyek itu dapat menambah 100 ribu lapangan pekerjaan.
Shofwan mengatakan China memiliki konsorsium bank China dan bank Arab yang himpun dana sebesar 3 miliar dolar AS. Dana tersebut digunakan untuk berbagai proyek di Timur Tengah. Pemerintah-pemerintah Timur Tengah, kata Shofwan, melihat kehadiran China sangat penting.
"Mereka selama ini mengandalkan minyak, tapi minyak itu tidak selamanya bisa diandalkan, harus dihitung habisnya kapan dan dalam rangka membangun ekonomi paska minyak mereka harus siap-siap dari sekarang salah satu yang bisa menunjang menjadi mitra maupun penyedia dana serta berbagai sumber daya lainnya ya China," kata Shofwan.
Ia menambahkan sekarang ini di Timur Tengah, China banyak berinvestasi di bidang infrasturktur, minyak dan gas, serta energi terbarukan. Sebab, menurut Shofwan negara-negara Timur Tengah pun sedang mencari sumber di luar minyak.
Sementara China menjadi salah satu negara yang paling maju di bidang energi terbarukan atau alternatif. Negara-negara Arab melihat hal itu sebagai peluang.
"Dengan konteks ini meributkan isu HAM China pertama manfaatnya tidak banyak, kedua justru mereka yang rugi," tambah Shofwan.
Shofwan mengatakan selain memperlihatkan pengaruh Negeri Tirai Bambu semakin dominan di tataran internasional tanggapan 37 negara yang mendukung China menunjukan prioritas negara-negara penandatangan surat dukungan itu. Terlihat mereka lebih memprioritaskan kepentingan nasional atau bisnis masing-masing dibandingkan kemanusiaan atau solidaritas dunia Islam.
Namun, yang pasti menunjukan China mulai mendominasi di kawasan yang sebelumnya dikuasai Barat. Shofwan mencontohkan pangkalan militer China di Djibouti yang dibuka pada Agustus 2017 lalu. Djibouti berada di Tanduk Afrika yang menjadi jalur penting untuk mengawasi lalu lintas minyak.
"Pangkalan militer pertama China di luar negeri itu ada Timur Tengah dan Afrika, Djibouti itu, ini menunjukan kehadiran China di dunia Islam, di Timur Tengah atau Arab yang semakin signifikan," kata Shofwan. (republika).

Subscribe to receive free email updates: