Aceh Observasi Pusat Karantina Haji Era Belanda di Pulau Rubiah

BRNews.id - Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh melakukan observasi ke tempat Karantina Jamaah Haji Nusantara yang terletak di Pulau Rubiah, Sabang, Ahad lalu (14/4/2019).


Bangunan yang menjadi catatan sejarah perhajian Indonesia tersebut dibangun tahun 1920 pada zaman kolonial Belanda. Saat itu, bangunan ini menjadi tempat persinggahan terakhir dari kapal jamaah haji yang hendak pergi ke atau pulang dari Mekkah.

Tampak  bangunan karantina haji tempo dulu itu sudah tidak terawat. Kondisi bangunannya memprihatinkan karena dipenuhi reruntuhan atap plafon. Bagian luarnya, dipenuhi ilalang setinggi pinggang orang dewasa, terkesan gedung tua itu dibiarkan begitu saja.

Di bagian depan, terdapat sumur tua, sebagai tempat penampungan air. Namun, kondisinya juga terbengkalai begitu saja, dipenuhi sampah pepohonan di dalamnya.

Salah seorang narasumber, Teuku Yahya yang merupakan keturunan dari pemilik sebagian besar tanah di Pulau Rubiah, menceritakan bahwa gedung karantina haji itu digunakan sampai Jepang masuk ke Indonesia. Saat Indonesia merdeka, Gedung Karantina Haji ini tidak digunakan lagi. Pemberangkatan Jemaah haji dilakukan melalui asrama haji di Kampung Haji Kota Sabang sampai dengan tahun 70-an.


“Gedung ini merupakan Tempat Karantina Haji untuk seluruh jemaah haji yang akan berangkat ke Jeddah (Saudi Arabia) melalui  Transportasi Laut. Gedung Karantina Haji dibangun memadati lebih dari Setengah Pulau Rubiah, tersedia rumah sakit dan fasilitas “loundry” juga tersedia dalam Gedung tersebut. Proses pemberangkatan jemaah haji, setelah masuk karantina lebih kurang 1 sampai 2 bulan sebelum keberangkatan, dan kegiatan yang dilakukan dalam masa-masa karantina antara lain, manasik haji dan pemeriksaan kesehatan,” ujar Tgk. Yahya.


Menurut Yahya, banyak juga kapal-kapal kecil dari Pulau Jawa dan daerah lainnya yang mengantarkan jemaah haji ke gedung karantina haji ini, sebelum kapal besar dari Jeddah menjemput jemaah haji.

“Kapal besar tersebut tidak berlabuh di Pulau Rubiah, sehingga jemaah setelah lolos pemeriksaan akan dibawa ke Kapal Besar tersebut dengan menggunakan kapal-kapal kecil. Pada masa pemulangan, jemaah juga harus dikarantina kembali selama lebih kurang 1 bulan, meskipun jemaah tersebut berasal dari Iboih (Sabang), sebelah Pulau Rubiah, tidak diperbolehkan pulang. Setelah melakukan pemeriksaan kesehatan dan seluruh baju jemaah dicuci pada “loundry”, baru Jemaah diperbolehkan dijemput untuk pulang kembali ke daerah masing-masing,” cerita Tgk. Yahya.

Kabag TU Kanwil Kemenag Aceh, Saifuddin, yang datang bersama Kasubbag Inmas dan Kasi Informasi Haji Kanwil Kemenag Aceh mengaku prihatin. Dia berharap tempat tersebut mendapat perhatian Pemerintah Daerah sehingga bisa dijadikan sebagai situs sejarah. Jika memungkinkan, dibangun museum haji sebagai pusat edukasi di masa mendatang.

Pusat Karantina Haji era Belanda di P. Rubiah (foto foto kemenag).

“Tempat Karantina haji di Pulau Rubiah ini meiliki catatan sejarah dalam riwayat perjalanan haji Indonesia. Dulu, tempat ini merupakan pusat karantina haji pertama di Indonesia. Akan lebih bermanfaat kalau asrama haji ini bisa dijadikan situs sejarah dan museum haji, yang menyimpan banyak koleksi arsip, foto-foto haji, buku, catatan perjalanan haji, replika kapal ke Jeddah dan pemugaran serta perawatan bangunan lebih layak. Karena selain tempat bersejarah, bangunan tersebut juga cocok dijadikan tempat wisata Islami,” lanjut Saifuddin.

Saat ini, kondisi bangunan itu sudah tidak terawat, hanya tersisa beberapa bangunan saja yang sudah dikelilingi semak blukar, sehinga banyak yang tidak tahu akan sejarah tersebut.

“Sekarang Wisatawan lebih menyukai mengamati aneka ikan dengan melakukan snorkling atau menikmati taman laut dengan menyelam (diving),” lanjut Saifuddin. (kemenag/azka).

Subscribe to receive free email updates: