Dirjen Nizar Sampaikan Empat Poin untuk Penyempurnaan Penyelenggaraan Haji
foto kemenag diy |
BRNews.id - Dalam rangka menyesuaikan kondisi
perubahan-perubahan perhajian sejak tahun 2008 dan kondisi sosial
masyarakat Indonesia yang ingin menunaikan ibadah haji, saat ini
Pemerintah bersama DPR RI sedang menyusun Undang-Undang Baru tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah sebagai pengganti UU No. 13 Tahun
2008.
Hal ini disampaikan Dirjen PHU Nizar
didampingi Kabag Organisasi, Kepegawaian, dan Hukum M. Ichsan Fahmy saat
menutup kegiatan Orientasi Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yang berlangsung Kamis malam (21/2/2019) di
Hotel Grand Inna Malioboro Yogyakarta.
Dalam keterangan tertulisnya, Nizar
mengemukakan Peraturan Perundangan Penyelenggaraan Ibadah Haji Peraturan
Pemerintah yang meliputi Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2012
tentang Pelaksanaan UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji, Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2017 tentang BPKH, Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan UU No. 34 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
Lebih lanjut, Mantan Kepala Kanwil
Kemenag DIY memaparkan alasan mengapa perlu dilakukan penyempurnaan UU
Nomor 13 tahun 2008 terkait pengelolaan BPIH sehingga menjadi UU Nomor
34 tahun 2014. “Ada empat alasan yang mendasarinya,” tandasnya.
Pertama,
jumlah penduduk yang mendaftar untuk menunaikan ibadah haji terus
meningkat sedangkan kuota haji terbatas sehingga jumlah jemaah haji
tunggu meningkat. Kedua, peningkatan jumlah jemaah haji tunggu
mengakibatkan terjadinya penumpukan akumulasi dana haji. Ketiga,
akumulasi dana haji berpotensi ditingkatkan nilai manfaatnya guna
mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas melalui
pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan, akuntabel,
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keempat, untuk
menjamin pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan,
dan akuntabel memerlukan payung hukum yang kuat.
Selanjutnya, problematika
penyelenggaraan ibadah haji menjadi pembahasan tersendiri. Mengingat
begitu kompleksnya permasalahan haji. Bukan hanya terkait jumlah jamaah
haji yang dinilai sangat besar namun juga melibatkan lintas kementerian
dan mitra kerja baik di Indonesia maupun di Arab Saudi disamping
keterlibatan peran DPR RI. Terlebih, mengingat kegiatan ini berada di
Arab Saudi yang memiliki titik kritis yang tinggi.
“Selain itu sering
terjadi perbedaan kebijakan antara pemerintah Arab Saudi dengan
Pemerintah Indonesia yang seringkali tidak selaras dengan keinginan
jamaah, juga tidak hanya dimensi ibadah yang terlibat di dalamhya namun
mencakup dimensi sosial, kemanan, politik dan budaya,” tandasnya.
Terkait dengan penyelenggaraan ibadah
haji ke depan, perlu dilakukan empat hal. “Melakukan pengelolaan dana
haji secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel melalui BPKH,
melakukan penyewaan pemondokan jangka panjang di Makkah dengan jaminan
dan kepastian perolehan pemondokan haji yang standar, pembentukan jamaah
haji mandiri, serta dibutuhkan petugas haji yang profesional dan
berdedikatif melalui rekruitmen yang ketat dan terbuka,” pungkasnya.
Kegiatan ini diikuti oleh pejabat dan
pelaksana pada Ditjen PHU Pusat, Kanwil Kementerian Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Unit Pelaksana Teknis Embarkasi. Hadir saat penutupan
Sekretaris Dirjen PHU Ramadhan Harisman, Kabag Organisasi, Kepegawaian,
dan Hukum M. Ichsan Fahmy, Kepala Bidang PHU Kanwil Kementerian Agama
DIY Sigit Warsito serta jajaran pejabat dan staf pelaksana di Dirjen PHU
Kemenag Pusat. (azka/alfa).