Politik Hanya Sarana Mewujudkan Nilai-Nilai Kemanusiaan
BRNews.id - Banyak pihak mengkhawatirkan peningkatan potensi intoleransi,
diskriminasi, bahkan konflik kekerasan menjelang pemilihan presiden dan
pemilu legislatif 2019. Sejumlah lembaga riset menyuguhnya data-data
ini.
Misalnya saja riset Politik Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia
(LIPI) yang dirilis Agustus silam. Sebanyak 23,6 persen dari 145 ahli di
11 provinsi menyebut politisasi SARA dan identitas masih akan terjadi
di pemilu tahun depan. Sebanyak 12,3 persen menilai ancaman konflik
horizontal antar pendukung pasangan calon.
Situasi
yang tampak tegang juga muncul dalam percakapan antarpara pendukung
calon, khususnya calon presiden mendatang, di media sosial. Sebagiannya
bahkan melakukan praktik ujaran kebencian (hatespeech).
“Situasi ini
jelas mengkhawatirkan. Kita harus memberi pesan tegas kepada para calon
presiden, calon legilatif, dan masyarakat luas bahwa politik bukan
tujuan melainkan sarana dalam menegakan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Bukan sebaliknya. Inilah pesan pokok almarhum Gus Dur,” kata Ketua
Panitia Haul Gus Dur ke-9, Alissa Wahid, yang dilansir NU Online, Jumat (21/12).
Masyarakat
dan para politisi, tambah puteri sulung KH Abdurrahman Wahid ini,harus
diyakinkan jika penggunaan ketidaksukaan karena agama dan keyakinan
merupakan tren yang terus menanjak sejak tahun 2005. Diperlukan
usaha-usaha mengatasinya. Dalam pilkada Jakarta dan beberapa pilkada di
sejumlah provinsi, isu agama juga sering dipakai untuk menurunkan
elektabilitas calon tertentu.
Dalam situasi
seperti itu, Haul Gus Dur ke-9 yang digelar Jumat (21/12) pukul 19.00
WIB selesai di Kediaman Almarhum Gus Dur di Jalan Warung Sila Ciganjur
Jakarta Selatan ini sengaja mengambil tema “Yang Lebih Penting dari
Politik adalah Kemanusiaan”.
Tema itu diambil
dari salah satu pernyataan Gus Dur semasa hidup. Sebagai tokoh agama dan
pejuang demokrasi, Gus Dur dikenal orang yang gigih memperjuangkan
nilai-nilai kemanusiaan dan menolak cara-cara kekerasan. Saat akan
dilengserkan sebagai Presiden pada 2001, putera mantan Menteri Agama KH
Wahid Hasyim ini melarang pendukungnya yang marah bergerak ke Jakarta.
“Tak ada jabatan setinggi apapun yang pantas dipertahankan dengan
darah," katanya suatu ketika. Tapi demi menegakan prinsip dan alasan
mengenai berdirinya negara, bentuk negara, “ngasi mati tak lakoni (hingga mati saya lakukan—red),” tegasnya.
Menurut
Alissa, haul ini juga hendak menyampaikan pesan penting mengenai agenda
strategis dan jangka panjang bangsa ini berupa transformasi nilai-nilai
kebaikan di antara persaingan antar nilai.
“Jika di sebagian masyarakat
lebih memilih nilai bahwa menonjolkan kelompok, aliran dan agamanya,
lalu abai pada kepentingan bersama, kita harus berjuang untuk mendorong
nilai bersama sebagai bangsa dan sesama manusia. Kita harus terus
berjuang agar nilai ini tetap menjadi arus umum masyarakat kita, bukan
sebaliknya,” tegasnya.