Opini: Fenomena Da'i Lucu, Siapa Yang Skit?

Oleh: Sofyan Arsyad

Pekan lalu, seorang sahabat di pinggiran kota Palu menelpon saya. “Tolong bantu carikan penceramah untuk acara maulid di masjid kami malam ini”. Koq mendadak,” tanya saya. Alasannya klasik. “Ustad yang sudah meng-oke-kan tiba-tiba membatalkan dengan dalih kedukaan” Request seperti ini lumrah bagi saya.

Sebagai ta’mir masjid dan abnaulkhairaat, kebetulan saya dikenal cukup dekat dengan sejumlah da’i di kota ini. Cuma repotnya, belakangan ini selalu saja terselip embel-embel dibalik pesanan da’i.


“Warga disini maunya penceramah yang bisa melucu,” katanya dari balik telpon. Wah.., kalau begitu saya menyerah. Sehari kemudian saya menerima kabar, malam itu dua penceramah hadir bersamaan gara-gara miskomunikasi.
ENTAH kapan bermula. Yang pasti, saat musim perayaan hari besar Islam, para da’i humoris kebanjiran job. Mereka biasanya menyampaikan joke, cerita lucu, atau humor dalam ceramahnya. Namun kerap selera humor mereka terbilang rendah (kurang cerdas). Jika tidak, dosis lucunya justru lebih besar dari topik yang menjadi substansi ceramah. Repotnya, umat kita dan terlebih lagi ibu-ibu jamaah pengajian, cenderung memilih mereka. Dai tipikal ini menjadi favorit karena lucunya, bukan karena kualitas materi ceramah atau kapasitas sang da’i.
Lalu pertanyaannya, siapa yang sakit? Umat Islam yang menjadi objek dakwah atau sang da’i? Bertolak dari fenomena tersebut, wajar jika muncul wacana agar MUI melakukan seleksi dan sertifikasi da’i.
Saat ini, terkesan orang mudah beralih profesi menjadi da’i, meski tak memiliki pengetahuan agama memadai.
Konon, di kota Palu seorang teknisi music electon kini lebih dikenal sebagai da’i yang laris-manis karena kepiawaiannya melucu. Padahal, modal utama da’i bukan itu. Seseorang yang berdakwah tanpa ilmu, sangat berbahaya. Karena apa yang ia rusak lebih banyak dari apa yang ia perbaiki. Para ahli bijak berkata “Yang tidak memiliki sesuatu tidak akan bisa memberikan sesuatu”. Apa jadinya umat kita jika guru agamanya tidak memahami asbab nuzul ayat, sabab wurud hadis, ushul fikih, dan tarikh tasyri’? Dikhawatirkan mereka justru akan melahirkan jamaah dan umat yang hitam-putih. Kalau bukan halal berarti haram.
Memang, panggung dakwah harus mengasyikkan. Jangan terlalu serius. Namun, humor dalam dakwah tak lebih dari selingan. Ia bagaikan bumbu dalam masakan. Di kota Palu, kita pasti mengenal Ust. Zainal Abidin. Rektor IAIN Palu ini bukan saja paham harus membahas APA di depan SIAPA. Dia juga bisa menakar dosis humor-humor cerdas dalam setiap ceramahnya. Dan style seperti itu sudah dilakoninya sejak dulu. Ketika belum menyandang gelar sarjana.
Di era kini, umat sebenarnya butuh dakwah yang efektif dan komunikatif. Bukan dakwah yang sekedar melucu. Karena itu wilayah pelawak. Dakwah yang kita dambakan adalah menyajikan apa dibutuhkan atau ingin didengarkan jamaah. Bukan dakwah yang hanya menyampaikan apa yang ingin disampaikan oleh da’i.
Syaikh Muhammad bin Hady Al-Madkhaly berpesan: “Seorang Da’i wajib memahami dan mengetahui apa yang ia dakwahi, dan mengetahui keadaan orang yang ia dakwahi . Artinya, komunikatif atau tidaknya dakwah diukur dari tema. Apakah sesuai atau tidak dengan kondisi pendengarnya. Apakah bersinggungan dengan masalah sehari-hari pendengarnya atau tidak. Karena tantangan dakwah ke depan adalah bagaimana kita kembali menghadirkan Islam sebagai solusi masalah umat.
Di beberapa wilayah Sulawesi Tengah, perkelahian antar desa merupakan tantangan da’i dalam berdakwah. Melalui kemasan materi dakwahnya, kita berharap eksistensi da’i dapat memupus konflik antar warga yang seagama.
Jika diamati, salah satu pemicu konflik adalah karena warga/umat Islam sudah terjangkiti “penyakit 5 M”, yakni (1) Mudah percaya (2) Mudah Meniru (3) Mudah Terprovokasi (4) Mudah Ditunggangi (5) Mudah Dimanfaatkan. Ketidaksesuaian antara tema ceramah dengan kebutuhan jamaah, seringkali kita rasakan ketika khutbah Jumat digelar. Bila tidak ngantuk, jamaah terlihat sibuk bercerita.
Dalam sebuah anekdot, da’i model ini, di akhirat kelak dihadiahi kamar kecil yang kondisinya lebih jelek dibanding kamar sopir metromini. Alkisah, di pintu akhirat malaikat bertanya kepada seorang sopir metromini, “Apa kerjamu selama di dunia?” “Saya sopir metromini, pak,” jawabnya.


Lalu malaikat itu memberikan kamar yang mewah, lengkap dengan para pelayannya. Kemudian datang seorang juru dakwah, dan menerima pertanyaan yang sama. “Saya juru dakwah, pak!” jawabnya. Lalu malaikat memberikan kamar yang kecil yang jauh lebih sederhana. Si juru dakwah heran dan protes. “Kenapa saya mendapatkan fasilitas yang lebih rendah dari seorang sopir metromini?” Dengan tenang malaikat menjawab: “Begini pak. Ketika berceramah, cara bicara bapak membuat orang-orang ngantuk dan tertidur, sehingga melupakan Tuhan.
edangkan sopir metromini, ketika mengemudikan busnya ia ngebut, dan itu membuat orang-orang berdoa, ingat Tuhan!”.*
Penulis adalah Kepala Seksi Kepenghuluan dan Pemberdayaan KUA pada Kanwil Kemenag Prov. Sulawesi Tengah”

Subscribe to receive free email updates: