Sekilas Tokoh dan Ulama Tanah Betawi, KH. Abdullah Syafi'ie
08 April 2018
Asy-Syafi'iyah
,
Buya Hamka
,
KH. Abdullah Syafi'ie
,
Macan Betawi
,
Syekh Nawawi Al Bantani
,
Ulama Betawi
BRNews - KH.
Abdullah Syafi’ie Al-Batawi, lebih dikenal dengan nama Kiai Dulloh
adalah pendiri dan pengasuh pertama Perguruan As-Syafi’iyah di Jakarta.
Ia merupakan ayah dari Dra. Hj. Tuti Alawiyah, mantan Menteri Sosial dan
Menteri Peranan Wanita pada masa Orde Baru sekaligus yang menjadi
pengasuh Perguruan Asy-Syafi’iyah saat itu.
Orang
Jakarte, siapa yang tak kenal nama KH Abdullah Syafi'ie (alm) dan
Perguruan Assyafi’iyah. Sedangkan bagi penduduk Jakarta, setidaknya
mengenal nama ulama kharismatis ini sebagai nama jalan terusan
Casablanca-Tebet Jakarta Selatan. Selintas Macan Betawi KH Abdullah
Syafi’ie, yang populer sebagai ”Macan Betawi”. Lahir di Kampung Bali
Matraman, Jakarta Selatan pada 16 Sya’ban 1329 H./10 Agustus 1910 hari
Sabtu. Nama ayahnya H. Syafi’ie Bin Sairan dan ibundanya Nona Binti
Asy’ari.
Mempunyai dua
orang adik perempuan yang bernama H. Siti Rogayah dan H. Siti Aminah.
Kedua orangtuanya cinta kepada orang-orang alim dan soleh sehingga dari
sejak kecil sudah diarahkan untuk belajar ilmu agama. Sambil belajar,
menuntut ilmu terus mengajar. Pada umur 17 tahun sudah memperoleh surat
pemberian tahoe: boleh mengajar di langgar partikulir. Ketika berumur 23
tahun mulai membangun Masjid Al Barakah di Kampung Bali Matraman. Di
situlah Almarhum lebih menekuni pembinaan masyarakat-ummat mengajak
mereka ke jalan Allah.
Syahdan,
dengan kapal layar, pada pertengahan abad ke-19 (1834), Syaikh Junaid,
seorang ulama Betawi, menuju Mekah. Di sana ia bermukim dengan
menggunakan nama al-Betawi. Kefasihannya amat termashur karena beliau
dipercaya menjadi Imam Masjidil Haram. Syaikh Junaid al Betawi, yang
diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama madzhab Syafi’ie, juga
mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak sekali. Bukan
hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi menjadi
termashur di tanah suci berkat Syaikh kelahiran Pekojan, Jakarta Barat
itu.
Syaikh Junaid
mempunyai dua putera dan puteri. Salah satu puterinya menikah dengan
Abdullah al Misri, seorang ulama dari Mesir, yang makamnya terdapat di
Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Seorang puteri lainnya menikah dengan
Imam Mujitaba. Sedangkan kedua puteranya, Syaikh Junaid As’ad dan
Arsyad, menjadi pelanjut ayahnya mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid
wafat di Makkah pada 1840 dalam usia 100 tahun. Di antara murid Syeh
Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih tersebar di dunia Islam
adalah "Syaikh Nawawi al Bantani", keturunan pendiri kerajaan Islam
Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah). Karenanya,
setiap haul Syaikh Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syaikh
Junaid.
Imam Mujitaba,
yang menetap di Makkah, menikah dengan putri Syaikh Junaid. Pasangan ini
menurunkan Guru Marzuki, tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta
Timur. Karena alimnya, guru Mujitaba diberi gelar waliyullah oleh
masyarakat Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi,
Guru Mujitaba satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti
Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabawi.
Sedangkan putera almarhum guru Marzuki, yang hingga kini memiliki
perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain
karena begitu berhidmatnya kepada kedua orang tuanya.
Guru
Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka
di Indonesia. Salah satunya adalah KH Abdullah Syafi’ie, yang mendirikan
dan mengembangkan Perguruan Assyafiiyah dengan sekolah mulai dari TK
sampai perguruan tinggi. KH Abdullah Sjafi’ie bersama putera-puterinya
menangani 63 lembaga pendidikan Islam. Sedangkan masjid Al-Barkah di
Kampung Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1933 saat
kyai berusia 23 tahun, merupakan masjid yang megah hingga sekarang.
Semuanya berawal dari mushola bekas kandang sapi, yang dijadikan cikal
bakal Perguruan Asyafiiyah. Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Al-Barkah
selalu yang diikuti ribuan jamaah.
wikipedia |
Sekitar
tahun 30-an, da’wahnya lebih meluas lagi mencapai daerah sekitar
Jakarta dan almarhum menuntut ilmu ke Bogor (Habib Alawy Bin Tohir
Alhaddad). Sekitar tahun 40-an, membangun tempat pendidikan yaitu
madrasah tingkat Ibtidaiyah, dan secara sederhana mulai menampung
pelajar-pelajar yang mukim (tinggal) terutama dari keluarga. Pada tahun
1957 membangun Aula Syafi’iyyah yang diperuntukkan bagi madrasah tingkat
Tsanawiyah Lilmuballighin wal Muallimin. Tahun 1965 mendirikan Akademi
Pendidikan Islam As-Syafi’iyah (AKPI As-Syafi’iyah). Tahun 1967
mendirikan Stasiun Radio As-Syafi’iyah, tahun 1969 AKPI ditingkatkan
menjadi UIA. Tahun 1968 merintis tempat pendidikan disuatu desa
pinggiran Jakarta, yaitu Jatiwaringin Kecamatan Pondokgede Bekasi
sebagai pengembangan dari pendidikan yang telah ada.
Dengan
demikian, perguruan yang semula hanya terletak di Kampung Bali
Matraman, akhir tahun 60-an merambah ke daerah lain, seperti Jatiwaringin, Cilangkap, Jakasampurna, Payangan, Cogrek, dan sebagainya.
Malah, Jatiwaringin dijadikannya sebagai Kota Pelajar. Di Jatiwaringin
terdapat Pesantren Putra, Pesantren Putri, Pesantren Tradisional,
Pesantren Khusus Yatim As-Syafi’iyah, Taman Kanak-kanak, dan Universitas
Islam As-Syafi’iyah. Kiyai juga merupakan salah satu pendiri MUI
(Majelis Ulama Indonesia). Selain pernah menjabat sebagai Wakil Ketua di
MUI Pusat, juga sebagai Ketua Umum MUI DKI Jakarta. Ia juga salah
seorang yang giat mengadakan pendidikan dalam pemberantasan buta huruf
Al Quran. Pada tahun 1974-1975 membangun pesantren putra dan pesantren
putri di Jatiwaringin. Pada tahun 1978 membangun pesantren khusus untuk
Yataama dan Masaakin.
Pengembangan
sarana untuk pendidikan dan pesantren terus dikembangkan ke sekitar
Jakarta seperti Cilangkap-Pasar Rebo, di Payangan-Bekasi, Kp.
Jakasampurna-Bekasi dll. Tahun 1980 mulai menyiapkan lokasi untuk kampus
Universitas Islam As-Syafi’iyah di Jatiwaringin. Almarhum pernah
menjabat sebagai Ketua I Majlis Ulama Indonesia pada periode pertama dan
juga sebagai Ketua Umum Majlis Ulama DKI periode pertama dan kedua.
Almarhum banyak memikirkan tentang pendidikan untuk menghadirkan ulama
untuk masa yang akan datang dengan mendirikan Pesantren Tinggi yaitu
Ma’had Aly Daarul Arqom As-Syafi’iyah di Jatiwaringin.
KH
Abdullah Syafi’ie perguruannya menghasilkan ribuan orang diantara
mereka kini menjadi tokoh agama dan pimpinan majelis taklim di berbagai
tempat di Indonesia. KH Abdullah Syafi’ie adalah figur yang mampu
mengkombinasikan dua arus besar pemikiran yang berkembang di lingkungan
masyarakat Islam. Dalam diri beliau tercermin betul warna NU dan
Muhammadiyah-an. Toh beliau mampu menjadikan diri sebagai model
kombinasi yang menarik itu.
Di
bidang politik, beliau pada Pemilu 1955 berkampanye untuk partai
Masyumi. Nama Pesantren Ajaran birulwalidain dari Guru Marzuki, juga
diwariskan KH Abdullah Syafi’ie kepada putranya, KH Abdul Rasyid
Abdullah Syafii. Salah satu tanda baktinya kepada ayahanda, KH Abdul
Rasyid memberi nama pesantren yang didirikannya di Pulo Air, Sukabumi,
sebagai Pesantren KH Abdullah Syafi’ie.
Dirintis
pada 1990-an, Pesantren al Qur’an tersebut berdiri di atas tanah wakaf
pengusaha restauran Sunda, Haji Soekarno (alm). Tanah itu awalnya berupa
taman rekreasi Pulo Air seluas 3,3 hektar. Pertama kali dibuka, jumlah
santrinya hanya 13 murid SD. Namun seiring dengan berjalannya waktu,
perkembangannya kini sungguh amat pesat. Sekarang saja Pesantren KH.
Abdullah Syafii telah menempati tanah seluas 27 ha dengan sarana
bangunan yang dimiliki terbilang lengkap. Santrinya dari berbagai
wilayah di Indonesia. Bahkan pernah ada yang berasal dari Malaysia,
Brunai Darussalam, Singapura, maupun dari Jeddah, Saudi Arabia.
Selain
belajar dan Menghafal al Quran mereka pun belajar pengetahuan umum yang
diajarkan mulai dari TK, SD, SMP, SMU. Demikianlah warna pesantren KH.
Abdullah Syafi’i, ia memadukan gaya pesantren hafidz Quran dengan
sekolah umum. Untuk meningkatkan imtaq dan iptek para santrinya ini,
pengelola pesantren tidak setengah-setengah mewujudkannya. Tiap sekolah
yang berada di bawah koordinasi pondok telah menyediakan laboratorium
tersendiri di bidang fisika, komputer dan bahasa. Pesantren ini juga
memiliki sarana asrama yang amat bersih, juga masjid yang cukup memadai
di tengah kampus. Dalam dua tahun terakhir ini malah telah berdiri
stasion radio FM Pulo Air .
Wartawan Suara Islam sempat bermalam di sana. Pagi hari jam 04.00
WIB, kehidupan pesantren sudah mulai menggeliat. Santri-santri cilik
sudah mulai dibangunkan (sebagian bahkan ada santri balita). Air jernih
Pulo Air segera mengguyur badan hangat santri yang segera berbenah ke
masjid menyongsong panggilan adzan subuh. Suasana ritual khas pesantren
segera hadir, mulai dari shalat berjamaah subuh dan wirid-wiridnya,
disusul penghafalan Qur’an oleh seluruh santri di sudut-sudut halaman
dan ruangan yang tersedia. Menghafal al Quran ini memang merupakan ciri
khas dari Pesantren al-Qur’an KH. Abdullah syafi’ie.
KH. Abdullah Syafi'ie bersahabat Prof. DR. Buya Hamka
Amman
ba'du: perbedaan adalah rahmat. Bagi KH Abdullah Syafi’i, beda
pendapat dalam agama bukan untuk diperdebatkan, apalagi menjadi sumber
konflik. Dia dekat dengan kelompok tradisional (NU) yang memang
merupakan tema majelis taklimnya. Tapi, ia juga punya hubungan erat
dengan tokoh-tokoh pembaharuan.
Buya Hamka dan Abdullah Syafi'ie. (wikipedia) |
Buya
Hamka, meski beliau boleh dibilang tokoh Muhammadiyah yang anti qunut.
Namun beliau bershahabat baik dengan tokoh ulama betawi, KH. Abdullah
Syafii, tokoh ulama yang menyatakan bahwa qunut shalat shubuh itu
hukumnya sunnah muakkadah.
Ada
sebuah kisah yang menarik, khususnya masalah adzan dua kali. Suatu
ketika di hari Jumat, KH. Abdullah Syafi'ie mengunjungi Buya Hamka di
masjid Al-Azhar Kebayoran Jakarta Selatan. Hari itu menurut jadwal
seharusnya giliran Buya Hamka yang jadi khatib. Karena menghormati
shahabatnya, Melihat kedatangan KH Abdullah Syafi’ie, seketika Buya
‘’memaksa’’ Si Macan Betawi untuk naik mimbar menggantikan dirinya, maka
Buya minta agar KH. Abdullah Syafi'ie yang naik menjadi khatib Jumat.
Yang
menarik, tiba-tiba adzan Jumat dikumandangkan dua kali, padahal
biasanya hanya satu kali. Rupanya, Buya menghormati ulama betawi ini dan
tahu bahwa adzan dua kali pada shalat Jumat itu adalah pendapat
shahabatnya. Jadi bukan hanya mimbar Jumat yang diserahkan, bahkan adzan
pun ditambah jadi dua kali, semata-mata karena ulama ini menghormati
ulama lainnya.
Ini luar
biasa dan kisah ini perlu kita hidupkan lagi. Begitulah sikap kedua
tokoh ulama besar negeri ini. Siapa yang tidak kenal Buya Hamka, dengan
perguruan Al-Azhar dan tafsirnya yang fenomenal. Dan siapa tidak kenal
KH Abdullah Syafi'ie, pendiri dan pemimpin Perguruan Asy-Syafiiyah,
Jakarta.
Abdullah Syafi'ie adalah tipologi ulama sejati yang ilmunya mendalam dan
wawasannya luas. Tidak pernah meributkan urusan khilafiyah, sebab pada
hakikatnya urusan khilafiyah lahir karena memang proses yang alami, di
mana dalil dan nash yang ada menggiring kita ke arah sana. Bukan sekedar
asal beda dan cari-cari perhatian orang. Karena itu harus disikapi
dengan luas dan luwes.
Sebaliknya,
mereka yang suka meributkan masalah khilafiyah, biasanya merupakan
sosok yang kerja nya memang sekedar cari-cari perbedaan, kurang ilmu dan
umumnya mereka memang suka sensasi.
(suara islam|group wa|dan berbagai sumber).