Sekilas Tokoh dan Ulama Tanah Betawi, KH. Abdullah Syafi'ie

BRNews - KH. Abdullah Syafi’ie Al-Batawi, lebih dikenal dengan nama Kiai Dulloh adalah pendiri dan pengasuh pertama Perguruan As-Syafi’iyah di Jakarta. Ia merupakan ayah dari Dra. Hj. Tuti Alawiyah, mantan Menteri Sosial dan Menteri Peranan Wanita pada masa Orde Baru sekaligus yang menjadi pengasuh Perguruan Asy-Syafi’iyah saat itu.

Orang Jakarte, siapa yang tak kenal nama KH Abdullah Syafi'ie (alm) dan Perguruan Assyafi’iyah. Sedangkan bagi penduduk Jakarta, setidaknya mengenal nama ulama kharismatis ini sebagai nama jalan terusan Casablanca-Tebet Jakarta Selatan. Selintas Macan Betawi KH Abdullah Syafi’ie, yang populer sebagai ”Macan Betawi”. Lahir di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan pada 16 Sya’ban 1329 H./10 Agustus 1910 hari Sabtu. Nama ayahnya H. Syafi’ie Bin Sairan dan ibundanya Nona Binti Asy’ari.

Mempunyai dua orang adik perempuan yang bernama H. Siti Rogayah dan H. Siti Aminah. Kedua orangtuanya cinta kepada orang-orang alim dan soleh sehingga dari sejak kecil sudah diarahkan untuk belajar ilmu agama. Sambil belajar, menuntut ilmu terus mengajar. Pada umur 17 tahun sudah memperoleh surat pemberian tahoe: boleh mengajar di langgar partikulir. Ketika berumur 23 tahun mulai membangun Masjid Al Barakah di Kampung Bali Matraman. Di situlah Almarhum lebih menekuni pembinaan masyarakat-ummat mengajak mereka ke jalan Allah.

Syahdan, dengan kapal layar, pada pertengahan abad ke-19 (1834), Syaikh Junaid, seorang ulama Betawi, menuju Mekah. Di sana ia bermukim dengan menggunakan nama al-Betawi. Kefasihannya amat termashur karena beliau dipercaya menjadi Imam Masjidil Haram. Syaikh Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama madzhab Syafi’ie, juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syaikh kelahiran Pekojan, Jakarta Barat itu.

Syaikh Junaid mempunyai dua putera dan puteri. Salah satu puterinya menikah dengan Abdullah al Misri, seorang ulama dari Mesir, yang makamnya terdapat di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Seorang puteri lainnya menikah dengan Imam Mujitaba. Sedangkan kedua puteranya, Syaikh Junaid As’ad dan Arsyad, menjadi pelanjut ayahnya mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid wafat di Makkah pada 1840 dalam usia 100 tahun. Di antara murid Syeh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih tersebar di dunia Islam adalah "Syaikh Nawawi al Bantani", keturunan pendiri kerajaan Islam Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah). Karenanya, setiap haul Syaikh Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syaikh Junaid.

Imam Mujitaba, yang menetap di Makkah, menikah dengan putri Syaikh Junaid. Pasangan ini menurunkan Guru Marzuki, tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Karena alimnya, guru Mujitaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, Guru Mujitaba satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabawi. Sedangkan putera almarhum guru Marzuki, yang hingga kini memiliki perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya kepada kedua orang tuanya.

Guru Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Indonesia. Salah satunya adalah KH Abdullah Syafi’ie, yang mendirikan dan mengembangkan Perguruan Assyafiiyah dengan sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi. KH Abdullah Sjafi’ie bersama putera-puterinya menangani 63 lembaga pendidikan Islam. Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, merupakan masjid yang megah hingga sekarang. Semuanya berawal dari mushola bekas kandang sapi, yang dijadikan cikal bakal Perguruan Asyafiiyah. Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Al-Barkah selalu yang diikuti ribuan jamaah.
wikipedia
Sekitar tahun 30-an, da’wahnya lebih meluas lagi mencapai daerah sekitar Jakarta dan almarhum menuntut ilmu ke Bogor (Habib Alawy Bin Tohir Alhaddad). Sekitar tahun 40-an, membangun tempat pendidikan yaitu madrasah tingkat Ibtidaiyah, dan secara sederhana mulai menampung pelajar-pelajar yang mukim (tinggal) terutama dari keluarga. Pada tahun 1957 membangun Aula Syafi’iyyah yang diperuntukkan bagi madrasah tingkat Tsanawiyah Lilmuballighin wal Muallimin. Tahun 1965 mendirikan Akademi Pendidikan Islam As-Syafi’iyah (AKPI As-Syafi’iyah). Tahun 1967 mendirikan Stasiun Radio As-Syafi’iyah, tahun 1969 AKPI ditingkatkan menjadi UIA. Tahun 1968 merintis tempat pendidikan disuatu desa pinggiran Jakarta, yaitu Jatiwaringin Kecamatan Pondokgede Bekasi sebagai pengembangan dari pendidikan yang telah ada. 

Dengan demikian, perguruan yang semula hanya terletak di Kampung Bali Matraman, akhir tahun 60-an merambah ke daerah lain, seperti Jatiwaringin, Cilangkap, Jakasampurna, Payangan, Cogrek, dan sebagainya. Malah, Jatiwaringin dijadikannya sebagai Kota Pelajar. Di Jatiwaringin terdapat Pesantren Putra, Pesantren Putri, Pesantren Tradisional, Pesantren Khusus Yatim As-Syafi’iyah, Taman Kanak-kanak, dan Universitas Islam As-Syafi’iyah. Kiyai juga merupakan salah satu pendiri MUI (Majelis Ulama Indonesia). Selain pernah menjabat sebagai Wakil Ketua di MUI Pusat, juga sebagai Ketua Umum MUI DKI Jakarta. Ia juga salah seorang yang giat mengadakan pendidikan dalam pemberantasan buta huruf Al Quran. Pada tahun 1974-1975 membangun pesantren putra dan pesantren putri di Jatiwaringin. Pada tahun 1978 membangun pesantren khusus untuk Yataama dan Masaakin.

Pengembangan sarana untuk pendidikan dan pesantren terus dikembangkan ke sekitar Jakarta seperti Cilangkap-Pasar Rebo, di Payangan-Bekasi, Kp. Jakasampurna-Bekasi dll. Tahun 1980 mulai menyiapkan lokasi untuk kampus Universitas Islam As-Syafi’iyah di Jatiwaringin. Almarhum pernah menjabat sebagai Ketua I Majlis Ulama Indonesia pada periode pertama dan juga sebagai Ketua Umum Majlis Ulama DKI periode pertama dan kedua. Almarhum banyak memikirkan tentang pendidikan untuk menghadirkan ulama untuk masa yang akan datang dengan mendirikan Pesantren Tinggi yaitu Ma’had Aly Daarul Arqom As-Syafi’iyah di Jatiwaringin.

KH Abdullah Syafi’ie perguruannya menghasilkan ribuan orang diantara mereka kini menjadi tokoh agama dan pimpinan majelis taklim di berbagai tempat di Indonesia. KH Abdullah Syafi’ie adalah figur yang mampu mengkombinasikan dua arus besar pemikiran yang berkembang di lingkungan masyarakat Islam. Dalam diri beliau tercermin betul warna NU dan Muhammadiyah-an. Toh beliau mampu menjadikan diri sebagai model kombinasi yang menarik itu.

Di bidang politik, beliau pada Pemilu 1955 berkampanye untuk partai Masyumi. Nama Pesantren Ajaran birulwalidain dari Guru Marzuki, juga diwariskan KH Abdullah Syafi’ie kepada putranya, KH Abdul Rasyid Abdullah Syafii. Salah satu tanda baktinya kepada ayahanda, KH Abdul Rasyid memberi nama pesantren yang didirikannya di Pulo Air, Sukabumi, sebagai Pesantren KH Abdullah Syafi’ie.

Dirintis pada 1990-an, Pesantren al Qur’an tersebut berdiri di atas tanah wakaf pengusaha restauran Sunda, Haji Soekarno (alm). Tanah itu awalnya berupa taman rekreasi Pulo Air seluas 3,3 hektar. Pertama kali dibuka, jumlah santrinya hanya 13 murid SD. Namun seiring dengan berjalannya waktu, perkembangannya kini sungguh amat pesat. Sekarang saja Pesantren KH. Abdullah Syafii telah menempati tanah seluas 27 ha dengan sarana bangunan yang dimiliki terbilang lengkap. Santrinya dari berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan pernah ada yang berasal dari Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, maupun dari Jeddah, Saudi Arabia.

Selain belajar dan Menghafal al Quran mereka pun belajar pengetahuan umum yang diajarkan mulai dari TK, SD, SMP, SMU. Demikianlah warna pesantren KH. Abdullah Syafi’i, ia memadukan gaya pesantren hafidz Quran dengan sekolah umum. Untuk meningkatkan imtaq dan iptek para santrinya ini, pengelola pesantren tidak setengah-setengah mewujudkannya. Tiap sekolah yang berada di bawah koordinasi pondok telah menyediakan laboratorium tersendiri di bidang fisika, komputer dan bahasa. Pesantren ini juga memiliki sarana asrama yang amat bersih, juga masjid yang cukup memadai di tengah kampus. Dalam dua tahun terakhir ini malah telah berdiri stasion radio FM Pulo Air .

Wartawan Suara Islam sempat bermalam di sana. Pagi hari jam 04.00 WIB, kehidupan pesantren sudah mulai menggeliat. Santri-santri cilik sudah mulai dibangunkan (sebagian bahkan ada santri balita). Air jernih Pulo Air segera mengguyur badan hangat santri yang segera berbenah ke masjid menyongsong panggilan adzan subuh. Suasana ritual khas pesantren segera hadir, mulai dari shalat berjamaah subuh dan wirid-wiridnya, disusul penghafalan Qur’an oleh seluruh santri di sudut-sudut halaman dan ruangan yang tersedia. Menghafal al Quran ini memang merupakan ciri khas dari Pesantren al-Qur’an KH. Abdullah syafi’ie.

KH. Abdullah Syafi'ie bersahabat Prof. DR. Buya Hamka

Amman ba'du: perbedaan adalah rahmat. Bagi KH Abdullah Syafi’i, beda pendapat dalam agama bukan untuk diperdebatkan, apalagi menjadi sumber konflik. Dia dekat dengan kelompok tradisional (NU) yang memang merupakan tema majelis taklimnya. Tapi, ia juga punya hubungan erat dengan tokoh-tokoh pembaharuan.
Buya Hamka dan Abdullah Syafi'ie. (wikipedia)
Buya Hamka, meski beliau boleh dibilang tokoh Muhammadiyah yang anti qunut. Namun beliau bershahabat baik dengan tokoh ulama betawi, KH. Abdullah Syafii, tokoh ulama yang menyatakan bahwa qunut shalat shubuh itu hukumnya sunnah muakkadah.

Ada sebuah kisah yang menarik, khususnya masalah adzan dua kali. Suatu ketika di hari Jumat, KH. Abdullah Syafi'ie mengunjungi Buya Hamka di masjid Al-Azhar Kebayoran Jakarta Selatan. Hari itu menurut jadwal seharusnya giliran Buya Hamka yang jadi khatib. Karena menghormati shahabatnya, Melihat kedatangan KH Abdullah Syafi’ie, seketika Buya ‘’memaksa’’ Si Macan Betawi untuk naik mimbar menggantikan dirinya, maka Buya minta agar KH. Abdullah Syafi'ie yang naik menjadi khatib Jumat.

Yang menarik, tiba-tiba adzan Jumat dikumandangkan dua kali, padahal biasanya hanya satu kali. Rupanya, Buya menghormati ulama betawi ini dan tahu bahwa adzan dua kali pada shalat Jumat itu adalah pendapat shahabatnya. Jadi bukan hanya mimbar Jumat yang diserahkan, bahkan adzan pun ditambah jadi dua kali, semata-mata karena ulama ini menghormati ulama lainnya.

Ini luar biasa dan kisah ini perlu kita hidupkan lagi. Begitulah sikap kedua tokoh ulama besar negeri ini. Siapa yang tidak kenal Buya Hamka, dengan perguruan Al-Azhar dan tafsirnya yang fenomenal. Dan siapa tidak kenal KH Abdullah Syafi'ie, pendiri dan pemimpin Perguruan Asy-Syafiiyah, Jakarta.  

Abdullah Syafi'ie adalah tipologi ulama sejati yang ilmunya mendalam dan wawasannya luas. Tidak pernah meributkan urusan khilafiyah, sebab pada hakikatnya urusan khilafiyah lahir karena memang proses yang alami, di mana dalil dan nash yang ada menggiring kita ke arah sana. Bukan sekedar asal beda dan cari-cari perhatian orang. Karena itu harus disikapi dengan luas dan luwes.

Sebaliknya, mereka yang suka meributkan masalah khilafiyah, biasanya merupakan sosok yang kerja nya memang sekedar cari-cari perbedaan, kurang ilmu dan umumnya mereka memang suka sensasi.
(suara islam|group wa|dan berbagai sumber).

Subscribe to receive free email updates: