Rhoma Irama, Sound Of Muslim dan Perubahan Sosial

Oleh: Lukman Hakiem*
"PPP bisa naik suaranya," ujar staf pengajar Fisip-UGM,  Drs.  Afan Gaffar, M.A (kelak menjadi guru besar Fisipol UGM). yang berdiri di sebelah saya. Di siang yang panas itu beberapa puluh tahun silam,  di antara ribuan massa di alun-alun utara Yogyakarta, tidak sengaja saya bertemu dengan senior yang saya sapa "Bang Afan" itu.

Hari itu,  menjelang pemilu 1982, PPP menggelar kampanye di alun-alun utara. Alun-alun penuh sesak,  jalan menuju tempat kampanye, tidak kurang sesaknya.  Bersusah payah,  saya dan Bang Afan --yang saat itu sedang pulang ke Tanah Air untuk penelitian lapangan bagi disertasi doktornya di sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat-- menerobos padatnya massa.


Kampanye akan dimulai sekitar pukul dua siang, tapi massa sudah memadati alun-alun utara sejak pagi. Seorang peserta kampanye mengaku,  berangkat dari rumahnya di Wates,  sesudah shalat Subuh supaya kebagian tempat di depan. "Ternyata, sampai di sini sudah penuh," keluhnya.

Seorang peserta kampanye yang  mengaku berasal dari Magelang menceritakan perjuangannya untuk bisa sampai di alun-alun utara. "Saya harus bergerilya Mas," katanya.

Di zaman Orde Baru itu,  pemilu memang direkayasa untuk hanya dan selalu dimenangkan oleh Golkar, sebuah organisasi besutan penguasa yang tidak pernah mau disebut partai politik tetapi selalu ikut pemilu.

Salah satu bentuk rekayasanya, rakyat dari luar Yogya tidak boleh menghadiri kampanye partai politik (PPP dan PDI) di Yogya. Penjagaan di perbatasan provinsi di perketat. Kendaraan umum dan pribadi digeledah untuk mencari calon peserta kampanye.  Siapa saja yang diduga akan menghadiri kampanye partai politik, langsung dihalau,  disuruh balik kanan.

Seketat-ketat penjagaan aparat, rakyat selalu punya cara untuk menembus barikade. Maka,  di siang yang terik itu,  banyak saya temukan peserta kampanye PPP yang berasal dari Klaten, Muntilan,  dan Purworejo.

Melihat padatnya peserta kampanye,  Bang Afan kembali berkata: "Kalau pemilu berlangsung jujur dan adil,  suara PPP bakal naik tajam."

Massa PPP hari itu melimpah ruah, karena yang akan menjadi juru kampanye adalah Raja Dangdut Rhoma Irama.

Daya panggil Rhoma Irama yang bukan pengurus partai,  juga bukan caleg PPP, memang amat luar biasa.


Beberapa malam sebelumnya, jalan-jalan di Yogya tiba-tiba menjadi sepi.  Usut punya usut,  ternyata malam itu Rhoma Irama tampil menjadi juru kampanye PPP di RRI dan TVRI. Jauh sebelum jam tayang,  para penggemar Rhoma Irama dengan khusyuk sudah duduk di depan televisi untuk menyimak pidato kampanye Rhoma Irama.

Di alun-alun utara,  sekitar pukul tiga sore, Rhoma Irama yang ditunggu massa akhirnya datang juga. Dia langsung naik ke panggung, dan berpidato singkat:

"Saya datang di Yogya untuk mengalahkan Golkar. Kalau PPP menang di Yogya, saya dan Soneta akan show gratis di sini.  Allahu Akbar!" Sesudah pidato singkat itu,  Rhoma Irama pamit, dan massa bubar dengan tertib.

Dangdut Kampungan?

Di penghujung tahun 1960-an, setiap habis subuh,  tetangga di sebelah rumah orang tua saya di Cikarang,  Bekasi,  memiliki kebiasaan tetap: mula-mula memutar piringan hitam pengajian Quran.  Qori dan Qoriah kegemarannya ialah Muhammad Dong dan Sa'idah Ahmad. Keduanya adalah juara Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) 1968.

Sesudah itu,  tetangga yang saya sapa Ceu Iyah itu memutar piringan hitam berisi lagu-lagu dari Orkes Melayu (O.M) Purnama pimpinan Ahmad Zakaria,  atau O.M. Ria Beluntas pimpinan Ahmad Basahil.

Suara merdu yang terdengar dari piringan hitam itu, terutama dari O.M. Purnama, ialah suara Titing Yeni,  Elvi Sukaesih,  Ellya Khadam,  Muchsin, Mansyur S,  dan Oma Irama.  Yang disebut terakhir  belakangan membentuk O.M. Soneta.

Ceu Iyah, tetangga saya itu,  mengikuti perkembangan musik Melayu dengan menambah koleksi piringan hitamnya. Rupanya Ceu Iyah menggemari Oma Irama dengan Sonetanya.

Maka tiap pagi,  terdengarlah suara merdu Oma Irama mendendangkan "Berkelana"
"Kalau aku berkelana, Tiada yang tahu, Ke mana ku pergi...."

"Berkelana" digemari banyak orang. Lantaran itulah pada album-album berikutnya Oma melahirkan seri "Berkelana II,"  dan seterusnya. Seorang antropolog Amerika Serikat William H Frederick mengatakan penggemar Oma Irama saat itu mencapai sekitar 20-30 juta dari populasi penduduk Indonesia saat itu jumlahnya mencapai 130 juta orang.


Frederich menulis begini: ...dangdut diproduksi oleh seorang super star sejati Indonesia: Rhoma Irama. Ia lebih dari seorang super star biasa yang hanya berarti sosok penting dan terkenal, yang hanya bermakna bagi kalangan dengan tingkat perekonomian atau intelektualitas tertentu. Rhoma Irama adalah bintang bagi massa yang sesungguhnya, bagi kalangan elit dan alit, bagi kalangan konglomerat hingga orang-orang melarat. (Frederick, William H. 1982. Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture. Southeast Asia Program Publications at Cornell University. Hal 102-130).

Meskipun popularitas Oma Irama meningkat karena "Berkelana", sukses yang melambungkan nama Oma Irama tidak syak lagi ialah lagu "Begadang" yang dipublikasikan pada 1974.

Di panggung hiburan seperti di Taman Ria Monas,  Jakarta, Oma Irama adalah jaminan mutu. Publik berhimpit sampai ke depan panggung,  apabila Oma Irama yang bermain musik.

Popularitas Oma Irama dengan "Begadang"-nya ternyata mengusik ketenteraman jiwa para pemusik status-quo.  Dari mulut mereka keluar kata-kata kotor mencerca musik melayu --belakangan oleh Radio Agustina Junior di Jakarta dipopulerkan dengan nama musik dangdut.

Sebagian "orang kota" menyebut dangdut sebagai "musik kampungan". Seorang pemusik cadas dari Bandung menyebut dangdut "tai kucing!"

"Musik dangdut kampungan?  Kayaknya orang kota itu seperti berkuasa menghakimi,  memutuskan baik buruknya suatu nilai. Padahal keputusan mereka ini belum tentu benar," ujar pemusik Guruh Sukarnoputra.

"Siapa bilang memalukan,  kampungan? Musik jazz atau musik apapun bisa dibilang kampungan kalau yang membawakan tidak becus," segah pemusik jazz kenamaan,  Jack Lesmana.

Oma Irama sendiri tiba-tiba menjadi ikon musik dangdut.  Membicarakan musik dangdut, orang mesti lari ke Oma. 

"Sebagai sesama seniman,  saya senang pada keberhasilan Oma. Begitu dangdutnya ia mulai,  orang-orang langsung berkerumun dan ikut menari. Ia bintang yang berhasil," kata pemusik Eros Jarot.

Jack Lesmana mengaku suka kepada Oma. Beat yang dibawakan Oma,  baik. Aransemen dengan unsur-unsur rock,  disenangi Jack. "Oma tidak sembarangan main. Ia cukup memakai pikiran dalam penggarapan musiknya," kata Jack Lesmana.

Pemain biola termasyhur,  Idris Sardi mengaku tidak risi dan tidak merasa rendah diri memainkan musik dangdut. Idris Sardi mengaku pernah merekam lagu "Begadang" milik Oma Irama.

"Kita memang tidak bisa berbohong," kata pemusik Harry Roesli,  "Dangdut memang disukai banyak orang, terutama rakyat kecil."
Salah satu jejak tudingan bahwa musik dangdut kampungan terekam kembali pada tulisan Buyung Aktuil, wartawan senior sebuah majalah usik yang menjadi ikon di dekade 1970-an: Majalah Aktuil. Dalam sebuah catatannya di media sosial di menceritakan kembali isi sebagian tulisannya kala para musisi tertentu saat itu menyepelekan eksistensi Oma Irama dan dangdut.
Buyung menulis 'panasnya' persaingan antarsesama seniman musik kala itu seperti ini:
Perseteruannya dengan Benny Soebardja jadi melebar setelah Deddy Dores ikut-ikutan an buka suara menantang duel meet Giant Step vs Oma Irama & OM Soneta. "Tentukan tempat dimana,kami siap membabat habis" teriak Dores.
Sang kaisar (Oma Irama, red) menanggapi seruan Dores dengan santai."Deddy Dores lupa kalau OM Soneta sudah nge-rock ala Deep Purple.Selain itu Giant Step hanya show di GOR,sedangkan OM Soneta selalu show di lapangan terbuka".
Oma menegaskan dirinya bukan takut duel meet."Karena saya ber-dhangdut buat rakyat kebanyakan.kalau grup2 rock musiknya terbatas buat kalangan tertentu. Saya hanya bisa berharap agar siapapun jangan sembarangan mengumbar kata2,menantang kesana kemari.Atau bilang musik dhangdut itu kampungan.Kalau mau bersaing,mari kita bertarung secara 'fair' dengan musik kita masing-masing"..

Sound of Moslem

Pada pertengahan 1970-an,  Oma bersama pemain O.M. Soneta,  menunaikan ibadah haji.  Sepulang dari Tanah Suci,  Oma dan Soneta melakukan perubahan radikal.

Nama Oma Irama dia lengkapi menjadi Raden Haji Oma Irama disingkat Rhoma Irama.  Soneta yang semula orkes melayu, dideklarasikan menjadi ‘Sound of Moslem’.

Perubahan itu bukan sekadar perubahan nama, melainkan penegasan identitas dan pemihakan. Secara fisik,  itu terlihat dari aksi panggung Rhoma dan Soneta yang bersorban.  Secara ideologis, tampak dari pemihakan Rhoma Irama dan Soneta kepada satu-satunya partai politik berasas Islam di zaman Orde Baru: PPP.

Berduet dengan politisi muda PPP yang sedang naik daun,  Drs. H. Ridwan Saidi, Rhoma Irama dan Soneta menghentak jagad politik DKI Jakarta. PPP memenangkan pemilihan umum di DKI Jakarta, mengalahkan Golkar yang didukung penuh oleh birokrasi sipil dan militer.

Pada pemilu-pemilu berikutnya, meskipun tidak pernah menjadi pengurus dan caleg,  Rhoma Irama konsisten mendukung PPP.

Tidak cuma mendukung PPP,  Rhoma Irama acap tampil bersama Toni Ardi menjadi muballigh yang kritis terhadap kebijakan rezim Orde Baru.

Akibat sikap politiknya itu,  Rhoma Irama diharamkan masuk TVRI,  satu-satunya televisi di masa itu. Beberapa lagunya seperti "Rupiah" dan "Hak Asasi Manusia" dicekal oleh pemerintah.

Runtang-runtung Bersama Tutut

Entah karena beratnya tekanan yang dia terima,  ataukah karena cuaca politik yang mulai berubah, dekat menjelang pemilu 1997 Rhoma Irama kerap terlihat berjalan bersama putri sulung Presiden Soeharto,  Ny. Siti Hardiyanti Rukmana yang akrab disapa Mbak Tutut.

Acara rantang-runtung itu kadang disertai juga oleh Ketua Umum PBNU, K. H. Abdurrahman Wahid. Sejak sering terlihat jalan bareng Mbak Tutut,  layar TVRI terbuka untuk Rhoma Irama dan Soneta.
Meski demikian, tidak semua penggemar Rhoma Irama suka dengan kenyataan runtang-runtung itu. Terbukti ketika Rhoma dan Tutut bermaksud membikin acara di Pekalongan,  panggung yang sudah disiapkan, dibakar massa. Acara pun batal.


Pekalongan adalah wilayah yang selama pemilu Orde Baru menjadi basis PPP. Runtang-runtung Rhoma Irama-Mbak Tutut,  membuahkan hasil. Pada 1 Oktober 1997, Rhoma Irama dilantik menjadi anggota DPR-RI mewakili Golkar yang pada pemilu 1977 meraih 325 kursi DPR-RI.

Perolehan kursi Golkar pada pemilu 1997 memang luar biasa.  Bandingkan dengan PPP yang memperoleh 89 kursi,  dan PDI yang hanya mendapat 11 kursi,  sementara ABRI mendapat jatah kursi gratis sebanyak 75 kursi.
Betapapun kuatnya Golkar dan ABRI, toh mereka tidak mampu menahan gelombang perubahan. Selang beberapa bulan saja,  Presiden Soeharto yang secara teoritis didukung oleh 400 dari 500 anggota DPR,  menyatakan mengundurkan diri.

Reformasi politik terus bergulir. Antara lain lahir Ketetapan MPR tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden,  pencabutan TAP MPR tentang Referendum, pencabutan TAP MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), penghapusan keharusan berasas tunggal Pancasila bagi partai politik dan organisasi kemasyarakatan, dan penghapusan dwi-fungsi ABRI.

Dalam gegap gempita reformasi, tidak terdengar suara Rhoma Irama.  Padahal menyangkut isu P-4, dan asas tunggal Pancasila, pada masanya Rhoma Irama adalah salah seorang pengeritik lantang.
Apakah Rhoma Irama mengalami perang batin?  Wallahu'alam. Yang pasti,  tidak lama sesudah Sidang Istimewa MPR pada akhir 1998, Rhoma Irama mengikuti jejak Pak Harto: menyatakan berhenti dari jabatannya di DPR.

Habis Manis Rhoma Dibuang

Sesudah tidak lagi menjadi anggota parlemen, Rhoma Irama kembali ke habitatnya: bermusik ria. Akan tetapi, pada setiap hajat demokrasi, dia masih selalu tampil merajut ukhuwah.  Rhoma membantu semua partai politik yang berasas dan berbasis massa Islam.

Lama tidak terdengar kiprah politiknya, tiba-tiba pecah kabar,  Rhoma Irama berniat menjadi Presiden. Niat itu urung lantaran tidak ada satupun partai yang mengusungnya,  termasuk partai politik yang pernah dia bantu. Untuk Rhoma Irama  rupanya berlaku juga pepatah "habis manis Rhoma dibuang."

Sesudah itu terdengar kabar, Rhoma Irama digadang-gadang menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB). Rhoma terlihat pada upacara pembukaan Muktamar PBB dan sempat menjadi imam shalat Jum'at di arena muktamar,  dan sesudah itu kembali sunyi.  Setelah muktamar,  PBB  dipimpin oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra. Bukan oleh Rhoma Irama.

Rhoma Irama kemudian membesut partai politik bernama Idaman. Apakah Rhoma Irama akan mampu menjadi magnet yang memikat para calon pemilih untuk mendukung Partai Idaman, sebagaimana pada 1977, 1982, 1987, dan 1992 ajakan Rhoma Irama untuk mencoblos PPP cukup didengar oleh penggemarnya.

Kita lihat saja nanti akan terjadi seperti apa?


*Lukman Hakiem, Peminat Sejarah, mantan anggota DPRRI PPP, mantan staf M Natsir dan Wapres Hamzah Haz.
sumber artikel: www. republika.co.id

Subscribe to receive free email updates: