Dua Pondasi Radikalisme dan Terorisme
Oleh: Ahmad Ishomuddin
Sejak masa Nabi sudah ada sejumlah orang yang ekstrim dalam
beragama, bahkan diantaranya Abdullah bin Dzul-Khuwaishirah yang berani
menuduh Nabi tidak adil dan meminta beliau agar bersikap adil sehingga
karena sikapnya yang tidak sopan terhadap beliau maka Umar bin
al-Khaththab meminta izin kepada Nabi untuk memenggalnya, namun ia tidak
diizinkan.
Mereka adalah orang giat dalam beragama dan rajin
beribadah, tetapi tidak didasari ilmu yang memadai alias orang-orang
bodoh. Mereka ini sangat mudah tersinggung, marah dan gampang menuduh
orang lain sesat, munafik, murtad atau bahkan kafir. Mereka gemar
menyakiti hati manusia lain termasuk sesama muslim, apalagi terhadap non
muslim.
Sesungguhnya ucapan dan perilaku mereka ini sudah jauh
menyimpang dari ajaran agama yang dianutnya, namun karena kurang berilmu
(baca: goblok) mereka tidak pernah menyadari kekeliruannya dan merasa
selalu sejalan dengan ajaran agama dan merasa telah membela agama.
Orang-orang yang terlalu bersemangat dalam beragama namun
tidak memahami maksud utama agama ini selalu ada saja sepanjang masa
hingga hari kiamat tiba. Mereka membaca al-Qur'an juga namun tidak
memahami maksud sebenarnya. Bacaan terhadap ayat-ayat al-Qur'an mereka
seringkali menjadi dalih pembenar untuk menyerang orang lain terutama
orang-orang yang mereka benci di luar komunitasnya. Mereka menafsirkan
al-Qur'an mengikuti hawa nafsunya dan seringkali menempatkan ayat-ayat
al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi tidak pada tempatnya.
Di belahan dunia mana pun selalu saja ada yang melampaui
batas (ektrim dan berlebihan) dalam beragama dari penganut agama apa
saja. Di kalangan umat Islam ada yang mudah menstigma negatif orang
berbeda penafsiran dan berbeda ekspresi keagamaannya dengan sebutan
kafir misalnya.
Fitnah takfir (pengkafiran) menjadi fondasi utama terorisme
atas nama agama. Takfir sebenarnya hanyalah alasan untuk menumpahkan
darah, merampas harta benda dan melanggar kehormatan orang lain. Mereka
juga menganggap bahwa bentuk-bentuk negara yang ada saat ini seperti
republik, kesultanan, kerajaan (monarchi) dan sebagainya adalah dar harb
(negara yang harus diperangi) atau dar kufr (negara kafir).
Fondasi lain dari terorisme adalah memusuhi dan berupaya
merebut kekuasaan dari tangan pemerintahan yang sah karena mereka anggap
tidak sah. Tidak sah karena berhukum kepada selain hukum Allah atau
pemerintahan thaghut. Perlawanan hingga pembunuhan terhadap aparat
pemerintahan yang mereka kafirkan itu mereka anggap sebagai jihad atau
minimal nahiy munkar (mencegah kemungkaran).
Untuk membenarkan tindakan berdasar asumsi yang sebenarnya
keliru itu maka mereka mengutip dalil hadits dari Sa'id al-Khudri dari
Nabi shalla Allahu 'alaihi wa sallama,
أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جاءر ( أخرجه أبو داود والترمذي وقال حديث حسن )
"Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kata yang benar kepada penguasa yang dzalim." (HR. Abu Daud dan al-Turmudzi)
Tetapi mereka meninggalkan hadits lainnya, yakni sabda Rasulullah shalla Allahu 'alaihi wa sallama,
من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ولكن يأخذ بيده ويخلو به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه
( رواه أحمد وابن أبي عاصم بإسناد صحيح )
( رواه أحمد وابن أبي عاصم بإسناد صحيح )
"Barangsiapa ingin menasehati orang yang berkuasa maka
jangan menyampaikannya secara terbuka (di hadapan umum), tetapi ajaklah
dan bersepilah bersamanya. Jika nasehatnya diterima maka itulah, tetapi
jika tidak diterima maka sungguh ia telah menyampaikan kewajibannya."
(HR. Ahmad dan Ibnu Abi 'Ashim dengan isnad yang shahih)
Al-Syaukani mengomentari hadits di atas sebagai berikut,
ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المساءل أن يناصحه ولا
يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد بل كما ورد في الحديث أنه يأخذ بيده
ويخلو به ويبذل له النصيحة ولا يذل سلطان الله ( السيل الجرار المتدفق على
حداءق الأزهر ج ٤ ص ٥٥٦ )
"Sepatutnya bagi orang yang melihat jelas kekeliruan
pemimpin pada sebagian masalah agar menasehatinya dan jangan
mempermalukannya di hadapan orang banyak, tetapi sebagaimana disebutkan
dalam hadits bahwa ia perlu menggandeng tangannya, mengajaknya ke tempat sunyi dan
menyampaikan nasehatnya serta tidak meremehkan penguasa dari Allah."
al-Masjid an-Nabawi Madinah
2 Muharram 1439 H.
2 Muharram 1439 H.