Tokoh-Tokoh Berpengaruh NU: Dari Hasyim Asy’ari sampai Presiden RI (Bag. 2)
BRNews - Peran NU dari sejak berdirinya, 1926, sampai hari ini cukup signifikan.
Tidak hanya dalam hal keagamaan, melainkan juga dalam bidang-bidang lain,
termasuk politik.
KH Abdul Wahab Chasbullah
Ia lahir pada bulan Maret 1888 di Tambakberas, Jombang. Nasabnya tidak jauh dari Hasyim Asy`ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dari Kiai Abdus Salam (Siapa dia?).
Ia lahir pada bulan Maret 1888 di Tambakberas, Jombang. Nasabnya tidak jauh dari Hasyim Asy`ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dari Kiai Abdus Salam (Siapa dia?).
Ayahnya, Chasbullah, adalah pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas. Ibunya,
Nyai Lathifah, juga putri kiai kondang (Siapa?).
Pendidikannya dihabiskan di pesantren, mulai dari Pesantren Langitan
(Tuban), Mojosari, Nganjuk, di bawah bimbingan Kiai Sholeh, Pesantren Cepoko,
Tawangsari (Surabaya), hingga Pesantren Kademangan, Bangkalan (Madura),
langsung berguru kepada Mbah Cholil. Kiai Cholil kemudian menganjurkannya
belajar ke Pesantren Tebuireng (Jombang).
Pada umur 27, ia pergi ke Makkah dan berguru kepada ulama-ulama besar
Indonesia yang bermukim di sana, seperti Kiai Mahfudz Termas, Kiai Muhtarom
Banyumas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Kiai Bakir Yogya, Kiai Asy`ari
Bawean. Ia juga belajar kepada tokoh-tokoh besar lain di sana yang bukan orang
Indonesia, seperti Syaikh Sa`id Al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened.
Sedikit mundur ke belakang, tahun 1914, ketika berumur 26 tahun, ia
mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) bersama K.H.
Mas Mansur.
Pada tahun 1916, ia mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan
Negeri) di Surabaya. Pengajarnya terdiri dari banyak ulama tradisional muda,
seperti K.H. Bisri Syansuri (1886-1980) dan K.H. Abdullah Ubaid (1899-1938),
yang di kemudian hari memainkan peranan penting di NU.
Masih pada tahun yang sama, bersama Kiai Hasyim Asy’ari (1871-1947), ia
mendirikan koperasi dagang Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) untuk
kalangan tradisionalis di kisaran Surabaya-Jombang.
Pada tahun 1920, ia juga aktif dalam Islam Studie Club, jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan tokoh-tokoh nasionalis modernis, seperti dr. Soetomo.
Pada tahun 1920, ia juga aktif dalam Islam Studie Club, jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan tokoh-tokoh nasionalis modernis, seperti dr. Soetomo.
Sejak 1924, Wahab Chasbullah telah mengusulkan agar dibentuk perhimpunan
ulama untuk melindungi kepentingan kaum tradisionalis.
Pada 31 Januari 1926, atas persetujuan Hasyim Asy`ari, ia mengundang para
ulama terkemuka dari kalangan tradisionalis ke Surabaya untuk mengesahkan
terbentuknya Komite Hijaz, yang akan mengirim delegasi ke kongres di Makkah
untuk mempertahankan praktek-praktek keagamaan yang dianut kaum tradisionalis.
Pertemuan 15 kiai terkemuka dari Jawa dan Madura itu dilakukan di rumah Wahab
Chasbullah di Kertopaten, Surabaya.
Pertemuan tersebut akhirnya juga menghasilkan kesepakatan mendirikan NU,
sebagai representasi Islam tradisional, untuk mewakili dan memperkukuh Islam
tradisional di Hindia Belanda.
Kemudian, MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia, Dewan Tertinggi Islam di
Indonesia), yang terbentuk pada September 1937, juga merupakan gagasan Wahab
Chasbullah dan Ahmad Dahlan Kebondalem (NU), Mas Mansur (Muhammadiyah), dan
Wondoamiseno (SI). Federasi organisasi Islam ini bertujuan meningkatkan
komunikasi dan kerja sama di antara umat Islam.
Namun kemudian MIAI dibubarkan oleh Jepang dan dibentuklah Masyumi pada
November 1943. Hasyim Asy`ari ditunjuk sebagai ketua umum dan Whab Chasbullah
sebagai penasihat dewan pelaksananya.
November 1945, Masyumi berubah menjadi parpol. Masyumi menjadi satu-satunya
kendaraan politik umat Islam. Hasyim Asy`ari menjadi ketua umum Majelis Syuro
(Dewan Penasihat Keagamaan), Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy`ari, menjadi
wakilnya, dan Wahab Chasbullah menjadi anggota dewan.
Selanjutnya, setelah NU menyetujui peran politik bagi Masyumi lewat
muktamar di Purwokerto (1946), orang-orang NU tampil di pemerintahan, yakni
Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan K.H. Fathurahman Kafrawi. Sedang Wahab
Chasbullah menjadi anggota DPA.
Tahun 1947, Wahab Chasbullah menjabat rais am NU.
Benih-benih krisis NU-Masyumi mulai tumbuh pada 1952. Saat itu Wahab
Chasbullah menjadi ketua Dewan Syuro. Maka ia sangat gencar mengkampanyekan
penarikan diri NU dari Masyumi. Dan secara resmi NU menarik diri dari Masyumi
pada 31 Juli 1952. Pada sidang parlemen 17 September 1952, tujuh anggota
parlemen dari NU menarik diri dari Masyumi. Di antaranya Wahab Chasbullah,
Idham Chalid, Zainul Arifin.
Mereka kemudian membentuk partai sendiri, NU. Akibatnya, Masyumi bukan lagi
partai terbesar. “Gelar” itu jatuh ke tangan PNI.
Pada Pemilu 1955, di luar dugaan, NU meraih tempat ketiga setelah PNI dan
Masyumi. Sejak itu kesibukan Wahab Chasbullah lebih banyak pada bidang politik
praktis di Jakarta, terutama sebagai anggota parlemen dan rais am NU.
K.H. Wahab Chasbullah wafat tanggal 29 Desember 1971,
pada usia 83 tahun, di rumahnya di Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang. (Bersambung...).