Tokoh-Tokoh Berpengaruh NU: Dari Hasyim Asy’ari sampai Presiden RI (Bag. 3)
BRNews - Peran NU dari sejak berdirinya, 1926, sampai hari ini cukup signifikan.
Tidak hanya dalam hal keagamaan, melainkan juga dalam bidang-bidang lain,
termasuk politik.
KH Bisri Syansuri
RUU Perkawinan, yang menyita banyak perhatian umat Islam pada tahun 1974, terselesaikan dan diterima umat Islam salah satunya karena peran besar KH Bisri Syansuri. Sebagai tokoh utama PPP, ia mengajukan amandemen besar atas RUU yang telah diajukan ke DPR RI. Rancangan tandingan yang dibuat bersama sejumlah ulama itu, setelah mendapat restu dari Majelis Syuro PPP, diperjuangkan di DPR hingga akhirnya disahkan.
RUU Perkawinan, yang menyita banyak perhatian umat Islam pada tahun 1974, terselesaikan dan diterima umat Islam salah satunya karena peran besar KH Bisri Syansuri. Sebagai tokoh utama PPP, ia mengajukan amandemen besar atas RUU yang telah diajukan ke DPR RI. Rancangan tandingan yang dibuat bersama sejumlah ulama itu, setelah mendapat restu dari Majelis Syuro PPP, diperjuangkan di DPR hingga akhirnya disahkan.
Begitu pula ketika ada usaha keras untuk mengganti tanda gambar PPP dari
Ka`bah ke bintang pada Pemilu 1977, ia tampil dominan dan berhasil
mempertahankan tanda gambar PPP.
Diakui atau tidak, ia adalah penerus Wahab Chasbullah, yang kebetulan
sahabat karib dan kakak iparnya, baik di NU, PPP, maupun DPR.
Setelah Wahab wafat pada 1971, ia menggantikan posisi kakak iparnya itu di
NU sebagai rais am. Tapi memang sejak adanya jabatan rais am, yang ditetapkan
setelah wafatnya Hasyim Asy’ari pada 1947, keduanya menjadi “dwi tunggal”
sebagai ketua dan wakil.
Bisri, anak nomor tiga dari lima bersaudara pasangan Syansuri dan Maiah,
lahir pada 18 September 1886/26 Dzulhijjah 1304 di Tayu, Jawa Tengah, daerah
yang kuat memegang tradisi ajaran Islam.
Umur tujuh tahun, ia belajar agama kepada Kiai Sholeh hingga umur sembilan
tahun. Setelah itu ia mempelajari hadits, tafsir, dan bahasa Arab kepada Kiai
Abdul Salam, salah seorang familinya yang hafal Al-Quran. Sesudah itu ia ke
Jepara belajar kepada Kiai Syu`aib Sarang dan Kiai Cholil Kasingan.
Umur 15 tahun ia menuju Bangkalan, Madura, berguru kepada Kiai Cholil. Di
sinilah ia berjumpa dan berteman akrab dengan Wahab Chasbullah.
Dari Bangkalan, ia menuju Jombang, berguru kepada K.H. Hasyim Asy’ari di
Pesantren Tebuireng.
Setelah enam tahun, ia mendapat ijazah untuk mengajarkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab fiqih Matn Az-Zubad.
Setelah enam tahun, ia mendapat ijazah untuk mengajarkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab fiqih Matn Az-Zubad.
Seusai dari Tebuireng, ia melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Makkah bersama
Wahab (1912). Di sana ia berguru kepada sejumlah ulama terkemuka, seperti K.H.
Muhammad Bakir, Syaikh Muhammad Sa`id Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, Syaikh
Jamal Maliki. Juga kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Syaikh Syu`aib
Dagestani, dan Syaikh Mahfudz Termas.
Tahun 1914 ia mempersunting adik Wahab Chasbullah, Nur Chadijah, di Tanah
Suci. Setelah itu, tahun itu juga, Bisri balik ke tanah air dan menetap di
Jombang, membantu mertuanya mengurus Pesantren Tambakberas.
Pada 1917, atas bantuan mertua, ia membuka pesantren sendiri di Desa
Denanyar, yang populer dengan sebutan Pesantren Denanyar. Tahun itu pula, kakak
iparnya, Wahab, pulang kampung. Bisri ikut terlibat dalam sepak terjang Wahab
ketika mendirikan Komite Hijaz dan pembentukan NU pada 31 Januari 1926 di
Kertopaten, Surabaya.
Dalam proses pendirian NU, Bisri menjadi penghubung antara Kiai Wahab dan
Kiai Hasyim Asy`ari.
Segera setelah NU terbentuk, sebagai pembantu dalam susunan pengurus besar,
ia menjadi motor penggerak di Jombang dan daerah pesirir utara Jawa. Posisi itu
membuatnya dikenal secara luas.
Rumah tangga Bisri dikaruniai sepuluh anak, tapi ada beberapa yang
meninggal waktu kecil. Di antaranya anaknya itu, Solichah, dinikahkan dengan
Wahid Hasyim, putra sulung Hasyim Asy`ari, gurunya.
Ketika Masyumi terbentuk, ia pun aktif di dalamnya. Periode kemerdekaan
juga membawanya pada fase perjuangan bersenjata. Di
pemerintahan, ia mula-mula duduk di Komite Nasional Indonesia Pusat, mewakili
Masyumi. Tahun 1855 ia terlibat dalam Dewan Konstituante hasil pemilu, mewakili
NU. Pada Pemilu 1971 ia terpilih masuk DPR.
K.H. Bisri Syansuri menutup mata beberapa bulan
setelah terpilih menjadi rais am NU dalam Muktamar Semarang Juni 1979, tepatnya
pada 25 April 1980, dalam usia 94 tahun.