Menyiapkan Generasi Ulama Yang Intelektual dan Intelektual Yang Ulama
Oleh Drs. Muharom; Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Siak
Selama ini di tengah masyarakat terjadi dikotomi (pemisahan) pemahaman antara ulama dan intelektual. Padahal, antara ulama dan intelek seperti dua sisi dalam satu mata uang logam. Karena pemahaman keliru ini, maka ulama sekarang adalah sebatas menguasai ilmu agama saja, tidak mau belajar ilmu pasti dan umum lainnya. Begitu juga sebaliknya, intelek ya sebatas menguasai ilmu pasti dan umum saja, tidak ada keinginan menguasai ilmu agama. Padahal, ulama-ulama terdahulu, kita mengenal mereka sebagai sosok-sosok yang menguasai ilmu agama, juga menguasai ilmu seperti matematika, fisika, humaniora, dan lain-lain.
Selama ini di tengah masyarakat terjadi dikotomi (pemisahan) pemahaman antara ulama dan intelektual. Padahal, antara ulama dan intelek seperti dua sisi dalam satu mata uang logam. Karena pemahaman keliru ini, maka ulama sekarang adalah sebatas menguasai ilmu agama saja, tidak mau belajar ilmu pasti dan umum lainnya. Begitu juga sebaliknya, intelek ya sebatas menguasai ilmu pasti dan umum saja, tidak ada keinginan menguasai ilmu agama. Padahal, ulama-ulama terdahulu, kita mengenal mereka sebagai sosok-sosok yang menguasai ilmu agama, juga menguasai ilmu seperti matematika, fisika, humaniora, dan lain-lain.
Jika kita membaca
biografi para ulama-ulama panutan ummat, tidak sedikit dari mereka yang memiliki
keahlian diluar keahlian mereka di dalam ilmu syar’i. Sebut saja semisal Imam
an-Nawawi yang luar biasa itu, kebanyakan kaum muslimin hanya mengetahui beliau
sebagai seorang ahli fiqih, ahli hadits dan ilmu-ilmu syar’I lainnya, padahal,
jika kita membaca bagaimana ketika beliau men-syarh hadits-hadits yang berkaitan tentang pengobatan sebagaimana
dalam kitabnya al-Minhaj, sungguh
kita akan tercengang kalau ternyata beliau juga seorang ‘alim dibidang
kedokteran. Lain lagi tentang sosok yang satu ini, yakni Imam Ibnu Qoyyim
al-Jauziyyah, seorang ulama besar dalam madzhab hanbali ini selain dikenal ahli
aqidah, fiqih, hadits, tarikh dan keilmuan islam lainnya, siapa sangka beliau
ternyata seorang ilmuan. Hal ini terbukti dalam kitabnya Zaad al-Ma’ad bagaimana beliau meneliti dan berhasil membuktikan perbedaan
tangisan air mata sedih, bahagia, sakit dll.
Untuk itu Kita perlu memiliki suatu sistem kaderisasi
yang mampu melahirkan ulama dan cendekiawan yang mumpuni secara intelektual
sekaligus teladan dalam akhlak. Upaya kaderisasi ini, merupakan
implementasi salah satu firman Allah dalam al- Quran Surat
at Taubah ayat 122. Dalam firman Allah tersebut,
Islam mengakui peran strategis kelompok ulama, dan menempatkannya secara
istimewa. Harus ada kelompok tafaqquh fii
ad diin, sekelompok orang berilmu yang mampu mengingatkan dan
menjaga ummat melalui pemahaman agama dan akidah yang benar.
Langkah strategis untuk menguraikan beberapa
penekanan yang perlu dilakukan dalam melahirkan kelompok tafaqquh fii ad diin sebagaimana hasil
rumusan ahli pendidikan Islam Indonesia Dr. Ahmad ‘Alim, MPd;
Pertama, Ilmu. Paradigma ilmu pengetahuan yang
berkembang di Barat yang dikotomis. Agama sebagai sistem nilai dicerabut dari
ranah pengetahuan. Sementara dalam Islam, agama khususnya wahyu merupakan
sumber ilmu yang memiliki derajat lebih tinggi dibanding sumber lain yang
diperoleh melalui pengamatan maupun penalaran. Membangun kembali paradigma
integratif tentang ilmu pengetahuan merupakan salah satu tugas besar dalam
proses kaderisasi ulama.
Kedua, Adab. Selain agama, adab merupakan hal lain
juga mulai dipinggirkan dalam tradisi keilmuan. Akhlak dan keteladanan seorang
ilmuwan seringkali dilihat sebagai persoalan lain yang terpisah dalam
kompetensi keilmuan. Ilmuwan seakan-akan cukup diapresiasi dari aspek
intelektualitasnya saja, tidak dari aspek adabnya. Mengintegrasikan kembali
aspek adab dengan intelektual sebagai kompetensi seorang ilmuwan jadi hal
penting lain yang perlu diwujudkan.
Ketiga, Dakwah. Dakwah merupakan tanggungjawab
setiap individu muslim, terlebih lagi seorang ulama. Kemanfaatan ilmu seorang
ilmuwan muslim harus diukur sejauh mana ilmu yang dimilikinya dimanfaatkan
untuk menyebarkan nilai-nilai Islam menjadi sesuatu yang bersifat rahmatan lil alamiin. Slogan
“ilmu untuk ilmu” menjadi hal yang perlu dikikis dalam pemahaman kader ulama.
Keempat, kemandirian. “Mukmin yang kuat lebih dicintai daripada mukmin yang lemah” (HR. Muslim,
Ahmad dan Ibnu Majah). Penekankan
terhadap aspek kemandirian seorang ulama merupakan penerapan hadits ini. Amanah
dakwah tidak hanya meminta kesiapan sumber daya manusia, juga kekuatan sumber
daya materi. Membangun kader ulama yang memiliki jiwa mandiri merupakan upaya
menjawab kebutuhan dakwah terhadap kesiapan umat dalam bentuk materi.
Keempat
hal inilah, yang menjadi perhatian khusus para ulama dan
cendekia agar peradaban Islam dapat dibangun dengan saling berintegrasi bahwa
pada hakikatnya semua ilmu milik Allah, maka sudah semestinya apapun bidang
keahliannya haruslah dipergunakan untuk menegakkan agama Allah dan semata-mata
hanya untuk mengharap ridho Allah, jangan sampai kita terhitung seperti bal’am
yang menjual agama hanya untuk dunia. Wal
iyadzu billah.
https://riau.kemenag.go.id/opini/492/Memperiapkan-Generasi-Ulama-yang-Intelektual-Intelektual-yang-Ulama.