Masjid Al Jihad Cikarang

(lukman hakiem)
BRNews -Masjid Al-Jihad. Masjid dua lantai di Jl. Yos Sudarso, Cikarang, Bekasi ini menyimpan banyak kenangan. Dibangun pada pertengahan 1960-an, masjid semula mushalla kecil. Mushalla itu punya kolam wudu dengan bibir kolam yang lebar. Di bibir kolam itulah saya dan para bocah suka menelungkup jika rasa dahaga di siang Ramadhan mulai mendera. Dengan menelungkup begitu, perut terasa dingin.
Pada 1968, selesainya pembangunan lantai pertama ditandai dengan tablig akbar pada malam hari, dan shalat Jum'at keesokan harinya. Muballigh pada tablig akbar ialah tokoh Masyumi yang pertama kali menjadi gubernur Bank Indonesia, Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Sedangkan imam dan khatib shalat Jum'at ialah mantan Sekretaris Jenderal Masyumi, K. H. Taufiqurrahman.
Saya masih ingat, tabligh Pak Sjafruddin, dimuat di harian Abadi. Jamaah pun berebut hendak membaca berita di koran yang pada 1974, tidak lama sesudah peristiwa Malari, diberangus oleh rezim Orde Baru itu.
Selain Pak Sjafruddin, tokoh-tokoh seperti M. Husnie Thamrin (Ketua Umum KAPPI), Abdul Qadir Djaelani (PII), Endang Basri Ananda (PII), Mayor Amiruddin Siregar (Pusroh TNI-AD), A. K. Basuni (ulama Jawa Barat) dan Fahmi Idris (tokoh demonstran Angkatan 1966) pernah mengisi tabligh akbar di masjid ini.
Pengajian mingguan juga sangat aktif di masjid. K. H. A. Karim Halim M. A. (tokoh PUI), Drs. K. H. Sjatiri Ahmad (Atthahiriyyah, Jakarta), dan K. H. Muhadjirin (An-Nida Bekasi) adalah tokoh-tokoh yang pernah mengasuh pengajian mingguan di Al-Jihad.
Di luar pengajian mingguan, ada tradisi khas Al-Jihad yaitu pengajian sebelum khutbah Jum'at. Pengajian ini diasuh oleh K. H. M. Rojani sejak Al-Jihad berdiri sampai beliau wafat di awal 2000-an.
Yang unik lainnya dari Al-Jihad, tiap subuh hari Jum'at, imam H. Adung Abdussalam, selalu membaca pada rakaat pertama, ayat-ayat sajadah. Dan makmum ikut imam untuk bersujud tilawah. Sujud tilawah di subuh Jum'at itu baru saya temui lagi bertahun kemudian di sebuah masjid di Kotagede, Yogyakarta.
Pada saat Ramadhan seperti sekarang, kenangan terhadap Masjid Al-Jihad muncul kembali. Selama Ramadhan, setelah tarawih saya ikut tadarus. Menjelang sahur, saya dan para bocah keliling kampung membangunkan sahur dengan berbagai alat bunyi-bunyian. Maka, praktis selama Ramadhan saya tidur di masjid. Kadang-kadang, atau sering kali, sesudah shalat subuh, saya melanjutkan tidur di masjid.
Suatu hari, bangun tidur, saya melihat sopir truk yang hendak membawa batu-bata ke Jakarta. Sopir saya kenal baik. Iseng saya tanya, bolehkah saya ikut ke Jakarta. Dan sang sopir mempersilahkan. Maka, saya pun "ngabuburit" dengan truk batu-bata itu ke Jakarta. Aneh, meskipun pulang-pergi di atas truk, puasa saya tidak batal.
Mengapa sebulan Ramadhan saya bisa hidup di masjid? Itu karena sebelum 1978, sekolah --terutama SD-- libur sebulan penuh. Dan para bocah, tentu dengan arahan orang tua, mengisi Ramadhan dengan aktif di masjid. Aktivitas masa kecil itu, sampai hari ini tidak pernah hilang dari ingatan saya. Benarlah kata pepatah Arab: "Belajar di masa kecil, ibarat memahat di atas batu." Sampai kapanpun tidak akan hilang.
Lukman Hakiem, peminat sejarah.
 

Subscribe to receive free email updates: