Keindonesiaan dan Keislaman
20 May 2017
BPUPKI
,
Keindonesiaan
,
Keislaman
,
KH. Shalahuddin Wahid
,
Kualitas Keislaman
,
Pancasila
Di dalam BPUPKI (Mei-Juni 1945), muncullah pertentangan
antara keindonesiaan dan keislaman, yakni ketika kalangan ”nasionalis
Islam” mengusulkan dasar negara Islam dan kalangan ”nasionalis
Pancasila” mengusulkan dasar negara Pancasila. Komprominya ialah ”Piagam
Jakarta”, yang di dalamnya terkandung dasar negara Pancasila dengan
sila pertama ”Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi
Pemeluk-pemeluknya”.
Ternyata kompromi itu masih ditolak kalangan ”non-Islam”
pada 17 Agustus 1945. Maka, para tokoh Islam dengan lapang dada
menyetujui dicoretnya anak kalimat ”dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menyetujui rumusan: ”Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Itulah keberhasilan awal dari upaya memadukan keindonesiaan
dan keislaman.
Keberhasilan kedua upaya memadukan keindonesiaan dan
keislaman ialah ketika para ulama di bawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari
mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad (22 Oktober 1945), yang mengilhami dan
mendorong para pemuda Muslim untuk bertempur melawan tentara Sekutu
pada 10 November 1945. Jihad, sebuah istilah agama, digunakan untuk
perjuangan bersifat kebangsaan.
Para tokoh Islam berhasil dalam perjuangan mendirikan
Departemen Agama pada Januari 1946. Itu adalah keberhasilan ketiga upaya
memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Pada 1951, Menteri Agama KH A Wahid Hasyim dan Menteri
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Bahder Johan (keduanya dari
Partai Masyumi) membuat nota kesepahaman tentang pendirian madrasah
ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah. Ini adalah
keberhasilan keempat dalam memadukan keindonesiaan dan keislaman, yang
memberi tempat bagi pendidikan Islam di dalam sistem pendidikan
nasional. Pendidikan Islam dalam bentuk pesantren sebenarnya sudah aktif
500 tahun sebelum Belanda mendirikan sekolah di Hindia Belanda pada
1840, yang menjadi cikal bakal pendidikan nasional Indonesia.
Menerima asas Pancasila
Pertentangan antara keindonesiaan dan keislaman muncul
kembali ketika partai-partai Islam (Masyumi, Partai NU, PSII, Perti,
AKUI) memperjuangkan dasar negara Islam dalam Konstituante pada
1956-1959. Perjuangan itu gagal karena kalah dalam pemungutan suara.
Pertentangan antara keindonesiaan dan keislaman berlanjut
dalam Pemilu 1971, ketika partai-partai Islam (Partai NU, Parmusi, PSII,
dan Perti) berkampanye untuk memperjuangkan dasar negara Islam. ABRI
dan aparat pemerintah Orde Baru berjuang untuk mengalahkan partai-partai
Islam dengan segala cara. Kursi yang diperoleh partai-partai Islam jauh
di bawah jumlah kursi pada Pemilu 1955. Berarti kedudukan partai-partai
Islam di dalam DPR amat lemah.
Pada 1973 dilakukan pembahasan terhadap RUU Perkawinan,
yang beberapa pasal di dalamnya dianggap oleh para ulama bertentangan
dengan hukum Islam. Yang paling penting ialah Pasal 2, yang rumusan
awalnya ialah ”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut UU ini”.
Syuriah PBNU yang dipimpin Rais Aam KH Bisri Syansuri (murid KH Hasyim
Asy’ari) menolak rumusan tersebut dan mengusulkan supaya diganti menjadi
”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya”. Kalangan non-Islam tentu saja menolak usul
tersebut karena hal itu berarti menerima syariat Islam yang partikular
ke dalam sistem perundang-undangan kita. Presiden Soeharto menyetujui
usulan para ulama itu. Ini adalah keberhasilan kelima dalam upaya
memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Pemerintah pada awal 1980-an berusaha supaya Pancasila
menjadi satu-satunya asas bagi parpol dan ormas yang ada di Indonesia.
Menghadapi situasi seperti di atas, Syuriah PBNU membentuk sebuah tim
untuk mengkaji ”hubungan antara Islam dan Pancasila”. Tim terdiri atas
sejumlah ulama mumpuni yang dipimpin KH Ahmad Siddiq, alumnus Pesantren
Tebuireng yang pernah mengaji langsung kepada KH Hasyim Asy’ari.
Berdasar dokumen ”Hubungan Islam Pancasila” yang disusun tim di atas,
Muktamar NU 1984 di Situbondo memutuskan untuk menerima secara resmi
Pancasila sebagai dasar negara. Langkah itu lalu diikuti oleh PPP dan
semua ormas Islam, kecuali beberapa ormas yang jumlahnya amat sedikit.
Ini adalah keberhasilan keenam dari upaya memadukan keindonesiaan dan
keislaman.
Pada 1989, DPR membahas RUU Peradilan Agama sebagai
lanjutan dari UU No 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Kembali muncul konflik antara keindonesiaan dan keislaman
sehingga terjadi perdebatan panas antara yang menyetujui dan menolak RUU
tersebut. Pada 29 Desember 1989, RUU tersebut disetujui menjadi UU No
7/1989. Muktamar NU 1989 di Pesantren Krapyak DI Yogyakarta menghargai
pengesahan UU tersebut. Ini adalah keberhasilan ketujuh dari upaya
memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Setelah itu, masih terdapat banyak lagi keberhasilan dalam
memadukan keindonesiaan dan keislaman, seperti UU Perbankan Syariah, UU
Haji, dan UU Wakaf. Selain itu, UU Sistem Pendidikan Nasional (2003)
memasukkan pesantren ke dalam nomenklatur pendidikan Indonesia sehingga
memberikan peluang lebih luas bagi pesantren untuk mengembangkan diri.
Di dalam masyarakat kini tampak peningkatan minat masyarakat untuk
mengirim siswa ke pesantren dan juga minat untuk mendirikan pesantren.
Jumlah pesantren yang pada 1999 hampir 10.000 kini mendekati angka
30.000, yang keseluruhannya adalah milik swasta.
Kondisi mutakhir
Saat ini ada gejala munculnya kembali konflik antara
keindonesiaan dan keislaman. Gejala itu terjadi dalam kaitan pemilihan
gubernur DKI Jakarta. Ada kelompok yang menganggap bahwa merekalah yang
”paling Islam” dan sebaliknya juga ada kelompok yang menganggap bahwa
merekalah yang ”paling Indonesia”. Yang memilih Ahok-Djarot dianggap
anti-Islam dan munafik, sedangkan yang memilih Anies-Sandi dianggap
anti-Indonesia, intoleran, dan anti-kebinekaan. Kedua anggapan itu
keliru.
Kalau kita pelajari kembali proses penyusunan UUD pada
1945, ada keinginan tokoh-tokoh Islam supaya presiden RI adalah orang
Indonesia asli dan beragama Islam. Setelah melalui musyawarah,
tokoh-tokoh Islam yang menyusun UUD menyetujui bahwa syarat ”harus
beragama Islam” itu dibatalkan. Kesediaan tokoh dan umat Islam menghapus
syarat harus beragama Islam bagi presiden sebenarnya sudah menunjukkan
toleransi mereka.
Akan tetapi, mereka yang tidak memilih non-Muslim karena
alasan keagamaan tidak bisa dianggap sebagai orang yang tidak toleran
atau melanggar UUD atau merusak kebinekaan. Itu didasarkan pada Pasal 29
Ayat 2 UUD 1945. Yang perlu dijaga ialah cara menyampaikan pendapat
itu, jangan sampai memakai bahasa yang menyinggung atau mengandung nada
kebencian. Juga perlu diperhatikan tempat dan waktu dalam menyampaikan
pendapat tersebut.
Sebenarnya konflik dalam kaitan pemilihan gubernur DKI
Jakarta bukanlah antara umat Islam dan umat non-Islam. Akan tetapi,
justru terjadi antara kelompok dalam umat Islam: antara yang menyetujui
calon non-Muslim dan yang menolak calon non-Muslim. Perbedaan pandangan
itu terjadi karena perbedaan penafsiran terhadap Surat Al-Maidah Ayat 51
dan sejumlah surat lain.
Di dalam kalangan Islam sejak abad pertama Hijriah sudah
terdapat dua aliran besar dalam menafsirkan ayat-ayat suci. Aliran
pertama berpendapat bahwa syariat Islam bersifat dogmatis dengan
berpegang pada teks nash murni tanpa menggunakan potensi akal. Tokoh
utama aliran ini adalah Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas, Amr bin Ash.
Aliran kedua berpendapat bahwa syariat itu bersifat rasional, maka dalam
menafsirkan teks suci, kita perlu mengoptimalkan penggunaan potensi
akal. Tokoh-tokohnya ialah Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Khattab, dan
Ali bin Abi Thalib. Menyikapi adanya dua kelompok seperti di atas, kedua
pihak harus saling menghormati pilihan masing-masing. Tidak perlu
saling menyalahkan, saling menyerang, atau saling mengejek.
Konflik keindonesiaan dan keislaman itu mungkin meluas pada
Pilkada 2018. Kalau pada Pilpres 2019 konflik semacam itu masih
terjadi, hal itu berpotensi mengancam persatuan Indonesia. Perlu ada
upaya untuk meredamnya. Perlu dilakukan dialog antarkelompok di dalam
Islam maupun dengan kalangan agama lain untuk meredamnya. Dalam dialog
itu perlu dibahas dengan rinci apa yang dimaksud dengan ”politisasi
agama”, apa yang dimaksud dengan ”isu SARA” (suku, agama, ras, dan
antargolongan). Dialog itu harus dilakukan dengan hati dan kepala dingin
supaya dapat menghasilkan kesepakatan yang bisa diikuti dalam praksis
sehari-hari. Memang perlu waktu yang cukup untuk bisa mendinginkan
suasana.
Pertanyaannya: siapa pihak yang akan memprakarsai dialog
itu dan siapa tokoh yang akan mewakili kedua pihak? Berapa jumlahnya?
Kapan saat yang tepat untuk memulai dialog? Di mana dialog itu diadakan?
Pihak yang memprakarsai dialog ialah pihak yang dapat diterima oleh
kedua kelompok. Ramadhan dan Syawal adalah saat yang tepat untuk
mengadakan dialog. Tempatnya harus mendapat persetujuan kedua kelompok.
Gedung MPR dan rumah di Jalan Imam Bonjol tempat para pendiri
merumuskan naskah proklamasi pada Agustus 1945 dapat dijadikan
alternatif tempat dialog diadakan.
Dalam dialog itu harus disampaikan secara jelas dan terbuka
apa saja keinginan kedua kelompok dan apa saja yang tidak diinginkan
oleh kedua kelompok. Sejumlah keberhasilan memadukan keindonesiaan dan
keislaman yang telah menjadi modal berharga bangsa Indonesia harus
menjadi acuan di dalam dialog tersebut. Kelompok yang seusai putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Ahok mengeluarkan seruan untuk
menjaga keindonesiaan perlu memahami bahwa yang juga perlu dijaga adalah
keterpaduan keindonesiaan dan keislaman karena itu adalah faktor utama
persatuan Indonesia.
(Kompas Edisi Selasa 16 Mei 2017).