Himpunan Ilmuan Muhammadiyah; Penetapan Waktu Shalat Subuh Perlu Dikoreksi
BRNews - Waktu masuknya awal shalat subuh yang digunakan di Indonesia
selama ini terlalu dini 20-30 menit dari yang seharusnya sehingga perlu
dikoreksi, kata Ketua Himpunan Ilmuwan Muhammadiyah Prof Tono Saksono.
"Ini hasil riset kami dengan alat Sky Quality Meter (SQM), pengukur kecerlangan benda langit," kata Ketua Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) itu pada Seminar Evaluasi Awal Waktu Shalat Subuh Menurut Sains dan Fikih di Jakarta, Selasa 9 Mei 2017.
"Ini hasil riset kami dengan alat Sky Quality Meter (SQM), pengukur kecerlangan benda langit," kata Ketua Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) itu pada Seminar Evaluasi Awal Waktu Shalat Subuh Menurut Sains dan Fikih di Jakarta, Selasa 9 Mei 2017.
Ia mengatakan selama ini fajar dianggap telah terbit saat matahari
pada posisi sudut depresi 20 derajat di bawah ufuk yang setara dengan 80
menit sebelum matahari terbit.
Padahal dari hasil observasi sementara, fajar dimulainya shalat
subuh bagi umat Islam Indonesia baru terjadi saat sudut depresi matahari
pada kisaran 11-15 derajat di bawah ufuk atau bila dikonversi dalam
domain waktu setara dengan 44-60 menit sebelum matahari terbit.
"Tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa sinar fajar
sebagai tanda awal subuh telah muncul saat matahari berada pada sudut
depresi 20 derajat," katanya.
Menurut dia, penentuan 20 derajat di bawah ufuk merupakan keputusan
ulama melayu di masa lalu untuk menentukan awal masuknya waktu shalat
subuh dan dimulainya puasa, termasuk digunakan pula oleh ulama Malaysia.
"Tapi zaman dulu memang belum ada peralatan secanggih saat ini dan
masih mengandalkan pengamatan dengan mata telanjang, jadi wajar jika
tidak akurat," katanya.
Sementara itu Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(Lapan) Prof Dr Thomas Djamaluddin mengatakan penggunaan standar 20
derajat di bawah ufuk itu memang sudah waktunya dikoreksi, namun perlu
pengamatan dari lokasi yang gangguan atmosfernya minimal sehingga tidak
akan mendistorsi hasil data yang diperoleh.
Menurut dia, ketetapan minus 20 derajat tersebut tampaknya
diperoleh ulama masa lalu dari standar yang digunakan di Mesir, 19,5
derajat atau dari Saudi Arabia 18 derajat di bawah ufuk, padahal posisi
negara-negara tersebut ada di lintang tinggi sementara Indonesia ada di
katulistiwa.
Sementara itu, Wakil Rektor Uhamka Zamah Sari mengatakan untuk
mengoreksi standar yang digunakan selama ini masih membutuhkan pengujian
lanjutan baik dari sisi astronomi juga dari pemahaman fikih.
"Masih perlu waktu panjang, seperti kesepakatan organisasi Islam
lainnya, lalu kemudian diserahkan kepada Majelis Ulama Indonesia untuk
dibuatkan fatwanya," kata tokoh Muhammadiyah ini.
Wakil Ketua Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Sirril Wafa
mengatakan NU siap membuka peluang untuk berubah dan mengusulkan
perlunya kerja sama riset terkait astronomi antara NU, Muhammadiyah,
MUI, Lapan dan lainnya.(jurnalhajiumroh.com)