Syarat-Syarat Yang Diperlukan Bagi Seorang Penafsir Al-Qur’an
BRNews - Seorang penafsir Al-Qur’an
mendapat tugas ilmiah yang maha berat karena materi yang ditafsirkan
adalah kitabullah “Azza wa Jalla,
Al-Qur’anul Karim.” Dalam melaksanakan tugas itu ia bukanlah menafsirkan
kata-kata atau ucapan makhluk manusia seperti dirinya, tetapi menafsirkan Kalam Allah, Zat Maha Pencipta. Jadi
jelas, tugas itu memang sulit dan besar bahayanya.
Pada bagian pendahuluan kitab Al-Kasysyaf karangan Az-Zamakhsyari dibicarakan tentang kesulitan
ilmu tafsir, perbedaan kemampuan para ulama dalam menjangkau rahasia yang
tersirat pada ayat-ayat Al-Qur’an dan perbedaan akan kesanggupan menemukan
“mutiara” maknanya serta menyelami inti hakekatnya. Kemudian ia menunjuk
syarat-syarat yang harus dimiliki bagi seseorang yang hendak menafsir
Al-Qur’an. Antara lain dicatat sebagai berikut;
“Pada dasarnya tingkat ilmu dan pengetahuan yang dimiliki
oleh masing-masing ulama tafsir rata-rata tidak seberapa jauh berbeda, kalau
tidak dapat dikatakan sama. Jika yang satu melebihi yang lain, itupun dalam
kadar kelebihannya yang sangat kecil. Perbedaan sebenarnya hanya terletak pada
kemampuan mengungkap makna ayat-ayat yang bersifat rahasia, samar dan tersembunyi
di belakang kata-kata atau kalimat. Itulah kadang-kadang yang membuat mereka
berbeda pendapat dan berselisih.
Kenyatannya memang makna yang tersirat hanya dapat
diungkapkan oleh satu diantara seribu orang ulama, yaitu dia yang telah
mencapai puncak ilmu pengetahuan setinggi-tingginya. Sedang mereka yang berada
di bawahnya, baik yang termasuk orang khawas
ataupun awam, pada umumnya adalah “buta”, tidak sanggup menjangkau dengan
akal fikirannya perihal hakekat makna Qur’an. Pada galibnya mereka itu hanya bertaqlid mengikuti yang sudah ada.
Kendatipun manusia telah menguasai berbagai jenis ilmu
pengetahua, dan mutu ilmu yang dimilikinya sedemikian tinggi sehingga sanggup
menembus berbagai rahasia dan keanehan, namun untuk memenuhi kebutuhan Qur’an,
ilmu-ilmu tersebut belumlah sepenuhnya memadai.
Al-Jahidz, dalam kitabnya Nidzamul Qur’an mengatakan bahwa betap pun menonjolnya seorang ahli
fiqh dalam ilmu fatwa dan hokum, betapa pun tenarnya seorang ahli ilmum kalam karena sedemikian
mahir ia menyusun agumentasi, betap pun ia lebih mengenal keadaan penduduk
negeri lain disbanding penduduk negerinya sendiri, betapa pun pandainya seorang
guru memberikan pelajaran sehingga melebihi Hasan Al-Bashri, betapa pun
tingginya tingkat ilmu seorang ahli nahwu sehingga menandingi Sibawaih, betapa
pun hebatnya seorang ahli ilmu bahasa sehingga mampu menguasai ilmu itu di luar
kepala, tapi tak seorang pun dari mereka itu sanggup menembus semua rahasia
Qur’an dan mampu menyelami hakekat maknanya kecuali setelah benar-benar
menguasai dua jenis ilmu yang khusus berkenaan dengan Al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’ani dan ilmu Bayan.
Setelah ia mempelajari, menggali dan menguasai kedua jenis
ilmu itu dalam waktu yang cukup lama, barulah ia dapat mempergunakannya sebagai
alat untuk memahami dengan baik hujjah dan
dalil-dalil Ilahi yang terdapat dalam ayat-ayat Qur’an sebagai mu’jizat Rasul
Allah. Untuk mencapai kedua ilmu tersebut, terlebih dahulu orang harus
mempelajari berbagai macam cabang ilmu lainnya yang diperlukan untuk menggabungkan
dua metode tersebut, yaitu metode penyelidikan dan metode pencatatan. Ia haus
berani berulang-ulang meninjai persoalan. Meskipun satu persoalan telah
dipelajarinya sekian lama, tetapi tetap perlu ditinjau lagi berkali-kali. Ia
harus banyak membaca berbagai buku dan kitab, dan harus benar-benar menguasai
ilmu I’rab (cabang dari ilmu nahwu untuk mengetahui makna dari
perubahan kedudukan setiap kata dalam kalimat).
Selain itu, seorang penafsir harus berwatak jujur, lapang
dada, bertekad keras, berjiwa sabar, berpandangan tajam terhadap setiap
persoalan betapa pun kecilnya, bersikap hati-hati menghadapi setiap isyarat
yang terbersit dari Qur’an sekalipun tidak sedemikian jelas kelihatan. Kecuali
itu, dia bukan pula seorang yang beberangai kasar dan berhati keras. Ia harus
memiliki pengetahuan luas mengenai puisi dan prosa, punya pengalaman dalam
berbagai eksperimen dan penelitian serta mengetahui benar cara mengatur dan
menyusun kalimat untuk menghindari kesempitan makna atau kemungkinan
tergelincir.”
Para ulama zaman dahulu banyak bicara tentang ilmu-ilmu yang
diperlukan untuk sebuah tafsir Qur’an. Diantara merka yang menekankan soal itu
ialah As-Sayuti. Dalam kitabnya Al-Itqan,
diuraikan beberapa jenis ilmu yang sangat diperlukan yaitu:
Pertama, ilmu bahasa. Ilmu ini diperlukan untuk mengetahui
arti kosakata (perbendaharaan kata) dan maknanya menurut letak masing-masing
kata dalam rangkaian kalimat. Jadi tidak cukup kalau hanya menguasai ilmu
bahasa secara sederhana saja. Ada akalnya satu kata mengandung makna ganda.
Apabila yang diketahui hanya satu kata saja dari maknanya sedang yang lain
tidak, bagaimana kalau terjadi bahwa makna yang itulah yang justru dimaksud
oleh kata itu?
Mengenai syarat penguasaan bahasa ini Mujahid, seorang ulama
besar berkata: “Orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak
diperkenankan berbicara tantang kitabullah (yakni menafsirkan Qur’an) jika ia
tidak mengetahui berbagai dialek bahasa Arab”.
Kedua, ilmu Nahwu. Ilmu ini amat diperlukan mengingat suatu
kata dapat berubah maknanya dan punya arti lain disebabkan karena perubahan I’rabnya. Semua bentuk I’rab harus benar-benar dikuasai agar dapat ditentukan makna yang
dimaksud dalam susunan kalimat yang dibentuk berdasarkan suatu I’rab. Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a,
pernah ditanya tentang pentingnya belajar bahasa Arab (yang dimaksud ialah
belajar ilmu I’rab) supaya seorang
dapat mengucapkan kata-kata dengan tepat serta membaca dengan baik. Atas
pertanyaan itu Hasan menjawab; “Baik, pelajarilah itu, karena orang yang
membaca Qur’an tetapi lemah pengetahuannya mengenai I’rab ia akan celaka”. Yang
dimaksud I’rab dalam hal ini itulah ilmu Nahwu.
Ketiga, Tashrif, (ilmu sharaf). Dengan menguasai ilmu sharof)
seorang penafsir dapat mengetahui bentuk kata-kata yang berubah dan yang tidak
berubah (mu’rab dan mabni) serta
dapat merasakan pula paradigm (mizan)
setiap kata, bentuk serta sifatnya. Dengan demikian pada saat dijumpainya
kata yang ruwet, akan segera diketahui
akar-katanya serta maknanya. Orang yang tidak menguasai ilmu shorof niscaya akan mengalami kekeliruan
yang menggelikan dalam menafsirkan ayat-ayat Qur’an.
Keempat, Ilmu Etimologi,
yaitu ilmu tentang asal-usul kata. Ilmu ini digunakan untuk mengetahui dasar
pembentukan kata-kata yang melahirkan kata-kata serumpun dengan makna yang
berlainan. Umpamanya, setiap kata benda yang berasal dari kata-kata yang
berbeda tentu mempunyai makna yang berlainan pula. Contoh: kataal-masih apakah kata itu berasal dari
akar kata siyaha (perjalanan,keliling,
wisata, tour) ataukah masaha
(menghapus, mengusap)?
Kelima: tiga cabang ilmu retorika (balaghah), yaitu ma’ani.
Bayan dan Badi: dengan ma’ani seorang penafsir dapat menguasai
kekhususan suatu susunan kalimat sehingga dapat menarik segi maknanya yang
tepat. Dengan bayan, dapat diketahui
suatu susunan kalimat yang spesifik sesuai dengan kejelasan atau kesmaran arti
dan makna yang dimaksud. Dengan Badi;
diungkap segi keindahan yang ada pada susunan kalimat. Mengenai tiga cabang
ilmu retorika itu As-Sayuti mengatakan: tiga macam ilmu tersebut adalah ilmu retorika (balaghah). Semuanya meruapakan syarat sangat penting yang harus
dikuasai seorang yang ingin menjadi ahli tafsir Qur’an. Hal ini mengingatkan
kebutuhan akan memahami ayat-ayat yang sukar dan yang dapat dimengerti
maksudnya hanya dengan ilmu-ilmu tersebut;
Keenam: ilmu membaca (qiraat).
Ilmu yang ini membuat orang dapat menjabarkan bagaimana ayat-ayat Qur’an harus
diucapkan. Dengan pembacaan yang tepat dan benar maka beberapa segi penafsiran
yang terkandung di dalam bagian-bagian Qur’an dapat lebih jelas dan lebih mantap.
Ketujuh: ilmu ushuluddin,
yaitu kaidah-kaidah yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah dan iman. Dengan
ilmu usuhuluddin orang dapat mencari
dalil-dalil pembuktian dari Qur’an mengenai pelbagai masalah yang mustahil,
yang wajib dan yang jaiz (mungkin).
Kedelapan: ilmu Ushulul
Fiqh, yaitu poko-pokok hokum syariat Islam. Ilmu ushul fiqh guna mencapai
segi pembuktian mengenai soal-soal hokum agama Islam.
Kesembilan: ilmu asbabunnuzul,
yaitu pengetahuan tentang sebab turunya masing-masing ayat Qur’an. Pengetahuan
ini dipakai untuk memahami dengan jelas maksud setiap ayat dalam Qur’an.
Kesepuluh: pengetahuan tentang nasikh manshukh, yaitu
pengetahuan mengenai ayat-ayat yang disisihkan dan ayat-ayat yang menyisihkan.
Dengan pengetahuan itu dapat diketahui ayat-ayat yang muhkamat (mengandung makna yang tegas, jelas dan pasti) dan yang manshukh, jika ada.
Kesebelas: ilmu Hadits.
Ilmu ini sangat penting, karema hadits-hadits Nabi SAW itulah yang memberikan
keterangan tentang ayat-ayat yang mujmal
(mencakup pengertian secara garis besar) dan ayat-ayat yang mubham (smar-samar pengertiannya). Pada
umumnya Qur’an menyebut hokum syara’ secara garis besar. Hal ini memerlukan
penjelasan dan penafsiran, dan untuk mmenuhinya tesedia sunnah Rasul
(Hadits-hadits Nabi). Sekalipun Qur’an itu bersifat garis besar, namun juga ia
bersifat menyeluruh dan sesuatu yang bersifat menyeluruh pasti mencakup
soal-soal umum, misalnya; soal sholat, zakat, dan ibadah haji: semuanya itu
huku-hukumnya tidak dikemukakan secara terperinci oleh Qur’an tetapi
diterangkan oleh Sunnah Rasul. Demikian pula mengenai pernikahan, perjanjian,
qishash (hukuman setimpal) dan hudud (salah satu bentuk hukuman, kadarnya lebih
ringan daripada qishsh). Mengenai soal-soal seperti itu Allah SWT telah berfirman:
“Telah Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar engkau (Hai
Muhammad) dapat menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan bagi
mereka itu (an-Nahl 44). Apayang diberikan oleh Rasul kepada kalian terimalah,
dan apa yang dilarang olehnYa bagi kalian tinggalkanlah (al-Hasyr 7).
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda: “Janganlah
ada seorag pun dari kalian yang menerima kedatangan ajakanku – baik mengenai sesuatu yang
kuperintahkan maupun yang kularang – sambil berbaring di atas tempat tidur (yakni
menggampangkan atau tidak menghiraukan), kemudian mengatakan: kami tak tahu,
hal itu tidak kami temukan dalam Kitabullah yang kita anut”.
Dalam menafsirkan Qur’an, tidak bias lain kecuali harus
berpegang pada Sunnah Rasul jika dalam
Sunnah itu terdapat keterangan yang berisi tafsir teks Qur’an. Tapi
kalau tidak ada, maka dicari dari penafsiran-penafsiran yang telah diberikan
oleh kaum Salaf yang salih
(orang-orang salih yang hidup dalam zaman Rasulullah SAW). Andai dalam
penafsiran kaum Salaf pun juga tidak ditemukan, maka harus kita ikuti
pengertian yang setepat-tepatnya menurut bahasa Arab yang yang benar.
Kedua belas: ilmu
mauhabah (penamaan diberikan oleh As-Sayuthi) yaitu pengetahuan yang
dikaruniakan Allah SWT langsung kepada orang mengamalkan ilmunya. Sehubungan
dengan itu, sebuah hadits menyebutkan; “Barangsiapa mengamalkan ilmunya, Allah
akan mengaruniakan kepadanya pengetahuan tentang suatu yang belum
diketahuinya.” Az-Zamakhsyari termasuk yang memperkuat pendapat As-Sayuthi itu.
Tapi sebenarnya As-Sayuthi sendiri tampak khawatir
kalau-kalau pendapatnya mengenai ilmu
mauhabah akan ditentang oleh banyak ulama. Karena itulah ia berkata; “Kalau
ada beranggapan bahwa ilmu mauhabah itu
terlampau sulit didapat, lalu dia mengatakan: “Ah itu diluar kesanggupan
manusia. Itu bukan kesulitan yang biasa saja yang bias kita bayangkan. Lagi pula,
untuk mendapatkan ilmu tersebut harus ditempuh berbagai jalan, seperti amal dan zuhud (menjauhkan diri dari kesenangan dunia). Nah untuk menghadapi
kemungkinan adanya tanggapan seperti itu, dalam Al-Burhan As-Sayuthi
menerangkan:
“Hendaknya anda ketahui bahwa orang tidak akan memperoleh pengertian
tentang makna wahyu Ilahi (Al-Qur’an) dan tidak pula dapat mengetahui
rahasia-rahasianya jika ia dalam hati orang itu menyimpan bid’ah, rasa takabur,
hawa nafsu pamrih dunia, atau ia bergelimang dalam dosa, tidak mempunyai iman
yang mantap, memiliki daya pengamatan yang lemah, mengandalkan penafsiran orang
yang tidak berilmu, atau bersandar hanya pada pikirannya sendiri. Itu semua
merupakan hambatan dan rintangan untuk memperoleh ilmu mauhabah, suatu pengetahuan yang dikaruniakan Allah.”
Kami berpendapat bahwa keterangan As-Sayuthi sesuai dengan
makna firman Allah SWT. “Akan Ku-palingkan orang-orang yang tanpa hak
menyombongkan diri di muka bumi dari ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Kami”
(Al-A’raf, 146).
Sehubungan dengan itu pula, Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan; “mereka
itu telah dicabut kesanggupannya memahami Al-Qur’an.”
Agar seorang penafsir dapat menafsirkan Al-Qur’an dengan
lurus, agar ia memperoleh keridhaan Allah atas pemikiran dan ucapannya yang
benar, jujur dan mendapat hidayah untuk mengetahui rahasia ta’wil Qur’an, ia
harus mengisi hidupnya dengan budi pekerti mulia. Itu termasuk syarat yang
telah ditetapkan para ulama bagi seorang yang ingin menjadi ahli tafsir Qur’an,
yaitu syarat-syarat yang secara garis besarnya telah kami uraikan tadi.
Imam Abu Wa’il At-Thabari pada bagian permualaan kita
tafsirnya menguraikan beberapa jenis budi pekerti yang wajib dihayati oleh
seorang penafsir Al-Qur’an dalam kalimat-kalimat berikut: penafsir harus
mempunyai akidah yang sehat dan kuat serta berpegang teguh pada sunnah Agama
(ajaran-ajaran agama Islam). Jika ia seorang yang diragukan kesetiaannya pada
agama dan tidak lurus hati dalam soal-soal keduniaan, bagaimana mungkin ia
dapat dipercaya mengenai soal-soal yang berkaitan langsung dengan dasar dan
sumber agama, yakni Al-Qur’an, yang wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Kecuali itu, harus pula bersandar pada keterangan-keterangan
yang berasal dari Rasulullah Saw, para sahabat beliau serta orang-orang shalih
yang hidup sezaman dengan beliau, dari riwayat-riwayat hadits yang tidak
diragukan kebenarannya. Menghindari penafsiran yang berdasarkan bid’ah atau
menurut pengertian yang sengaja diada-adakan. Bila ditemuka beberapa hadits
yang saling berlainan tapi masih mungkin dilacak, maka wajib diusahakan
penyesuaiannya.
Penafsir Qur’an harus benar-benar bersih dari hawa nafsu
atau adanya pamrih keduniaan dalam bentuk apapun juga. Jika tidak, ia akan
tergelincir ke dalam penyelewengan atau menafsirkan firman Allah secara
semena-mena. Mengenai semuanya itu A-Thabari mengatakan:
“Di antara syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh penafsir
Qur’an ialah adanya rasa bersih dari ucapan-ucapan dan tulisan-tulisannya agar
ia dapat mengemukakan persoalan dengan tepat dan benar. Sehubungan dengan ini
Allah berfirman; ‘Dan orang-orang yang berjihad untuk (memperoleh keridhaan)
Kami kepada mereka niscaya Kami tunjukkan jalan Kami, dan sungguhnya Allah
beserta orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-‘Ankabut 69).
Tetapi, betapapun juga, rasa bersih dan benar-benar ikhlas,
sesungguhnya hanya ada pada orang-orang yang hidup secara zuhud (menjauhkan diri dari kesenangan duniawi). Sebab, seseorang
yang masih mendambakan kesenangan duniawi, tidaklah ia akan terlepas dari
tujuan tertentu yang merintangi keikhlasan dan kejujuran maksudnya, sehingga
dengan demikian alamnya menjadi rusak. Demikian kata At-Thabari.
Artikel ini diambil
dari buku Sejarah Tafsir Qur’an yang
ditulis oleh Ahmad Asy-Syibashi, penerbit
Pustaka Firdaus, Maret 1985.