Pondok Pesantren Lirboyo Tolak Standardisasi Khatib Shalat Jum'at
BRNews - Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo Kediri menolak wacana pemerintah
melakukan standardisasi khatib shalat Jum'at. KH An’im Falahuddin Mahrus, Pengasuh
Ponpes Lirboyo, menilai negara sudah terlalu
jauh turut campur karena urusan agama merupakan urusan hamba dengan
Tuhannya (Ubudiyah).
“Pemerintah terlalu turut campur urusan Ubudiyah, “ ujar Gus An’im sapaan akrab KH An’im Falahuddin Mahrus, Selasa (7/2/2017).
Gus An’im yang juga anggota Komisi VIII DPR RI menilai, standardisasi berpotensi menyempitkan ruang dakwah dan syiar agama. Ruang gerak para khatib yang tidak memilik standardisasi akan terbatasi.
“Ponpes sudah mendidik santri-santrinya sebagai calon khatib sesuai dengan rukun dan syarat dalam agama Islam. Untuk itu, pondok pesantren tidak memerlukan standardisasi khatib,” tegasnya.
Gus An’im menambahkan, jika pemerintah menyediakan pelatihan untuk memperkokoh konstruksi yang sudah ada, tentu tidak menjadi masalah. “Kalau sifatnya hanya penataran tidak apa apa. Tapi bukan standardisasi, “pungkasnya.
Hal berbeda disampaikan Ketua GP Ansor NU Kabupaten Blitar Aminuddin Fahruda. Dia menilai standardisasi khatib diperlukan. Hal itu mengingat tidak semua orang bisa berceramah agama, apalagi seenaknya memprovokasi dan memecah belah. “Memang perlu ada standardisasi. Jika tidak tentu akan berbahaya, “ujarnya.
Namun untuk melakukan standardisasi, kata Aminuddin, hendaknya pemerintah tidak turun tangan sendiri. Dikhawatirkan bisa menjadi blunder karena negara dianggap terlalu turut campur dalam urusan ibadah warganya. “Dalam konteks demokrasi langkah negara akan berkesan kurang bagus,” katanya.
Menurut Aminuddin pemerintah dalam hal ini kementerian agama hendaknya menyerahkan urusan standardisasi kepada institusi keagamaan, seperti NU, Muhamadiyah, atau Pondok Pesantren. “Sebab jika turun tangan sendiri akan menjadi polemik berkepanjangan, “pungkasnya.
Diketahui wacana standardisasi khatib digelindingkan pertama kali Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin. Pemerintah, dalam hal ini Menag ingin memastikan bahwa khatib salat Jumat sudah memenuhi kriteria keilmuan atau dzu ilmin.(sindonews.com).
“Pemerintah terlalu turut campur urusan Ubudiyah, “ ujar Gus An’im sapaan akrab KH An’im Falahuddin Mahrus, Selasa (7/2/2017).
Gus An’im yang juga anggota Komisi VIII DPR RI menilai, standardisasi berpotensi menyempitkan ruang dakwah dan syiar agama. Ruang gerak para khatib yang tidak memilik standardisasi akan terbatasi.
“Ponpes sudah mendidik santri-santrinya sebagai calon khatib sesuai dengan rukun dan syarat dalam agama Islam. Untuk itu, pondok pesantren tidak memerlukan standardisasi khatib,” tegasnya.
Gus An’im menambahkan, jika pemerintah menyediakan pelatihan untuk memperkokoh konstruksi yang sudah ada, tentu tidak menjadi masalah. “Kalau sifatnya hanya penataran tidak apa apa. Tapi bukan standardisasi, “pungkasnya.
Hal berbeda disampaikan Ketua GP Ansor NU Kabupaten Blitar Aminuddin Fahruda. Dia menilai standardisasi khatib diperlukan. Hal itu mengingat tidak semua orang bisa berceramah agama, apalagi seenaknya memprovokasi dan memecah belah. “Memang perlu ada standardisasi. Jika tidak tentu akan berbahaya, “ujarnya.
Namun untuk melakukan standardisasi, kata Aminuddin, hendaknya pemerintah tidak turun tangan sendiri. Dikhawatirkan bisa menjadi blunder karena negara dianggap terlalu turut campur dalam urusan ibadah warganya. “Dalam konteks demokrasi langkah negara akan berkesan kurang bagus,” katanya.
Menurut Aminuddin pemerintah dalam hal ini kementerian agama hendaknya menyerahkan urusan standardisasi kepada institusi keagamaan, seperti NU, Muhamadiyah, atau Pondok Pesantren. “Sebab jika turun tangan sendiri akan menjadi polemik berkepanjangan, “pungkasnya.
Diketahui wacana standardisasi khatib digelindingkan pertama kali Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin. Pemerintah, dalam hal ini Menag ingin memastikan bahwa khatib salat Jumat sudah memenuhi kriteria keilmuan atau dzu ilmin.(sindonews.com).